Oleh : Joshua Intan
Entah kau yang menemukannya
Atau dia yang menemukanmu
Hatimu akan tahu bagaimana menyambutnya
Kalian akan berjumpa di ujung jalan baru
Yang setengahnya usai kalian jalani,
Dan pada saat itu kalian akan berhenti menanti
Peluklah erat, ciumlah lembut
Cinta terkadang menempuh jalan berat, namun akan berakhir ketika dua hati saling menyambut
(Kisah Romatis)
Akhirnya aku dan kak Rania resmi berpacaran. Sungguh bahagia rasanya bisa menjadi bagian yang penting dalam hidup seseorang dan juga memiliki bagian yang penting dalam hidup kita sendiri. Sungguh tidak pernah kusangka akan berpacaran dengannya, aku tak pernah berharap sejauh ini sejak aku merasakan cinta pandangan pertama padanya. Dan aku bersyukur jika sekarang kami sedekat ini.
Kami begitu berbeda dalam banyak hal, mulai dari hobby, kebiasaan, beberapa juga selera dan pandangan. Misalkan saja dia suka sekali bersepedajuga melakukan aktivitas di alam terbuka seperti naik gunung dan berjalan kaki ketika sedang ditempat wisata, sedangkan aku yang jarang bahkan hampir tidak pernah olahraga sangat alergi dengan yang namanya capek.
Kak Rania orang yang sangat santai dan bebas, maksudnya jika ada perkerjaan dia suka mengerjakannya dengan santai, bukan berarti dia tidak bertanggung jawab melainkan dia selalu ingin mengerjakannya dengan hasil terbaik, jadi dia akan benar-benar menanti mood terbaik untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia tak suka di atur, bahkan dia kadang hidup dengan tak teratur seperti sering terbalik jam tidur. Sedangkan aku sedari kecil terbiasa hidup disiplin, harus mengerjakan semua tepat waktu dan terbiasa hidup teratur.
Memang agak sulit menjalin relasi dengan perbedaan-perbedaan yang ada, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan rasa cintaku padanya. Makanya walaupun sering terlibat pertengkaran kecil, tapi selalu berakhir dengan baik lagi. Kami hanya perlu banyak ngobrol untuk mengerti satu sama lain. Nah ini juga masalah, aku orang yang cukup sulit menceritakan tentang kesedihan, ataupun hal-hal pribadi dengan oranglain termasuk kak Rania, sedang kak Rania adalah orang yang selalu berusaha membuatku mau mengungkapkan setiap apa yang kurasakan padanya. Dia ingin kami saling membagi kisah hidup berdua. Dan sejak saat kami berelasi, aku memang melatih diri untuk mampu mengungkapkan apa yang kurasakan padanya karena memang ini baik untuk dilakukan.
Kak Rania mungkin bukan cinta pertamaku, karena seperti yang pernah kuceritakan bahwa cinta pertamaku adalah pada sosok wanita sewaktu aku SMA yang tak sempat ku ungkapkan. Tetapi kak Rania adalah orang pertama yang membuatku jatuh cinta sehebat ini, yang membuatku begitu tergila-gila padanya, yang membuatku belajar banyak hal dalam memahami orang lain yang berbeda denganku, yang selalu membuatku berusaha menjadi yang terbaik dimatanya dan yang tidak bisa lepas dari pikiranku. Dia begitu special untukku.
Hari ini kami akan jalan-jalan ke Yogyakarta, kami janji bertemu di stasiun kereta api jam 4 pagi untuk membeli tiket kereta api yang paling pagi. Awalnya aku agak ragu apakah kak Rania bisa menepati janjinya, mengingat dia ternyata sulit sekali bangun pagi. Tapi sungguh di luar dugaan, saat aku sampai di stasiun jam setengah 5 pagi, ternyata kak Rania sudah duduk di salah satu kursi tunggu disana.
“Lho… udah sampai sini???” aku menghampirinya.
“Iya dong, nih udah dapet tiketnya, jam 6 nanti kita berangkat.” Kak Rania tersenyum puas sambil melambaikan tiket ditangannya kepadaku.
“Wow… bangun jam berapa tadi?” aku masih saja tak percaya melihatnya sudah rapi sepagi ini.
“Hehehe aku nggak tidur, selesai kita telponan itu aku langsung ngerjain sesuatu, soalnya kalau tidur nanti takutnya nggak bisa bangun.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi setelah mendengarnya, dalam hati senang sekali karena demi jalan-jalan denganku dia rela tak tidur. Tapi aku juga merasa kasihan padanya.
“Oh iya, sebentar…” kak Rania membuka tas dan mengaduk-aduk isinya lalu menarik keluar botol minum dari dalam tas, “nih, coklat panas kesukaanmu. Tadi aku buat sebelum berangkat.”
Ini sudah bukan bahagia lagi namanya, entah bagaimana menyebutnya dalam kata-kata. Bagaimana aku menggambarkan perasaanku ini, aku merasa begitu istimewa dan beruntung memilikinya sekarang. Aku sempat terpaku beberapa saat sambil menggenggam botol berisi coklat yang memang masih terasa panas di tanganku,
“Hush… ngelamun, ayo diminum nanti keburu dingin, soalnya botol minum itu nggak tahan panas.” Kak Rania membuatku tersadar dari lamunan.
Lalu kami minum berdua sambil menanti kereta datang. Pukul 6 kurang kereta api kami datang, dan kami langsung naik. Beruntung kami masih mendapatkan tempat duduk, memang biasanya kereta Solo-Yogyakarta sangat padat penumpang apalagi untuk jadwal pagi di hari senin seperti ini, itulah kenapa kami harus berangkat sepagi mungkin dan harus berlari menaiki kereta secepat mungkin supaya kami bisa kebagian tempat duduk.
Kereta berangkat pukul 6 tepat, kak Rania memasang headset ke telinga kami lalu memutar lagu. Karena semalam aku tidur cukup larut sedang kak Rania sama sekali tak tidur maka tak berapa lama setelah kereta melaju kami pun tertidur pulas.
Kami tiba di stasiun Tugu Yogyakarta pukul setengah 8 pagi, dan melanjutkan perjalanan menuju museum benteng Vredeburg dengan berjalan kaki. Ide liburan ke museum adalah usulan kak Rania, sebenarnya aku kurang tertarik pergi ke museum dan lebih memilih liburan ke pantai atau karena kita di Yogyakarta mungkin bisa berbelanja batik seperti yang biasa kulakukan bersama teman-teman. Tapi tak apalah, bagiku asal bisa bersama-sama menghabiskan waktu dengan kak Rania makanya aku nurut saja.
Ternyata sangat melelahkan berjalan dari stasiun ke museum, beberapa kali kak Rania menawariku berhenti sebentar untuk beristirahat. Keringat sudah membasahi badan dan kaki terasa mulai nyut-nyutan ketika kami tiba di dekat museum, sedang kulihat kak Rania baik-baik saja.
“Makan dulu yuk sayang, sarapan ya…” kak Rania mengajakku makan di sekitar museum.
Aku mengangguk-angguk dan tak sanggup bicara karena nafas sepertinya juga tinggal sedikit. Kami duduk di warung tenda kaki lima, kak Rania memesan nasi pecel, sedang aku yang tak suka sayur dan tak berselera makan karena capek cuma memesan teh panas manis.
“Lho, kok nggak makan sih? Itu lho ada bakmi, nggak mau?”
“Nggak deh, aku nggak laper, minum teh panas aja ya yang, sepertinya aku lemes.”
“Capek ya jalan, padahal cuma deket lho…”
“Kan aku nggak biasa, jadi ya maklum dong capek.” Entah kenapa aku merasa sedikit dongkol.
“Ya udah minum dulu teh nya, biar seger.” Kak Rania menyodorkan teh pesananku lalu mengusap rambutku.
Usai makan kami langsung menuju museum yang terletak di depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta tersebut , kak Rania selalu memegang tanganku saat kami berjalan dan aku kembali merasa bersemangat karenanya. Kami melihat banyak diorama di dalam museum, membaca sejarah perjuangan warga Yogyakarta mengusir penjajah dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta sewaktu berjuang untuk menuju satu kata “Merdeka.”
Museum yang memiliki luas kurang lebih 2100 meter persegi ini memiliki beberapa bangunan dan kak Rania antusias sekali mengelilingi setiap bangunannya. Mulanya aku juga antusias melihat diorama dan membaca setiap penjelasan yang tersedia di dekat setiap diorama, namun lama kelamaan aku merasa capek. Udara hari ini juga sangat panas, yang membuat kepalaku mulai merasa pusing. Namun melihat kak Rania yang begitu bersemangat, akupun tak berani mengatakan padanya bahwa aku perlu istirahat.
Aku lalu duduk-duduk di kursi yang ada di dalam bangunan tempat kami sekarang berada, dan sepertinya kak Rania mulai paham,
“Capek yang? Ayok istirahat di luar aja,biar dapet angin.” Dan kak Rania membawaku keluar dari bangunan.
Kami duduk-duduk di halaman museum, tepat di bawah pohon yang sangat sejuk. Aku menikmati terpaan angin yang segar sambil terus mengenggam tangan sang kekasih,
“Kok badanmu panas?” kak Rania lalu memegang keningku, “kamu sakit?” aku melihat dia begitu kuatir.
Menggelengkan kepala, “mungkin karena udaranya panas ya, jadi aku agak pusing, tapi nggak apa-apa kok, cuma perlu istirahat sebentar.”
“Kok nggak bilang dari tadi kalau capek? Kamu nggak suka ya jalan-jalan disini?” nada bicaranya sekarang terdengar bahwa dia merasa bersalah membawaku ke tempat ini.
“Enggak kok sayang, enggak… aku suka kok, mungkin karena aku nggak biasa jalan aja ya jadi gini,” aku segera meyakinkan kak Rania yang sangat cemas sekarang.
“Kamu mau minum teh lagi? Aku beli diluar ya?!”
“Nggak usah, minum air putih aja yang tadi kita beli diluar.”
Kak Rania dengan sigap memberiku air mineral yang tadi sempat kami beli di Malioboro. Dia juga memijit-mijit tanganku, lalu berdiri dan memijit pundakku. Aku merasa agak sungkan ketika dia memijit pundakku,
“Yang, nggak perlu dipijit pundaknya, kamu duduk disini aja.” Aku memintanya duduk kembali disampingku yang kemudian dilakukannya.
“Jangan-jangan kamu pusing karena bawa tas yang, aku bawain aja ya tas mu.” Lagi-lagi dia menawarkan bantuannya yang semakin membuatku merasa tak enak. Tak enak karena liburan kami harus sedikit tidak menyenangkan karena aku yang kelelahan.
“Kamu kan juga bawa tas, masa bawa dua sih…”
“Ya nggak papa, daripada kamu pusing.” Lalu kak Rania tertarik dengan sesuatu yang ada di bangunan paling depan dari museum, “yang, itu apa sih?” sambil clingak-clinguk.
Aku melihat kearah yang dimaksud, ada beberapa orang yang mengantri masuk ke bangunan tersebut, tapi aku tak tahu ada apa disana. Karena sangat penasaran,
“Yang, aku liat kesana dulu ya.” Kak Rania meminta ijinku yang kusambut dengan anggukan kepala ditambah senyuman.
Tak butuh waktu lama, kak Rania sudah kembali lagi duduk disampingku sambil matanya berbinar,
“Yang, ternyata itu pemutaran film pendek tentang isi museum ini lho. Sudah mau di putar, yuk kita liat aja, jadi nggak perlu jalan lagi buat lihat sisa museum yang tadi belum kita lihat, gratis juga kok.” Lalu kami berdua menuju gedung tempat pemutaran film pendek.
Begitulah liburan kami hari ini, sebenarnya rencana awal kami akan mengunjungi taman pintar untuk belanja buku. Aku dan kak Rania sama-sama suka baca buku, sewaktu aku tertarik dengan salah satu buku koleksi kak Rania, dia bilang bahwa buku itu cukup sulit di dapat, dulu dia beli di Taman Pintar makanya kami juga memasukkannya ke daftar tujuan liburan kita.
Tapi karena untuk menuju taman pintar kami juga harus berjalan kaki lagi sebab letaknya berdekatan dengan museum sedang staminaku tidak baik maka kak Rania membatalkan tujuan yang satu itu. Sebagai ganti karena hari masih siang dan sayang jika langsung pulang maka kak Rania membawaku ke Ambarukmo Plaza memakai bus Trans Yogyakarta yang haltenya dekat dengan museum. Aku sering bercerita padanya bahwa aku suka sekali makan nasi bakar di salah satu outlet di Ambarukmo Plaza, maka sebagai menu makan siang kami kak Rania membawaku kesana.
Usai makan siang kami sempat bertemu dengan beberapa teman kak Rania yang tinggal di Yogyakarta. Kami bertemu di Plaza tempat kami makan. Mereka membicarakan banyak hal dari hal-hal pribadi sampai pekerjaan yang sama-sama sedang mereka geluti. Aku senang berjumpa dengan teman-teman kak Rania, sekalipun terkadang aku nggak ngerti apa yang sedang mereka bahas tapi aku senang duduk bersama mereka.
Kami kembali ke stasiun Tugu jam 6 sore untuk mengejar kereta jam 8 malam, setelah membeli tiket sembari menanti kereta datang kami minum coklat panas yang kak Rania bilang enak. Dan sepakat, memang coklat disini enak sekali, ditambah lagi ngobrol berdua dengannya, lengkap sudah semuanya.
Kak Rania baik sekali, aku sangat beruntung memilikinya. Dia sungguh belajar memahamiku dan selalu memperhatikanku. Aku merasa sangat dicintai ketika berada di dekatnya. Tetapi ada perasaan yang aneh di dalam hatiku, perasaan bersalah yang sangat besar. Aku belum bisa mengatakankepada orang lain tentang hubunganku dengan kak Rania. Aku takut untuk mengakui bahwa aku mencintai seorang perempuan dan sedang menjalin relasi dengannya di hadapan teman-teman bahkan sahabatku yang sebagian besar orang gereja. Aku sungguh merasa bersalah pada kak Rania.
Bersambung…