IMG_9558

Keimanan dan Seksualitas Melalui Kacamata Hukum dan Hak Asasi Manusia

Selasa, 23 Oktober 2018, peserta 5th Young Queer Faith and Sexuality Camp mendapat sajian materi mengenai produk undang-undang dan kebijakan perspektif Hak Asasi Manusia. kebutuhan dalam merancang dan memetakan advokasi kebijakan publik pada isu keragaman iman dan seksualitas merupakan tujuan mendasar dimasukkannya materi tersebut pada setiap penyelanggaraan Queer Camp.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat yang berkantor di Jakarta ditunjuk sebagai pengisi materi dalam sesi ini. Adalah Dominggus Kris, advokat publik pada LBH Masyarakat menjadi narasumber. Di awal pembahasan, Kris, memulai dengan pemaparan mengenai ‘identitas bangsa’. Menurutnya, pemahaman mengenai bangsa akan menjadi pintu masuk dalam diskusi soal tata negara.

“Saya akan mulai dari aspek identitas bangsa. Kenapa kita penting diskusi ini di awal? Saya gambar dulu, anggap ini gambar orang (4 orang). Di satu wilayah kumpul, kira-kira yang namanya manusa itu egonya kecil apa besar? Umumnya egonya kecil apa besar? Ya sebesar-besarnya. Yang satu maunya ke situ, yang di sini mau ke situ. Saling menunujukkan power untuk merebut. Nah kalau semua masuk ke wilayah ego orang lain? ya yang terjadi adalah konflik,” Paparnya.

Kris melihat bagaimana sejarah bangsa-bangsa di dunia sarat dengan konflik dan peperangan. Uniknya, ego sektoral yang dimiliki masing-masing identitas bangsa dapat dikelola dan menjadi kekuatan bersama. “Saat terjadi serangan dari luar, orang yang terpisah karena identitas bangsa bisa bersatu, kompak,” lanjutnya. Bicara penyelesaian bersama. Bicara kesepekatan. Bicara aturan.

Itu karenanya, kebangsaan punya kata kunci yakni memiliki kesamaan, sebuah karakter yang timbul karena persamaan nasib dan pengalaman sejarah budaya yang tumbuh dan berkembang bersama bangsa-bangsa tersebut. “Mengapa bangsa Aceh, Jawa, Kalimantan dan lain-lain bersatu? Ada konteks besar yang membuat mereka semua bersatu, yaitu invasi atau serangan dari luar, yang kita sebut penjajahan,” Terang Kris lagi.

Keberhasilan meredam eko sektoral dari identitas kebangsaan dan suku membuat masing-masing pihak bicara pentingnya aturan bersama, agar hidup dalam wadah bersama pula. Sederhananya, orang pada akhirnya penting bicara soal dibentuknya negara. George Jellinek, pakar Tata Negara, mendefisinikan bahwa negara merupakan kekuasaan dari sekelompok manusia yang berkediaman di wilayah tertentu. Dalam konteks ini, ada pelbagai petunjuk bagaiamana negara dapat dibentuk, misalnya dari sudut Kontrak Sosial, Teori Kekuatan dan Teori Ketuhanan.

Dalam kaitanya dengan teori pembentukan negara, Kris memberi contoh: “Si A misalnya punya kuda 30, punya anak buahnya 50. Si B punya kuda 10, anaknya 2. Si C nggak punya anak buah. Si D Cuma punya kuda. Kira2 siapa yang menang dalam pertarungan? Tanyanya.

“Ya pasti si A yang menang. Nah, itu yang dimaksud terbentuknya suatu negara karena faktor kekuataan, biasanya terjadi di zaman-zaman kerajaan. Teman2 kalau lihat film KungFu itu ada contohnya. Negara mencaplok negara lain, karena faktor kekuatan lebih dominan,” papar Kris memberi contoh bagaimana negara dapat dibentuk melalui faktor kekuatan.

Model yang disinggung pada ‘teori ketuhanan’ sendiri, meliputi negara-negara yang terdapat dalam model negara persemakmuran seperti di Inggris Raya. Dalam sejarahnya, pemimpin negara atau raja dilihat dan punya pengaruh kepada rakyaktnya manakala ia dianggap punya keturunan darah biru. Ini yang acapkali disebut ‘representasi Tuhan’.

Di luar model kekuatan dan ketuhanan, sejarah pembentukan negara di banyak tempat di belahan dunia, banyak yang mengadopso model negara ketiga, yaitu berdasarkan istilah teori kontrak sosial. Secara umun, kontrak sosial dilandaskan atas kesepakatan bersama, relasi antar kelompok, dibuatnya perjanjian sebagai jalan tengah menghindari chaos. Hasil dari kesepakatan ini yang melahirkan sistem bersama yang dijalani, pertama, Eksekutif, Kedua, Legislatif, Ketiga, Yudikatif. Atau dikenal pula dengan istilah Trias Politica-nya John Locke.

Sejarah bangsa, pembentuk negara sampai bagaimana negara dikelola secara bersama-sama itulah yang biasanya masuk dalam cakupan Hukum Tata Negara. Kris Dominggus juga memaparkan mengenai hierarki produk undang-undang yang ada di Indonesia, dasar hukum dari suatu masalah, hingga peta badan negara sebagai bagian dari melihat masalah kewargaan dalam kacamatan hukum dan hak asasi manusia.

Di akhir sesi, peserta 5th Young Queer Faith and Sexuality Camp, yang berjumlah 35 orang itu, membuat skema advokasi yang dapat dilakukan dalam konteks diskriminasi pada isu keimanan dan seksualitas. (yifos indonesia)

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top