Konferensi ILGA yang diikuti oleh berbagai peserta yang datang dari berbagai daerah, bahkan Negara ini bubar akibat luapan kemarahan sebagian kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai umat Islam yang saleh. Padahal, konferensi ini bukanlah jenis konferensi besar dengan agenda yang revolusioner. Salah seorang peserta konferensi itu menyatakan bahwa konferensi ini Odak lebih hanyalah acara “kumpul‐kumpul” dan ngobrol santai. Menanggapi hal ini, saya melihat terdapat ambiguitas taraf tinggi yang menunggangi peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu ini.
Pertama, apakah pembubaran konferensi ini benar‐benar dilakukan atas dasar agama, yang dalam hal ini tentu adalah Islam, mengingat ‘peserta’ penolak konferensi ini adalah ormas‐ormas Islam? Kedua, apakah kelompok‐kelompok yang mengaku berbicara atas nama agama ini tahu betul dengan apa yang mereka bicarakan? Salah satu pelaku aksi penolakan ini sempat menyatakan bahwa dirinya dan rekan‐rekan yang ada dibelakangnya merasa keberatan dengan diadakannya konferensi ini sebab hal ini sama saja dengan memfasilitasi tindak kemaksiatan, sempat juga ia menggebrak pintu kamar hotel yang ia anggap sebagai fasilitator tindakan “berdosa” ini. Satu pertanyaan yang menggelitik saya tentu adalah, apa yang dimaksud kemaksiatan dalam konteks ini? Apakah berkumpul, berbincang‐bincang, bertukar pendapat, disebut sebagai maksiat? Lalu apa hubungannya “kemaksiatan” yang terjadi di hotel dengan ormas‐ormas Islam itu? Apakah jika orang lain melakukan maksiat, maka mereka akan juga menanggung dosanya?Apakah jika si A tidak melaksanakan sholat, misalnya, si B, si C, akan ikut menanggung dosanya?
Lagipula, tanpa bermaksud merendahkan fungsi hotel, bukankah sebagian besar hotel memang sudah akrab dengan hal‐hal yang dianggap dekat dengan “maksiat” oleh beberapa kelompok agama, seperti minuman keras, perselingkuhan, dan lain‐lain? Lalu mengapa baru sekarang protes ini dilancarkan? Kalaupun ada hotel yang melarang pasangan lawan jenis yang bukan suami istri menginap dalam kamar yang sama, apakah hal ini lantas berarti di kemudian hari diberlakukan juga larangan untuk tidak menginap di hotel bagi pasangan sejenis tanpa dilengkapi surat keterangan yang menyatakan bahwa mereka bukan pasangan homo?
Saya malah curiga, terdapat kepentingan lain selain kepentingan agama yang menunggangi peristiwa ini, saya memandang hal ini lebih bermuara kepada unsur‐unsur politis, lebih tepatnya pada pokok pengalihan isu. Seperti kita ketahui bersama, media memiliki peranan yang sangat penting bukan saja dalam penyajian fakta, tetapi juga dalam hal penggiringan opini masyarakat. Tidak mungkinkah jika isu ini sengaja dihembuskan untuk tujuan pengalihan perhatian publik?
Dengan kata lain, blow up media terhadap kasus ini dilakukan untuk menutup kasus yang lain, yang mungkin di dalamnya adalah kasus Century, Susno Duaji, dan lain-lain? Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa konferensi yang serupa dengan yang dilakukan ILGA ini bukan pertama kali ini saja terjadi. Negara kita telah beberapa kali mengadakan IDAHO (Interntional Day Against Homophobia), tetapi nyatanya, semua berjalan dengan lancar. Tidak ada satupun tindak anarki yang terjadi. Sehingga dengan kata lain, saya menanggapi, bukankah ini tak lebih dari sekedar provokasi?
Saya tidak terlalu percaya jika kelompok-kelompok ini mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, berkaitan dengan isu haram terhadap LGBT. Saya curiga, mereka memandang hanya dalam sebuah fragmen sempit, yakni Homo. Itu saja, tanpa kemudian melakukan kajian tentang apakah Homo itu sekedar orientasi atau perilaku? Dalam budaya kita, homoseks bukanlah hal baru, dalam dunia pewayangan, kita mengenal Srikandi, seorang transgender. Di Ponorogo, Jawa Timur, warok memiliki seorang gemblak.
Saya mengamini apa yang disampaikan oleh bapak Heri Susanto saat mengisi kuliah politik pengakuan (politic of recognition) di sekolah kritik ideologi, Impulse, beberapa waktu yang lalu. Beliau menyatakan bahwa untuk mengetahui sesuatu, kita perlu membuat jarak dengan hal itu. Hal ini dianalogikan dengan orang yang membaca tulisan, seseorang tidak akan bisa membaca tulisan jika tulisan tersebut ditempelkan tepat di matanya, oleh karenanya perlu diberi jarak‐jarak tertentu yang dengannya tulisan tersebut dapat dibaca. Manusia membutuhkan jarak beberapa sentimeter dari mata ke tulisan untuk dapat membaca tulisan tersebut. Demikian juga dengan cara menanggapi isu LGBT ini, kita tidak akan dapat mengerti apa yang sebenarnya ada di dalam LGBT jika kita terus saja merongrong mereka, tanpa kita mau memberi jarak terhadap diri kita sendiri untuk belajar lebih banyak tentang LGBT sebelum memvonis mereka salah. Mengutip Goethe, ia menyatakan, those who know one, know nothing. Dari perspektif lintas iman, saya meyakini bahwa agama bukan saja berbicara tentang benar dan salah, tetapi ia berbicara tentang bagaimana sesuatu itu bisa menjadi benar dan bagaimana
sesuatu itu menjadi salah.
Khoirul Anam
Yifos (youth interfaith forum on sexuality), Yogyakarta.
@Dimuat dalam Majalah Bhinneka Volume 6 Mei 2010, edisi khusus ILGA 2010