Seksualitas manusia bukanlah sesuatu yang tegas-tetap, melainkan bersifat cair dan berupa spektrum tak terhingga yang dapat dipertukarkan mana suka. Seksualitas merupakan proses terus-menerus untuk menjadi dan adalah bagian dari konstruksi sosial. Seksualitas manusia diarahkan dan terstruktur secara kaku dengan pola dan asumsi khusus dalam masing-masing budaya tertentu. Keragaman relativitas empiris tersebut mengindikasikan bahwa seksualitas merupakan produk bentukan sosiokultural manusia sendiri (Berger dan Luckmann, 1991: 67).
Marinucci (2016: 6) menuturkan bahwa konstruksi sosial juga dapat menjelaskan pelbagai cara di mana budaya yang berbeda menerapkan nomenklatur atas orientasi seksual. Kategori tersebut merujuk kepada ketertarikan fisik, romantik dan/atau emosional seseorang terhadap orang lain. Orientasi seksual merupakan bagian integral tak terpisahkan yang dimiliki oleh tiap individu. Sara Ahmed (2006) menawarkan pendekatan queer phenomenology untuk memikirkan kembali makna “orientasi” dalam “orientasi seksual” melalui spasialitas ruang tubuh dan sosial. Orientasi bukan hanya perkara bagaimana manusia mendiami ruang, tetapi juga bagaimana manusia memahami dunia tempat mereka pijak, beserta “siapa” atau “apa” energi dan perhatian mereka yang akan dicurahkan (Ahmed, 2006: 3).
Konsep orientasi seksual mencakup pula konteks politis yang mengistimewakan heteronormativitas dan menindas mereka yang tidak berada dalam payung yang sama (Sanchez dan Pankey, 2017: 53). Perbincangan mengenai orientasi seksual yang dimonopoli oleh kuasa heteronormatif menjadi basis keberadaan buku ini. Bennet (2018) mengungkapkan bahwa selama ini, wacana tentang seksualitas di Indonesia terkesan dibatasi dan diatur. Ihwal ini berimplikasi pada kegagapan masyarakat ketika mengetahui adanya eksistensi identitas seksual yang lain.