Oleh: Anna Marsiana
Lagi-lagi saya mengajak kita kembali untuk bertanyaka kepada diri sendiri, dan menengok pengalaman kita sendiri. Pernahkah Anda merasa asing atau terasing dari tubuh Anda sendiri? Dalam hal apa atau dalam konteks apa, perasaan keterasingan itu muncul? Pernahkan Anda bertanya kepada diri Anda sendiri: mengapa keterasingan seperti itu bisa muncul?
Pernahkah Anda bertanya kepada diri sendiri, bagaimana pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, agama mengajari tentang apa dan dimana posisi tubuh Anda bagi Anda? Mengajari Anda tentang bagaimana harus bersikap terhadap dan mengatur tubuh Anda? Tentang yang mana yang benar dan salah terkait dengan tubuh dan pengalaman ketubuhan Anda?
Pernahkah Anda berfikir bahwa pengalaman Anda dengan tubuh Anda telah membentuk Anda yang sekarang? Mebntuk cara pikir dan cara pandang tentang siapa Anda dan orang-orang di sekitar Anda; membentuk identitas diri (identitas seks, identitas gender, identitas seksual) dan cara pandang Anda atas identitas – identitas tsb?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mengantar kita kepada penemuan bahwa tubuh kita saat ini sudah bukan milik kita lagi; bahwa otoritas atas tubuh kita bukan di tangan kita lagi; bahwa tubuh kita ini bukan hanya seperti yang dikatakan oleh Chung Hyun Kyung seperempat abad yang lalu, sebagai yang broken atau terpecah.
Pertanyaan di atas juga akan mengantarkan kita kepada potret nyata dari tubuh kita yang bukan hanya broken oleh berbagai pengalaman kekerasan dan penyingkiran, namun dia juga, coded diatur sedemikian rupa, mengenai apa yang boleh dia pakai dan apa yang tidak, mengenai bagaimana dia harus berjalan, menggerakkan tangan, tersenyum, tertawa, dan seterusnya.
Dia juga labeled ketika cara kita berjalan tidak sesuai dengan ‘norma’ umum kita pun diberi label yang bernada mengejek, ketika kita seorang perempuan, maka masyarakat pun mengharapkan kita untuk berjalan dengan gemulai, tersenyum dengan ‘santun’, maka ketika cara jalan atau senyum kita tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka kita pun akan dilabeli, “perempuan nakal”; namun aturan dan norma-norma itu juga bersifat memenjarakan tubuh dan diri kita, tubuh kita menjadi tubuh yang terpenjarakan, imprisoned body, dimana kita seperti hidup dalam kotak penjara yang membuat kita serba takut untuk bergerak, mengambil keputusan, dan bertindak.
Sebagai penegasan saya ingin bertanya: dengan gambaran di atas, bisakah kita memutuskan apa yang dialami oleh tubuh kita, dan bagaimana tubuh kita bereaksi atas berbagai pengaruh yang datang dari luar dirinya, adalah hanya tentang tubuh kita, terpisah dari kedirian kita yang lain? Yang saya maksud dengan kedirian kita yang lain di sini adalah: pemikiran, perasaan-perasaan dan emosi, keputusan, dan tindakan atas diri sendiri maupun atas orang lain? Jawaban tegas saya adalah: TIDAK BISA!!
Kasus di atas menunjukkan bahwa terminologi maum yang menggambarkan tubuh sebagai yang aktif dan yang mengumpulkan, merekam, mengolah pengalaman-pengalaman yang dialaminya menjadi kisah, sejarah dan pergumulan jauh lebih bisa menggambarkan realitas tubuh dan mendorong refleksi atasnya termasuk refleksi teologis.
Pertanyaan di atas juga mendorong kita untuk bertanya lebih jauh secara analistis tentang mengapa semua pengalaman itu bisa terjadi pada tubuh kita, mengapa kita member ijin bagi terjadi atau bahkan berulangnya pengalaman yang sama, mengapa pengalaman fisikal-jasmaniah tsb ternyata mempengaruhi mental dan spiritual kita, dst. Pertanyaan mengapa, mengapa, dan mengapa, mau tidak mau akan mengantarkan kita kepada analisis multi lapis dan multi dimensi, dimana relasi kuasa menjadi kata kunci yang tidak bisa dilepaskan.
Di bawah ini adalah kenyataan bagaimana secara perlahan tapi pasti, oleh relasi kekuasaan yang bekerja melalui berbagai elemen dan aspek: agama/teologi, pendidikan, budaya, tradisi, hukum, telah sedemikian rupa “merampas tubuh” kita dari hidup kita; atau dalam kalimat lain, merampas otoritas kita atas tubuh kita. Inilah temuan kita atas tubuh kita yang suka atau tidak suka, mengikuti karakter asli tubuh sebagai the gathering facts,stories, his/herstories…., maka pengalaman itu pun membentuk kedirian kita:
- Labeled body ==labelled self: tubuh dinilai dengan aneka label yang tentu saja bias gender, bias seksualitas, dan heteronormatif : cantik, langsing, sexy, gemulai , dst, yang secara sadar atau tidak, langsung atau tidak, membentuk cara pikir kita dalam memandang diri sendiri maupun orang lain.
- Coded body == coded Self: kita membiarkan tubuh kita bergerak semata-mata berdasar aturan-aturan yang ada, kita membatasi wilayah gerak kita sendiri berdasarkan aturan-aturan yang kita dengar, lihat, dan terima. Kita membatasi diri kita sendiri dari kapasitas asli yang kita miliki.
- Imprisoned body == imprisoned Self: tubuh kita ditawan oleh berbagai aturan agama, norma sosial, sehingga menimbulkan rasa takut untuk melangkah dan mengambil keputusan terhadap tubuh dan diri sendiri, tanpa sadar membuat kita pada satu sisi menjadi peragu dan tidak percaya diri .
- Split body == Split Self: kita mengalami keterbelahan, antara keinginan hakiki menjadi diri sendiri, atau harus memenuhi ekspetasi keluarga/masyarakat/agama.
- Broken body == broken Self, karena begitu banyaknya cerita sakit, pedih, dan perjuangan yang direkam oleh tubuh kita, misalnya cerita para penyintas perkosaan, atau penyintas tragedy politik’65, bisa dikatakan bahwa tubuh dan kedirian mereka sudah dihancurkan. Ketika mereka survived, mereka mungkin terlihat utuh dan tangguh, namun seluruh rekaman kehancuran itu ada di sekujur tubuh mereka yang dalam tataran tertentu juga telah menghancurkan jiwa meskipun bukan spiritual mereka.
Tubuh dan Pengalaman Ketubuhan menjadi Titik Berangkat Gerakan Pembebasan dan Transformasi yang Otentik dan Jujur
Jika kita masih percaya bahwa esensi teologi adalah manusia dan pembebasan manusia, maka rasanya sulit untuk tidak mengakui bahwa refleksi atas pengalaman tubuh dan ketubuhan adalah suatu material sahih untuk menjadi titik berangkat bagi dibangunnya sebuah teologi tertentu yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan mentransformasikan.
Bicara tentang tubuh Kristus yang disalibkan, misalnya, akan terasa lebih nyata dan mewujud ketika kita memulai dengan menggali dan merefleksikan pengalaman ketubuhan kita, perempuan di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya, yang coded, imprisoned, dan broken tadi. Kalimat “inilah tubuhku yang dipecah-pecahkan bagimu…” dalam perjamuan kudus menjadi lebih bermakna ketika kita mendaratkannya dalam konteks pengalaman perempuan yang tubuh dan kediriannya dicabik-cabik dalam ketegangan relasi kekuasaan yang mengungkungnya, baik itu politik, ekonomi, sosial, dan agama.
Mungkin Anda akan bertanya, apakah tidak terlalu individual sifatnya kalau kita menjadikan pengalaman ketubuhan kita sebagai titik berangkat berteologi? Apakah valid? Jawab saya, tentu saja valid! Karena pengalaman kita akan pengalaman-pengalaman ketubuhan yang membuat tubuh kita, coded, labeled, imprisoned, broken tadi bukanlah ekslusif pengalaman kita sendiri. Begitu kita sharingkan pengalaman-pengalaman tersebut dengan perempuan – perempuan lain, atau bahkan dengan kelompok gender atau pun kelok marginal yang lain (terpinggir, minoritas, tertolak) atau bahkan juga dengan kelompok yang kita anggap mayoritas, dan mainstream, ternyata segera kita akan mendengar bahwa pengalaman yang mirip atau bahkan sama juga terjadi di luar sana.
Dalam pengalaman saya, sharing atas pengalaman ketubuhan kita menghubungkan saya dengan kelompok-kelompok lain yang pada awalnya saya pikir dan identifikasikan sebagai bukan kawan atau tidak termasuk dalam aliansi, namun ternyata pengalaman ketubuhan mampu menjembatani saya dengan mereka.
Pengalaman ketubuhan yang disharingkan telah mengantarkan saya untuk berdialog dengan nyaman dengan kawan dan sahabat saya yang berbeda secara identitas seks dan gender, orientasi seksual maupun identitas seksualnya. Pengalaman ketubuhan yang disharingkan juga memampukan saya berdialog dengan nyaman dengan kawan dan sahabat diffable karena ternyata kita memiliki kesamaan, yaitu sama-sama diffable dalam kondisi yang berbeda. Saya sama differently able-nya dengan dia, hanya saja oleh standard yang ada, ke-diffable-an saya tidak terlihat, sedangkan ke-diffabe-an dia nyata terlihat. Tetapi senyatanya kami sama-sama diffable.
Dengan jelas refleksi di atas menunjukkan bahwa pengalaman ketubuhan juga menjadi materi yang sahih untuk membangun diskursus dan kesadaran sosial sekaligus membangun solidaritas sosial yang bersifat lintas batas. Sebagaimana judul dari tulisan ini, teologi tubuh sebagai sebuah undangan untuk melakukan gerakan pembebasan dan transformasi secara lebih otentik dan jujur. Saya mengharapkan bahwa tulisan ini
menjadi sebuah undangan awal bagi siapapun yang membacanya untuk membuka ruang bagi dirinya sendiri, mendengarkan pesan yang disampaikan tubuhnya, membaca kembali kisah-kisah yang ditulis oleh tubuhnya, merefkesikannya dan melakukan pembebasan dirinya sendiri. Ini hanyalah sebuah undangan awal. Karena saya sadar bahwa kita masih membutuhkan langkah-langkah lanjutan bagi terwujudnya sebuah gerakan pembebasan dan transformasi tsb.
Ini adalah juga sebuah undangan awal untuk dikembangkannya sebuah konstruksi teologi yang lebih sistematis di sekitar tema tubuh dan pengalaman ketubuhan. Undangan yang terakhir saya tujukan kepada semua pembaca, entah dia berlatar belakang pendidikan teologi atau tidak, namun tentu saja tantangan saya berikan kepada mereka yang bergelut di dunia pendidikan teologi, terutama para mahasiswanya.
Semoga makin banyak yang terpanggil untuk bergabung!
- Tulisan ini merupakan edisi ketiga atau penutup. Ulasan menyeluruh ditayangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama, terdapat ulasan berikut ini : Berteologi dari Perspektif Tubuh. bagian kedua pada, Merebut Kembali Posisi Tubuh dalam Kehidupan
- Keterangan Ilustrasi: Arut S. Batan Painting Series: God’s Third Parties Material, yang pada lukisan pertama ini membahas atau membawa tema tentang tubuh sebagai salah satu material Tuhan.