Training of Trainer Pengorganisasian LBT

Hi Peacemaker!!
Admin datang lagi dengan membawa cerita dari salah satu pengurus YIFoS, Yulia Dwi Andriyanti yang akrab disapa dengan Edith, mengikuti pelatihan terkait Training of Trainer Pengorganisasian LBT (Lesbian, Biseksual dan Transgender) yang diselenggarakan di oleh Ardhanary Institute (AI). Kegiatan yang berjalan dari 10-12 Oktober 2012, menjadi sarana bertemunya berbagai komunitas dan organisasi LBT dari berbagai provinsi di Indonesia͵ baik peningkatan keterampilan fasilitasi maupun membangun solidaritas sebagai LBT yang akan berperan menggerakkan komunitas. Kegiatan ini diadakan di Wisma Hijau, Depok.

Mari kita simak bersama yuk pemaparan hasil kegiatannya 🙂

Para peserta datang sehari sebelum kegiatan. Aktivitas dimulai dengan saling berkenalan͵ menetapkan kontrak belajar dan juga melakukan pembagian tugas selama pelatihan berlangsung͵ yakni tim review materi͵ tim time keeper dan juga tim ice breaking. Perwakilan komunitas dan organisasi beragam. Ada yang bergerak pada penguatan kapasitas individu LBT͵ seperti Gendhis (Lampung)͵ Talitakum (Solo)͵ Gamacca (Makassar)͵ Dipayoni (Surabaya) yang bergerak di ranah advokasi LGBT seperti PLU Satu Hati (Yogyakarta); dan juga yang memiliki persinggungan dengan isu lain͵ seperti Kipas (Makasar) dan Effort (Semarang) dengan isu buruh͵ Rumah Belajar  Pluralisme (Medan) dengan isu pluralisme serta Youth Interfaith Forum on Sexuality dengan isu lintas iman. Keberagaman arah komunitas dan organisasi ini menjadi sarana untuk membangun komunitas LBT yang tidak hanya mampu menguatkan komunitas͵ melainkan juga berkontribusi dalam perubahan sosial.

Pada permulaan hari͵ Lily Sugianto dari AI mengajak peserta mereview konsep seks dan gender biner yang berkembang dimasyarakat; seks yang terdiri dari penis dan vagina serta gender yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. Konsep seks dan gender yang biner inilah yang membuat keberadaan seks dan gender selainnya dianggap tidak ada ataupun ditiadakan. Melalui diskusi kelompok kecil͵ peserta diajak untuk merumuskan kembali tentang definisi seks dan gender yang mampu mengakomodir keberadaan waria͵ priawan͵ interseks͵ perempuan tomboy͵ laki-laki kemayu͵ biseksual dan homoseksual. Dari hasil diskusi kelompok dan panel͵ didapatkan poin-poin penting mengenai konsep seks dan gender yang non biner͵ yakni :

  • Seks bersifat biologis͵ terdiri dari alat kelamin͵ kromosom dan hormon͵ berfungsi untuk prokreasi dan rekreasi͵ dan dapat dirubah
  • Gender bersifat sosial (dikonstruksi oleh masyarakat)͵ terdiri dari peran͵ penghayatan diri͵ dan dapat dirubah.

Diskusi berlanjut pada konsep keragaman gender dan seksual. Terkait dengan ini͵ terdapat beberapa aspek yakni orientasi seksual serta ekspresi gender. Orientasi seksual adalah kepada siapa seseorang tertarik secara fisik͵ emosional͵ baik terhadap seks biologis dan/atau gendernya;  bisa homoseksual (seks biologis/gendernya sama) ͵ heteroseksual (seks. biologis/gender berbeda) dan biseksual (terhadap seks biologis/gender yang sama dan berbeda). Sementara ekspresi gender adalah bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya berdasarkan kualitas feminin dan maskulinnya. Orientasi seksual tidak ada kaitannya dengan ekspresi gender. Ini berarti bahwa tidak semua perempuan maskulin serta merta adalah lesbian; bisa juga berarti bahwa tidak semua priawan adalah heteroseksual.

Setelah memahami tentang konsep seks dan gender͵ peserta diajak untuk membahas tentang berbagai bentuk ketidakadilan gender – sebagai konsekuensi dari pemahaman seks dan gender yang biner – di berbagai ranah kehidupan͵ yakni :

  • Stereotipe͵ yakni pelabelan.
  • Subordinasi͵ yakni penomorduaan.
  • Kekerasan͵ berupa pskis (verbal)͵ fisik͵ ekonomi dan seksual
  • Beban ganda
  • Stigmatisasi
  • Marjinalisasi

Akhir sesi di hari pertama ditutup oleh Agustine dari AI tentang bagaimana peserta bisa memahami Yogyakarta Principles sebagai instrumen vokasi terhadap komunitas LGBTIQ. Yogyakarta Principles merupakan instrumen hukum internasional yang disusun oleh ahli hukum dan ham mengenai perlindungan terhadap orang-orang dengan orientasi aekaual dan gender identity yang berbeda. Instrumen ini disusun di Yogyakrta pada tahun 2006. Meskipun belum diratifikasi͵ menjadi penting bagi organisasi LBT untuk menggunakan instrumen hukum ini sebagai landasan dalam melakukan advokasi maupun peningkatan kesadaran tentang perlindungan terhadap hak-hak LGBTIQ.

Di hari kedua͵ peserta berdiskusi bersama Khoirul Anam dari Human Right Working Group tentang SOGI (Sexual Orientation and Gender Identity) dan instrumen ham. Terdapat prinsip utama dalam ham͵ yakni:

  • Non diskriminasi
  • Anti kekerasan
  • Universal
  • Keadilan

Terkait dengan ham͵ negara memiliki kewajiban untuk melindungi (hadir dan bertindak ketika terjadi pelanggaran)͵ Menghormati ( tidak intervensi terhadap integritas personal)͵ dan memenuhi (mengimplementasi mekanisme ham hingga tingkat yang paling kongkrit).

Yang dimaksud dengan pelanggaran ham adalah

  • By act͵ yakni dilakukan secara aktif oleh negara͵ termasuk melalui kebijakan
  • By ommission͵ yakni melakukan pembiaran

Dalam kaitannya dengan konteks kebebasan beragama terdapat dua hal͵ yakni :

  • Forum eksternum (tata cara beribadat) dimana negara masih boleh mengatur
  • Forum internum (ekspresi iman) dimana negara tidak boleh mengatur.

Sesi berlanjut pada bedah pengalaman pengorganisasian dari masing-masing komunitas untuk menganalisis metode dan tantangan yang dihadapi. Beberapa hasil diskusi yang didapat adalah :

  • Untuk pengorganisasian LBT yang bekerja sebagai buruh͵ metode diskusi yang firmal akan sulit dilakukan͵ mengingat jam kerja yang berbeda sehingga terkadang ketika disjkusi diadakan hanya beberapa orang sja yang hdir untuk itu͵ organiser harus siap dengan diskusi informal.
  • Membentuk LBT crisis centre sebagai sarana penguatan individu LBT dalam menghadapi tantangan yang dihadapi di lingkungan sekitarnya.
  • Membuat antologi cerpen LBT sebagai sarana bagi LBT untuk bercerita tentang dirinya
  • Mengadakan kemah pemuda untuk membangun pengertian antara kelompok LGBTIQ dan kelompok iman
  • Menjadikan tempat usaha͵ yakni angkringan͵ sebagai media pertukaran informasi terkait seksualitas

Setelah peserta melakukan analisis metode pengorganisasian͵ Masruchah͵ Sekjen Komnas Perempuan͵ memandu sesi tentang pendidikan kritis. Pendidikan kritis mendorong peserta menjadi subjek͵ bukan objek. Materi pendidikan berasal dari realitas atau pengalaman. Hal ini akan mendorong proses yang dialogis karena tidak ada peran guru dan murid.

Dalam memandu agar proses pendidikan kritis͵ maka penting untuk mengetahui daur belajar pengalaman yang terstrukturkan. Hal ini terdiri dari :

  • Melakukan; melalui peengalaman maupun peristiwa yang dimunculkan lewat cerita͵ studi kasus͵ permainan dan media lain
  • Mengungkap data; menyatakan kembali apa yang telah dialami melalui tanggapan dan kesan terhadap pengalaman tersebut
  • Menganalisa
  • Menyimpulkan
  • Menerapkan kembali lagi ke melakukan͵ dst

Pemahaman mengenai proses pendidikan kritis ini menjadi panduan bagi para peaerta ketika melakukan proses memfasilitasi sebagai bentuk dari upaya pengorganisasian bagi komunitasnya serta perubahan sosial. Di hari terakhir͵ para peserta melakukan praktek fasilitasi sebagai sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah didapat pada dari hari-hari sebelumnya.

(Yulia Dwi Andriyanti,  @Queer_in_life)

Tetap simak terus postingan-postingan di blog YIFoS, untuk tahu informasi ter-update dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh YIFoS.

Salam Damai dalam Keberagaman 🙂

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top