“Tubuh sebagai realitas otonom yang mana tubuh manusia adalah suatu realitas yang keberadaannya selalu berkaitan dengan pikiran, subjek, dan dunia atau lingkungan (Maurice Jean Jacques Merleau-Ponty)
***
Tubuhku adalah sudut pandangku tentang dunia.
Tubuhku adalah refleksi sudut pandang dunia tentang diriku.
Penghargaan terhadap tubuh dimulai dari dan melalui kesadaran kita guna memahami dan menghargai apa-apa yang ada, telah ada dan akan ada pada tubuh kita. Tanpanya, sejatinya manusia sekadar entitas immaterial. Mengambang tanpa basis empiris yang solid. Baik secara filosofis dan biologis, tubuh merupakan ‘media’ yang berperan bagi manusia dalam menyentuh dan eksis terhadap dunia, yang merealisasikan dirinya.
Apa pentingnya penghargaan terhadap tubuh? Itulah yang tengah diketengahkan jadi bahan desiminasi di awal materi 5th Young Queer Faith and Sexuality Camp. Sebagai pembuka diskusi, Jihan Fairuz, teman bincang pada sesi ini, bertanya kepada peserta secara dialektis tentang tubuh manusia. Pertanyaan yang menarik kembali perbincangan mengenai seksualitas dan keimanan kian dekat, dan familiar, yakni melalui diskusi ketubuhan.
Ya, diskusi ketubuhan jadi salah satu ‘materi wajib’ tiap kali gelaran 5th Young Queer Faith and Sexuality Camp. Materi ini juga, pada akhirnya, merupakan identitas yang khas dimiliki kegiatan ini.
“Penting di awal kita memahami ketubuhan. Tanpa pemahaman tidak akan ada penghargaan. Dan tanpa penghargaan tidak akan ada penghayatan. Padahal penghayatan akan tubuh itu sendiri sangatlah berperan di dalam pengenalan diri manusia, yang merupakan jalan untuk menuju otentisitas,” terang Jihan.
Menurutnya, terdapat dua asumsi filsafat yang bicara soal tubuh: pertama adalah asumsi bahwa penafsiran manusialah yang membentuk realitas. Jadi realitas tidaklah memiliki entitas pada dirinya sendiri yang berdiri mandiri dari pikiran manusia. Oleh karena itu tidak ada data ataupun fakta yang telah terberi, karena semuanya merupakan hasil dari penafsiran manusia.
Yang kedua adalah bahwa manusia melulu merupakan produk dari makna yang dibentuk secara sosial. Konsekuensi logisnya ialah nego-sosial sebuah keniscayaan. Ketika ada batas yang tidak bisa masuk dan tidak sesuai dengan kenyamanan kita maka kita bisa bernegosiasi dengan hal tersebut.
Lantas, bagaimana kita dapat merefleksikan sebuah pernyataan pertama, Tubuhku adalah sudut pandangku tentang dunia. Kedua, Tubuhku adalah refleksi sudut pandang dunia tentang diriku? Jihan memantik diskusi ke arah yang lebih spesifik.
Mengenai konstruksi sosial terhadap tubuh, Lusty, salah satu peserta bercerita mengenai rumitnya persoalan image yang dihadapi tubuh. Baginya, saat kita memiliki kepercayaan diri dan sudah mandiri dengan semua ‘persoalan tubuh’ dan melepaskan diri dari ketakutan jadj b ‘bahan omongan’ atau image dari orang lain, misalnya dibilang gendut, kurang cantik atau sebagainya, maka yang terjadi ialah sudut pandangku tentang dunialah yang membentuk diri kita.
Refleksi serupa juga disampaikan Putri, yang dilihatnya dari pengalaman empiris yang menyertainya. “Karena posisi manusia sebagai makhluk sosial, maka kita sedang berevolusi dan berkembang, jadi pasti hal yang ada diluar mempengaruhi cara kita berpikir dan memandang, tetapi juga kita memiliki pemahaman pribadi atas tubuh kita. Jadi menurutku, intinya keduanya sih,” tutur Putri.
Refleksi-refleksi lain yang disampaikan peserta tak kalah menariknya. Di tambah lagi, diskusi ini mengajak ke sebuah metode “mendengar diri kita lebih dalam”. Itu datang dari Mayora, peserta asal Papua, yang bercerita bagaimana ia melewati setiap fase demi fase dalam berdialog dengan tubuh, secara bertahap. Baginya, mendengar tubuh sendiri bicara, membawanya masuk dalam sebuah pilihan: yakni kejujuran.
Kejujuran pada tubuh kita adalah rahim otensititas
Karenanya saat kita berbicara mengenai seksualitas, musyik mengabaikan diskursus ketubuhan. Tubuh dan pengalaman ketubuhan adalah sumber material yang sahih untuk menjadi titik berangkat sebuah diskursus sosial apapun itu. Karena titik berangkatnya ialah bicara ketubuhan, ia melampuai semua sekat sosial. (Risma Dwi P, AWS, YIFOS Indonesia)