Salam semangat para Peacemaker,
Artikel kali ini sepertinya akan tepat jika diberi tajuk \”pengetahuan tak pernah basi\”. Yap!! Meski telah usai sejak satu bulan yang lalu, namun dengan sangat sadar kami merasakan bahwa 1st Diversity Youth Camp telah meninggalkan jejak dan pengetahuan yang luar biasa. Koordinator Divisi LitBang kami, Anam, berbagi cerita melalui sebuah catatan kecil. Yuk disimak, direnungkan, dan kami tunggu komentarnya.
Mojokerto 25 Oktober 2012
Berbagi Pengetahuan dan Pengalaman: Saatnya Kaum Muda ‘Melek’ Keberagaman dan Perdamaian.
Sebuah Catatan Kecil Dari 1st Diversity Youth Camp, Mojokerto, Jawa Timur.
“Jika ada dari teman-teman semua yang merasa cakep, good looking and nice, mohon berdiri!”, begitu kira-kira penggalan kalimat yang saya lemparkan saat berkesempatan menjadi pembicara pada 1st Diversity Youth Camp yang diselenggarakan oleh teman-teman Staramuda di Mojokerto beberapa waktu yang lalu. Rasa bangga dan haru menjadi satu manakal menyaksikan ‘ternyata’ masih banyak teman-teman muda yang rela duduk berjajar, belajar, dan bertukar pikiran untuk sebuah ide yang seragam, keberagaman dan perdamaian. Hal ini menjadi menarik karena pemuda rupanya tidak se-sepele gambaran media akhir-akhir ini yang selalu mengaitkan pemuda dengan tawuran, pergaulan bebas, dan hal-hal negatif lainnya. ‘pemuda’ boleh saja menjadi sebuah entitas tunggal, namun hal ini tidak bermakna ‘pemuda’ harus diartikan secara dangkal dan janggal. Karena ketika menjadi identitas, ‘pemuda’ memiliki makna yang tidak terbatas.
‘Identitas dan ruang tidak terbatas’ merupakan tema yang saya angkat dengan membawa bendera Yifos sebagai organisasi dimana saya belajar dan berproses dengan sabar. Menjumpai sekitar 50 an teman-teman muda yang mayoritas berasal dari Jawa Timur dengan segala keunikan dan kemandirian identitas mereka masing-masing, saya merasa beruntung karena bertemu dengan para generasi bangsa yang bersedia untuk mempelajari dan menikmati berbagai macam identitas yang masing-masing dari mereka miliki. Keberagaman identitas ini bukan saja terbatas pada agama dan suku budaya saja, tetapi juga keragaman identitas seksual. Maka tidak heran jika dalam kemah pemuda ini terdapat banyak pemuda dengan beragam identitas agama, kesukuan, dan seksual. Saya juga berjumpa dengan dua kawan muda yang luar biasa dari GAYa Nusantara Surabaya, Antok Serean, dan Dining dari Aliansi Remaja Independent. Juga teman-teman muda di StaraMuda yang tidak kalah hebatnya.
Pada sesi “bergulat dengan identas di ruang tanpa batas”, saya mengajak para teman muda untuk berefleksi dan menyadari bahwa masing-masing dari kita adalah unik dan spesial, karena hanya ada satu orang yang benar-benar seperti kita di dunia ini, yakni diri kita sendiri. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang nakalnya, pinternya, bawelnya, sholehnya, dll, yang sama persis seperti kita, oleh karenanya kita semua adalah unik dan special. Maka sudah sepatutnya kita merayakan hal ini sebagai sebuah anugerah dan berkah. Namun demikian, hal ini tidak selalu bermakna bahwa ‘keunikan’ yang kita miliki selalu dimaknai sebagai sebuah anugerah oleh masyarakat dan lingkungan dimana kita tinggal dan berjejal. Tidak jarang sesuatu yang kita anggap ‘unik’ justru dimaknai sebagai ‘munafik’ yang berisik.
Oleh karenanya menjadi penting untuk mengetahui bahwa keunikan yang kita miliki adalah identitas yang terus berkelindan di ruang tanpa batas. Dengan mengutip Amrtya Sen (2006), kita akan mengerti bahwa identitas digunakan sebagai alat identifikasi atas suatu entitas atau peristiwa. Sementara identitas itu sendiri terbagi kedalam acquired, dimana kita sendiri sebagai subyek yang berjuang untuk menemukan dan akhirnya mempertahankan identitas personal kita, dan ascribed dimana orang lain yang justru memberikan kita berbagai label bernama identitas itu kepada kita. Maka ketika ada salah satu peserta camp yang berdiri ketika saya meminta siapa saja yang merasa keren untuk berdiri, saya lalu bertanya
“Apa yang membuatmu merasa keren?”, dengan singkat namun padat, ia menjawab, “karena saya memang merasa keren!”. “okee, itu adalah salah satu bentuk Acquiring identity, karena kamu mencoba melabeli dirimu sendiri dengan identitas tertentu”, sahut saya cepat, lalu saya melanjutkan “sekarang mari kita mencoba melihat ascribed identity apa yang orang lain miliki tentang kamu”, maka saya lalu bertanya kepada seluruh peserta camp yang ‘kebetulan’ tidak ikut berdiri, “apakah menurutmu dia (peserta yang sedang berdiri itu) keren?”. Jawaban atas pertanyaan itu adalah salah satu jenis ascribed identitas.
Dengan kata lain hal ini bermakna bahwa, baik acquired dan ascribed tidak bisa terlepas satu sama lain. Saya misalnya, tidak akan bisa mengklaim diri saya sebagai yang ‘keren’ jika tidak ada satupun orang yang setuju bahwa saya memang ‘keren’. Meski hal ini tidak selalu bermakna bahwa saya harus menunggu orang lain setuju dengan klaim saya, karena bisa saja saya ‘keren’ dengan cara dan standar yang saya miliki sendiri. Maka poin penting dari dualitas identitas adalah “YOU KNOW BEST OF WHAT AND WHO YOU ARE”. Adalah kita sendiri yang paling mengerti apa yang terbaik untuk kita, bukan orang lain. Namun demikian, adalah wajib bagi kita untuk menghormati hak orang lain untuk berbeda pendapat dengan kita.
Dalam bahasa yang simple saya ingin mengatakan, Jikapun orang lain tidak setuju dengan ke-oke-an kamu, so what gitu loh? Yang penting, kita tidak memaksakan pendapat kita ke orang lain. Karena sesuatu yang kita anggap ‘benar’ belum tentu ‘baik’. Jadi, lakukan yang terbaik dan jangan rumpik!
Anam.