
Oleh Ael Napitupulu
Ditulis pada 15 Mei 2022
Sebenarnya saya gak pengen-pengen banget mau nulis ini. Di samping sudah basi ya, pembahasan tentang siniar Deddy Corbuzier yang mengundang Ragil Mahardika dan pasangannya itu menurut saya – kalau kata anak Jaksel itu overrated. Padahal, kalau mau dengar topik seputar kisah orientasi seksual yang berbeda, bisa banget dengar konten obrolan Dena Rachman dengan Icel dan Arisdo di Saluran YouTube BebiTalk, atau kalau mau akses informasi seputar identitas gender yang berbeda, bisa juga nonton Kick Andy episode Jingga di Antara Hitam dan Putih.
Saya bukannya tidak merekomendasikan untuk mendengar kisah Ragil dan pasangannya. Tidak begitu. Hanya saja, kita mesti lebih selektif untuk melihat: siapa yang memproduksi dan mengatur narasi dalam konten tersebut? Jangan sampai, kelompok-kelompok minoritas gender dan seksualitas ini hanya dipakai untuk mengeruk keuntungan dan viewers, tanpa memperhatikan konsekuensi dan kondisi keselamatan individu yang diundang. Apalagi memang dengan sengaja membuat judul clickbait, yang jelas-jelas dapat membahayakan bintang tamu yang diundang. Jika memang ingin mendengar cerita sehari-hari dari Ragil dan pasangannya, sebaiknya ikuti saja sosial media yang dia punya. Lewat platform yang dimilikinya, penonton bisa mengakses video-video yang mengisahkan kehidupan Ragil dan pasangannya sehari-hari!
Oke, pengantarnya cukup. Saya ingin menyampaikan pendapat saya tentang salah satu pertanyaan di sekitar ramainya pemberitaan konten video yang diberi judul “TUTORIAL JADI G4Y DI INDO!!”. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah mengapa video Ragil doang yang rame-rame dipermasalahin, sementara sudah sejak lama Deddy Corbuzier mengundang beberapa individu dari latar belakang orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda di konten siniarnya? Pastinya, alasannya tidak tunggal, dan saya tidak akan membahas semuanya. Bisa jadi karena memang Ragil adalah sosok kreator konten yang viral di sosial media. Namun, setelah dipikir-pikir, orang-orang lain yang diundang oleh Deddy Corbuzier juga adalah orang-orang terkenal. Barangkali juga karena judul yang dibuat begitu provokatif. Namun, setelah dilihat-lihat, konten Deddy yang membahas pasangan lesbian juga dikasih thumbnail yang clickbait, meski sekarang udah gak bisa diakses lagi. Tapi kamu masih bisa cek jejak digitalnya lewat mesin pencarian Google. Atau, alasan lainnya barangkali ada agenda “menggoreng” isu LGBT untuk dipakai agenda politik 2024?
Dari beberapa kemungkinan-kemungkinan di atas, salah satu hal yang membuat masyarakat bereaksi lebih masif terhadap konten siniar ini, menurut saya adalah karena kebencian terhadap kelompok gay lebih besar dibanding misalnya kelompok lesbian. Mengapa bisa seperti itu? Sebelum kita lanjutkan, saya ingin menyampaikan sangkalan bahwa tulisan ini tidak sedang bertujuan untuk membanding-bandingkan komunitas satu dan yang lainnya. Akan tetapi, tulisan ini mencoba melihat fenomena yang ada pada masyarakat tentang: mengapa masyarakat bisa bersikap berbeda terhadap satu hal, meski kedua-duanya tidak mereka setujui?
Dalam masyarakat yang masih memelihara budaya patriarki, nilai misoginis menjadi tidak terelakkan. Pada sistem heteronormatif, praktis perempuan menjadi target kebencian. Kalau begitu bagaimana dengan relasi homoseksual? Nilai-nilai misoginis yang tadinya menargetkan seseorang hanya karena dirinya seorang perempuan, kemudian mewujud pada kebencian terhadap femininitas yang ditampilkan oleh laki-laki dalam konteks homoseksualitas. Tuntutan sistem patriarki yang memberi tugas dan persepsi ekspresi gender dikotomis antara laki-laki dan perempuan, kemudian seolah juga memberi tingkatan pada sebuah ekspresi: maskulinitas lebih tinggi nilainya dibanding femininitas. Ketika seseorang lelaki yang kebetulan memiliki ekspresi gender feminin, dia dianggap “turun kelas” dan rentan mendapatkan diskriminasi. Analisis terhadap asumsi bahwa keperempuanan dan feminitas dianggap lebih rendah dalam masyarakat juga pernah diulas oleh Julia Serano; seorang penulis dan cendikiawan.
Kebencian terhadap femininitas parahnya juga diinternalisasi oleh kelompok gay itu sendiri. Sadie E Hale dan Tomás Ojeda mengutip sejumlah cendikiawan seperti Bergling (2006) dan Baker (2003) yang mendokumentasi sikap penolakan terhadap laki-laki feminin di kelompok gay. Hal ini menjawab mengapa tidak sedikit individu gay yang ikutan mencaci Ragil di kolom komentar. Cacian itu juga diarahkan ke seleb di sosial media yang membela Ragil di kolom komentarnya. Asumsi bahwa laki-laki feminin digambarkan seperti seseorang yang \’bergerak menuruni tangga gender\’ dan \’meninggalkan hak istimewa maskulin mereka’, berhasil diinternalisasi oleh individu-individu gay itu sendiri.
Jika analisis yang saya bangun terhadap sikap penolakan masyarakat adalah mengenai misoginis, kemudian pertanyaannya mengapa hal ini tidak berlaku pada kelompok lesbian atau transpuan yang kerap diundang pada siniar serupa? Bukankah mereka juga bagian dari kelompok perempuan, serta “yang meninggalkan hak istimewa maskulin mereka” bagi kelompok transpuan? Kita jangan lupa dengan male gaze. Kehadiran kelompok lesbian dan transpuan yang diundang dalam siniar, kerap dibumbui dengan thumbnail dan judul-judul semacam “cantik, hot, panas, sexy?” Ya, kelompok perempuan dan transpuan dijadikan objek dan diseksualisasi dalam konten-konten yang diproduksi. Tak heran, konten-konten yang menampilkan tubuh perempuan dengan pakaian yang minim di YouTube channel yang sama, tidak menjadi sasaran kemarahan warganet.
Konten lesbian yang diseksualisasi bukan hanya asumsi dari saya. Fenomena ini juga tergambar dalam Pornhub Insight yang dikeluarkan setiap tahun. Situs penyedia konten dewasa ini merilis berbagai data yang ditampilkan dalam bentuk infografis. Dari penelusuran saya, paling tidak pada tahun 2014-2021 kata kunci “lesbian” selalu ada di urutan teratas (dan kerap sekali menduduki peringkat pertama yang paling sering dicari). Sayangnya, data pengakses dari Indonesia tidak dapat ditampilkan, mengingat pengguna dari Indonesia perlu memasang VPN. Hal ini membuat data pengakses dari Indonesia masuk ke negara-negara lain.
Dalam artikel The eroticization of lesbianism by heterosexual men yang ditulis Kristin Puhl, dijelaskan bahwa salah satu kemungkinan bagi laki-laki heteroseksual memiliki daya tarik terhadap konten lesbian adalah karena kesempatan menghadirkan banyak perempuan. Puhl merujuk pada film Kissing Jessica Stein yang menampilkan dua pria heteroseksual ditanya apa yang menurut mereka menarik tentang lesbian? Kedua laki-laki tersebut menjawab \”Ini dua perempuan dan mereka bersama-sama. It’s double sexy!”. Pada akhirnya, konten-konten yang berkaitan dengan lesbian hanya dipakai sebagai fantasi dalam sudut pandang laki-laki heteroseksual.
Pada akhirnya, kita perlu lebih giat menyuguhkan edukasi guna menciptakan masyarakat yang cerdas dan kritis. Kita perlu menyediakan informasi terkait berbagai hal: misoginis, male gaze, termasuk isu seputar orientasi seksual, identitas gender, ekspresi, dan karakteristik seks. Smart people sudah seharusnya menjadi visi bersama yang ditampilkan dalam konten-konten yang diproduksi, tidak hanya menjadi sebuah slogan semata!