
By. Joshua Intan
Aku sering memikirkan tentang Bruce Wayne, bukan memikirkan kekayaan, ketampanan atau kekuatan supernya. Yang menjadi pertanyaan terbesarku adalah siapa yang sebenarnya sedang menipu, apakah Bruce Wayne yang menipu orang lain sebagai Batman, atau Batman yang sedang menipu orang ketika sedang mengambil peran Bruce Wayne??? Antara Batman dan Bruce Wayne, mana yang realita mana yang mimpi? Mana yang asli, mana yang samaran? Entahlah.
Ini cukup membingungkan memang, tapi rasanya hidupku pun tak jauh berbeda. Nadia si pengerja gereja dan Nadia si Lesbian. Peranku seolah berubah tergantung di lingkungan mana aku sedang berada. Sekalipun pendetaku cukup terbuka, namun aku masih belum tahu pastinya bagaimana kalau aku mengatakan yang sesungguhnya tentang siapa aku. Lupakan dulu saja, aku belum punya rencana untuk mengatakan hal ini padanya.
Sudah hampir 1 jam aku mengaduk-aduk isi almariku dan mencari baju yang pas untuk kupakai. Pagi ini kak Rania mengajak sarapan diluar bersama. Aku mempersiapkan diri dengan baik pagi ini, berdandan, menata rambut dan memilih baju. Aku antusias sekali karena ini pertama kalinya setelah 2 minggu lebih kami tak berkomunikasi akhirnya bisa keluar lagi. Aku tidak boleh terlihat jelek pagi ini, untuk itulah aku rela bangun sangat pagi.
Lalu berderinglah telponku, di layar HP terlihat nama kak Lukman,
“Hallo kak, ada apa?”
“Nad, sorry banget telpon pagi-pagi. Ini Nad, pak Mardi yang kemarin kita besuk itu meninggal, hari ini aku diminta mimpin kebaktian di rumah duka.”
“Oh iya, lantas???”
“Nah, padahal jam 11 nanti aku juga ada jadwal buat mimpin persekutuan di SMA 3. Gini Nad, aku minta tolong kamu gantiin mimpin di persekutuan jam 11 ya. Please…” hatiku mencelos seketika.
Kami mengakhiri obrolan dengan persetujuanku untuk menggantikan tugas kak Lukman di SMA 3. Dengan berat hati aku menghubungi kak Rania yang ternyata sudah siap menjemputku dan membatalkan janji kami pagi ini. Kak Rania terdengar biasa saja awalnya, namun kurasa dia agak kecewa ketika aku juga menolak ajakannya untuk makan siang karena aku harus menyusul ke pemakaman jemaat kami.
Dengan hati yang tidak enak aku berganti pakaian dan mulai menyalakan laptop sembari membaca Alkitab untuk mempersiapkan bahan yang akan aku bawakan di persekutuan nanti. Jika sudah begini aku harus melupakan dulu kekesalan hatiku lantaran batal berjumpa kak Rania, dan kukerahkan segenap tenagaku untuk menyelesaikan bahan renungan.
Aku sudah banjir keringat ketika sampai ke pemakaman, untung saja aku berhasil menyelesaikan tugas tepat waktu sehingga aku masih sempat menyusul untuk mengunjungi keluarga jemaat yang tengah berduka. Tidak berselang lama dari kedatanganku upacara pemakaman pun usai. Setelah memberikan sedikit kata-kata penghiburan kepada keluarga, akupun undur diri.
“Nadiaa…” kak Lukman setengah berlari menghampiriku.
Aku menghentikan langkahku tepat dibawah pohon besar yang lumayan teduh,
“Nad…huff… Thanks ya buat hari ini. Huuff…huff… gimana tadi? Lancar kan?” kak Lukman terengah-engah usai berlari.
“Iyaa, lancar aja kok Puji Tuhan.” Menawarkan air putih yang aku bawa di dalam tas, “makanya, kakak itu Fitnes kek, jogging atau olahraga apa gitu lho. Perut udah segedhe itu.”
“Thanks…” meneguk air putih yang kuberikan, “iya…minggu depan fitness kok.”
Kami lalu berjalan beriringan menuju kendaraan yang ternyata sama-sama terparkir jauh di luar pemakaman. Tiba-tiba kami mendengar percakapan dua orang dibelakang kami,
“Ih… jijik banget deh, kaya nya memang Lidia itu pacaran sama cewek kok” Suara orang pertama.
“Iya, katanya ada yang pernah mergokin mereka lagi kencan kok. Anak saya kan temennya Lidia dari SMP, katanya memang dia itu mainnya sama orang-orang begitu.” Suara orang kedua.
“Serem ya bu, jangan-jangan memang ini sudah mau kiamat, makin banyak aja orang-orang lesbian yang berani muncul terang-terangan.”
Lalu kedua orang yang tak kami kenal itu berjalan mendahului kami. Aku dan kak Lukman sontak saling berpandangan. Aku rasa ekspresi takut dan ngeri yang tergambar di wajahku kali ini tak bisa kusembunyikan lagi. Sedang raut muka yang langsung kutangkap dari kak Lukman adalah tatapan tak percaya.
“Kenapa kak??” aku cemas dan kesulitan membaca arti tatapan kak Lukman.
Menggelengkan kepala sambil mengerjap, “Wow… entahlah.”
Menaikkan bahu, “Maksudnya entahlah???”
Tersenyum, “Ya entahlah, mau dibilang salah juga nggak, mau dibilang bener juga enggak banget.”
Aku diam dan masih tak mengerti,
“Maksudnya dua ibu tadi Nad, kalau kita mau salahin mereka atas ucapannya kan ya nggak bisa, mungkin mereka punya pandangan seperti itu karena mereka nggak tahu. Tapi ya aku nggak bisa membenarkan ucapan mereka itu.” Terangnya.
“Oh…” aku menelan ludah sambil mengumpulkan keberanian bertanya, “Kak, menurut kakak jika seseorang menjadi atau memilih jadi homo itu dosa nggak??”
“Siapa sih yang bisa menentukan seseorang itu berdosa atau enggak Nad? Lagian kita lahir ini aja sudah bawa benih dosa kok, dan setiapmanusia memang sudah jatuh kedalam dosa. Nggak perlu jadi homo, semua sama sudah berdosa. Aku nggak setuju kalau homo dikaitkan dengan dosa.”
“Kak Lukman serius?? Maksudnya, apa kak Lukman nggak mandang orang-orang homo itu melenceng karena nggak sesuai dengan perintah Tuhan untuk hidup berpasangan dan memiliki keturunan? Jika begitu bukankah Tuhan secara tersirat bilang bahwa hubungan yang DIA mau itu ya hubungan beda jenis kelamin, supaya menghasilkan keturunan.”
“Kalau pasangan beda jenis kelamin dan nggak bisa punya keturunan gimana Nad?? Dosa juga berarti karena nggak sesuai dengan goal Tuhan yang memerintahkan kita beranak cucu?? Nggak juga kan?? Kupikir masalah kepada siapa kita mencintai itu adalah bentuk anugerah juga. Cinta ya begitu Nad, kita kadang nggak tahu kapan datangnya, seperti kita nggak tahu alasan apa yang buat kita mencintai seseorang. Hal yang lahiriah, alami dan tanpa paksaan itu menurutku adalah hal yang indah dan suci. Jadi jika orang dengan jenis kelamin sama saling mencintai tanpa paksaan ya sudah, biarkan saja. Bukankah itu lebih indah dibandingkan mereka dipaksa berpisah dan dipasangkan dengan orang beda jenis kelamin?? Seringkali kesalahan kita adalah melihat siapa yang saling mencintai, bukan melihat kenyataan seperti apa cinta itu. Itu yang bikin pikiran kita sempit dan mengkotak-kotakkan cinta.”
Aku mengangguk-angguk lega, “Andai saja semua orang punya pemikiran yang sama dengan kamu ya kak…” sedikit bergumam.
Mereka bilang aku harus bangun dari tidurku
Menyibakkan selimut yang sepanjang malam menghangatkan tubuh
Dan menjejakkan kaki ke lantai untuk mulai menghadapi kehidupan dengan jiwa utuh
Tahukah kalian, aku sendirilah pemilik kisah nyata dan semu
Aku tak perlu bertanya padamu
Aku juga tak perduli ucapanmu
Asal kalian tahu
Bangunku adalah hidup semu yang pilu
Sedang mimpiku adalah kenyataan hidup yang kurindu
(Bangun???)
Sore tadi aku sempat telponan dengan kak Rania, sebenarnya aku berharap malam ini dia mengajakku makan malam diluar namun rupanya dia sedang ada janji dengan teman-temannya. Akhirnya malam ini aku dan kak Lukman makan di angkringan baru di sekitaran kota barat. Aku,kak Lukman,mbak Vera dan kak Adi punya hobby sama yaitu jelajah kuliner. Biasanya kalau ada tempat baru kami selalu bergegas kesana, tapi malam ini mbak Vera ada tugas di apotek miliknya sedang kak Adi sedang sibuk mendampingi anak-anak remaja belajar biola.
Tempatnya asik, bangku-bangku kayunya aku suka dan bahkan keseluruhan interiornya aku suka. Mungkin karena tempat ini masih baru, makanya penuh dan ribut sekali. Kami disuguhi penampilan band akustik yang membawakan lagu “menye-menye”, begitulah istilah yang aku dan kak Lukman pakai untuk menyebut lagu dengan lyric galau atau patah hati.
Setelah makan kami ngobrol-ngobrol seperti biasa, dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan pelayanan kami sampai kehidupan masa lalu kami yang sama sekali nggak penting kecuali untuk ditertawakan. Karena sudah berteman lama terkadang aku lupa bahwa kak Lukman adalah pendetaku, makanya kami bisa saja ngobrol santai dan tertawa seperti malam ini.
Saking asiknya ngobrol, kami nggak tahu kalau ini sudah hampir tengah malam. Pengunjung yang tersisa hanya tinggal beberapa orang saja termasuk kami berdua. Setelah penyanyi pria bersuara serak itu menyelesaikan lagu “When I Was Your Man milik Bruno Mars” kamipun segera pulang.
Kak Lukman yang tadi menjemputku sekarang bertugas mengantarku pulang ke pastori seperti biasa. Mata sudah sedikit mengantuk karena perut juga kenyang, ditambah semilir angina dari AC di dalam mobil dan radio yang di putar dengan volume kecil. Aku sudah memejamkan mata ketika kak Lukman membuka obrolan kembali,
“Nad, boleh kutanyakan sesuatu sama kamu?”
“Yaa… silahkan… Feel Free.” Jawabku sambil masih memejamkan mata.
“Mmm Nad, sebenarnya ini agak pribadi sih.” Suara kak Lukman timbul tenggelam dan terdengar ini akan menjadi percakapan yang serius, akupun membuka mata dan menegakkan posisi dudukku.
“Ya, apa itu kak?” aku jadi penasaran.
“Ehem…” berdeham, agaknya kak Lukman berusaha menutupi perasaan yang entah apa, “Jadi Nad, kita kan sudah kenal lama, dari awal aku datang kesini kamu adalah salah satu rekan pelayanan yang dekat denganku…”
“Pleaseee… jangan bilang kalau kamu tahu aku lesbian. Aku belum siap untuk jujur pada siapapun saat ini…” aku menjerit dalam hati, kali ini aku sangat ketakutan.
“…akhir-akhir ini aku sedang memikirkan sesuatu, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku suka padamu Nad.”
Aku tak bisa menjawab apa-apa waktu kalimat itu meluncur dari mulut kak Lukman. Yang aku tahu mulutku menganga dan mataku melotot lantaran tak percaya. Tidak ada sepatah katapun yang melintas di kepalaku selama beberapa saat, kak Lukman pun demikian bahkan dia tak berani memandangku.
Hingga akhirnya, “Sudah Nad, nggak perlu dijawab dulu… kamu pikirkanlah dulu perasaanku ini, kamu berdoa aja dulu. Sorry ya kalau tiba-tiba bilang begini, tapi aku sudah lama memikirkannya. Ini yang aku rasain Nad.”
Sampai mobil tiba di pastori aku masih belum bisa mengatakan apa-apa. Sekuat tenaga aku mencoba mengumpulkan kata-kata tetap saja tak berhasil. Entahlah, apakah aku bingung karena terkejut atau karena aku takut menolaknya??? Entah…
Bersambung…