Perempuan Berparas Tampan : Pergumulan dan Penantian (bagian 3)

\"images\"

Story by : Joshua Intan

Pribadimu cerminan perjalanan dan penantian hidupmu yang panjang

Dalam penantian semestinya ada kesabaran, ketenangan, kewaspadaan

Pula tak lupa keberanian untuk tetap melangkah sekalipun semak belukar mungkin akan menggores tumit

Menanti bukanlah sebuah pekerjaan, paksaan, apalagi pengorbanan

Menanti adalah pilihan dari sebuah pengabdian diri

Bebas, lepas, namun tidak tanpa batas

Penantian dalam sebuah kesadaran akan membawa kita pada titik cerah tapakan langkah,

Membebaskan kita dari sudut-sudut kosong ruang hampa.

(Penantian)

“Nad… Naaad…Nadia…” kak Lukman membuyarkan lamunanku.

“Sorry-sorry kak, ada apa?? Gimana tadi?”

Aku mengawasi secara bergantian antara kak Luman, kak Adi dan Mbak Vera yang ternyata tengah memandangiku dengan heran. Siang ini kami tak sengaja bertemu di gereja, lalu kami semua makan siang sambil ngobrol sebelum akhirnya aku hanyut dalam lamunanku sendiri. Kak Lukman adalah salah satu pendeta di gereja kami, masih muda dan belum punya pacar. Mbak Vera adalah majelis gereja yang juga masih sangat muda, sedang kak Adi adalah pengerja musik gereja. Kami memang sangat dekat, mungkin karena usia kami yang tak terpaut jauh, juga karena kami rekan sepelayanan.

“Nadiaaa… bengong aja ih…” Mbak Vera tersenyum sambil mengacak-acak rambutku.

“Naaah… galau ya??? Kenapa nih??” Kak Adi gentian menggodaku yang hanya bisa kubalas dengan cengiran terpaksa.

“Mmm udah, udah, jangan di godain nanti nangis hehehe” kak Lukman lalu mengeluarkan HP dan meminta perhatian kami, “Jadi, lusa sinode wilayah Jateng mau ada seminar LGBT, tadi pagi aku dapat email undangan, siapa yang mau berangkat???”

“LGBT??? Sinode??? Yang bener kak??” Aku setengah tak percaya.

“Iya, keren kan… dan aku tahu kamu pasti mau berangkat, makanya kamu udah langsung aku daftarin tadi.” Kak Lukman mengedipkan matanya padaku yang kubalas dengan senyuman.

“LGBT??? Apaan tuh?” tanya mbak Vera.

“LGBT itu Lesbian, Gay, Biseksual,trus apa sih T nya?? Transgender ya???” jawab kak Adi.

“Iya… betul.” Sahut kak Lukman.

“Oh, jadi sinode mau bahas apaan??” mbak Vera semakinn antusias.

“Jadi besok pembicaranya seru nih, ada dari psikolog, budayawan, sama dari komunitas LGBT Jogja. Banyak yang akan dikaji di seminar itu. Kamu mau ikut mbak? Kalau iya nanti aku daftarin.”

“Dimana sih seminarnya? Lusa ya? Boleh deh,”

“Di Gereja Gejayan. Oke nanti mbak Vera aku daftarin. Kamu mau ikut nggak Di?”

“Mmmm Lusa…lusa…lusa… aku nggak ada acara sih, iya deh berangkat. Kamu berangkat kan Nad?”

Aku mengangguk.

“Oke, kita berempat berangkat bareng ya.” Dan kami menerima dengan senang hati tawaran kak Lukman tersebut.

 

Malam ini seusai latihan bersama tim musik untuk kebaktian minggu, aku langsung kembali ke pastori yang terletak di lantai 2 salah satu sisi gedung greja. Aku menolak beberapa tawaran teman-teman untuk makan malam bersama dan memilih langsung mandi air hangat.

Sudah 2 minggu aku dan kak Rania tak ada komunikasi. Setiap hari aku bertanya apa yang tengah dilakukannya, namun tak ada keberanian bahkan untuk sekedar menyapanya. Terlebih lagi aku juga belum bisa mengambil keputusan apapun untuk hubungan kami. Rindu sekali rasanya, juga sakit sekali, namun aku selalu membuang rasa rindu ini jauh ke sudut hati.

Kira-kira setengah jam aku membiarkan tubuhku tersiram air hangat, setelah itu aku menyeduh kopi dan duduk di ruang tamu. Aku sudah tinggal hampir 6 bulan di pastori yang mungil namun nyaman ini seorang diri. Sejak pertama kali kedatanganku untuk mengabdikan diri sebagai pengerja gereja bagi komisi remaja pemuda, aku langsung diminta tinggal di pastori.

Aku senang mengabdikan diri untuk Tuhan yang kupercayai, ditambah lagi tinggal dekat dengan gereja. Ini adalah bagian dari hidup yang memang kuinginkan semenjak aku menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Aku ingin memberi diri dalam melayani jemaat Tuhan semampuku.

Cintaku akan Tuhan yang besar membuatku seringkali tidak bisa menerima diriku sendiri yang sudah menyadari perbedaan orientasiku ini sejak duduk di bangku SMA. Cinta pertamaku saat SMA adalah seorang gadis tim basket seangkatan denganku. Aku rela tertahan di sekolah hingga larut demi melihatnya berlatih basket bersama tim nya setiap sore di lapangan sekolah. Pada saat itu aku tak tahu apa yang membuatku jatuh cinta padanya, hanya saja aku tak bisa berhenti memikirkannya dan selalu ingin melihatnya.

Namun demikian, aku juga berjuang keras menyangkal perasaanku itu. Aku takut berdosa, aku takut masuk neraka jika aku mencintai wanita. Aku sering menganggap perasaanku padanya hanya sebatas kekaguman saja dan tak pernah lebih. Bahkan aku berusaha berpacaran dengan seorang pria yang malah membuat hatiku makin tersiksa.

Sulit sekali mencintai pria, dan bisa kukatakan aku tak bisa. Seberapa keraspun aku memaksakan untuk menaruh hati kepada lelaki namun semuanya sia-sia. Hingga detik inipun aku belum pernah benar-benar mencintai lelaki. Orangtua dan kawan-kawanku sering bertanya padaku apakah aku tak ingin berpacaran, tapi aku selalu berdalih bahwa belum ada pria yang membuatku jatuh hati.

Selama ini orang-orang disekitarku menganggap bahwa aku terlalu memasang standar tinggi dalam mencari pasangan, aku tak perduli lagi apa yang mereka pikirkan tentangku dan kisah cintaku yang sulit. Bagiku selama mereka tak tahu aku seorang lesbian itu sudah cukup.

Aku baru bisa berdamai dengan diriku sendiri setelah aku lulus dari SMA. Aku sadar bahwa orientasiku seksualku tidak sama dengan sekitarku, dengan keluarga maupun kawan-kawanku. Tidak kukatakan pada seorangpun, namun setidaknya aku dan Tuhanku tahu siapa diriku.

Awalnya aku berpikir mungkin lebih baik aku hidup sendiri sampai mati. Bila aku jatuh hati nanti kepada wanita, entah siapapun itu biarkan kusimpan cinta itu diam-diam. Itu lebih baik daripada orangtuaku kecewa padaku, teman-teman menolakku dan gereja melabeliku sebagai pendosa.

Tapi semuanya mulai berubah saat aku berjumpa dengan sesosok perempuan dengan paras tampannya satu tahun silam. Aku begitu terpesona padanya bahkan aku ingin berbagi cinta dengannya. Ada rasa berontak dalam hati yang sejak lama ingin membebaskan diri untuk mencintai, namun juga masih ada ketakutan yang menghalangi.

Malamini aku sangat merindukannya, merindukan ngobrol dengannya. Tepat ketika aku hendak mengirimkan pesan melalui BBM pada kak Rania, tiba-tiba masuk BBM dari kak Lukman,

Jangan lupa besok kita berangkat jam 6 pagi ya, Kumpul di gereja, GBU all.

Setelah membaca pesan ini aku mengurungkan niatku kembali untuk menghubungi kak Rania, dan dengan lemas berjalan ke kamar untuk tidur. Mungkin karena badanku yang tak berenergi, semangatku yang menurun dan perasaan yang sedih akhir-akhir ini, aku jadi sulit tidur. Begitu pula malam ini, aku harus berjuang keras untuk memejamkan mata. Hingga akhirnya aku berhasil tertidur selewat pukul 3 pagi.

 

Tepat pukul 10.00 WIB mobil yang kami tumpangi memasuki pelataran gereja Gejayan Yogyakarta. Dan sungguh tak diduga aku menemukan pemandangan yang membuat jantungku hampir lepas ketika turun dari mobil, aku melihat kak Rania ada di tempat ini juga. Dari kejauhan aku tahu itu dia, rambutnya yang panjang namun diatur rapi, kemeja hitam lengan panjang, celana jeans panjang yang sobek di kedua lututnya, sepatu kulit berwarna coklat setinggi mata kaki lengkap dengan kacamata hitamnya.

Kak Rania berada ditengah kerumunan orang-orang yang tak kukenal, sebagian dari mereka berambut pendek dan terlihat sangat maskulin. Aku sengaja berjalan dibelakang Kak Lukman dan Mbak Vera, sedang kak Adi yang tengah sibuk dengan HP nya berjalan disampingku.

“Lhoh… pendeta Lukman…” kak Rania menoleh kearah kami ketika kira-kira jarak kami hanya tinggal 7 langkah.

Kak Lukman yang disapa pun terlihat terkejut, “Loh, Rania… kamu disini juga?”

“Iya… Hai Nad” kak Rania mengulurkan tangan dan menjabat kami satu persatu.

“Kamu utusan gereja juga Ran?? Gereja mana??” tanya kak Adi.

“Oh bukan, jadi aku kenal beberapa temen komunitas LGBT di Jogja juga sih, dan mereka kasih kabar, jadi ya aku datang aja.”

“Oh iya, kamu kan aktivis di issue LGBT juga ya… Oke oke… yuk masuk aja, kita belum daftar ulang soalnya.” Kak Lukman mengajak kami semua masuk.

Selama hampir 5 jam kami ada dalam satu tempat yang sama namun tak saling bicara. Bahkan saat jeda makan siang aku sengaja memisahkan diri dari rombonganku yang memilih duduk sama-sama dengan kak Rania dan kawan-kawannya. Sembari menikmati makan siang disamping taman yang sejuk, dari kejauhan aku mencuri pandang kearah kak Rania yang tengah ngobrol.

Seusai acara kami langsung kembali ke Solo karena esok pagi kak Lukman mendapat tugas ibadah pagi, dari obrolan yang kudengar sebelum pulang tadi kak Rania akan menginap semalam di Jogja dan akan kembali ke Solo besok pagi. Sepanjang perjalanan pulang kami membahas lagi apa yang tadi di bahas dalam seminar.

“Man, tugas greja bakal makin berat deh. Aku nggak yakin jemaat bisa semua menerima keberadaan jemaat LGBT disekitar mereka. Pasti ini bakal jadi pro kontra di greja.” Mbak Vera mengeluarkan uneg-unegnya.

“Tapi greja juga nggak bisa diam aja kan mbak, bukannya greja harus terus bisa menjawab tantangan jaman. Dan lagi kita nggak bener-bener tahu lho apa di greja kita belum ada jemaat LGBT sekarang, siapa tahu ada jemaat kita yang begitu tapi memang nggak berani bilang atau nggak ketahuan.” Timpal Kak Adi.

“Jadi, kalau kak Lukman gimana? Seminar ini cuman sampai sini aja ya? Lingkup Jateng aja? Bukankah lebih baik kalau ini jadi bahan pembahasan di sinode pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Jadi jelas nanti sikap apa yang mau diambil terkait issue ini.” Aku memancing pendapat kak Lukman, bagiku statement pendeta sangat penting terkait masalah ini.

Selama beberapa saat kak Lukman seperti sedang mencerna pendapat kami, atau mungkin juga sedang menyusun kalimatnya sendiri,

“Memang ini akan jadi tugas yang berat bagi gereja. Berat karena harus membuka paradigma lama para jemaat yang terlanjur menganggap bahwa hubungan sesame jenis itu buruk dan aib, juga berat ketika nanti ada persoalan yang lebih jauh lagi seperti misalnya kalau pasangan sesama jenis itu mengadopsi anak trus mau dibaptis atau apa lah nanti gimana proses dan prosedurnya. Masih banyak lah yang harus dibahas dan aku pikir proses inipun masih panjang.”

“Tapi, bagimu sendiri kaya gimana Man? Maksudnya kalau sekarang tiba-tiba ada jemaat yang datang ke kamu dan katakanlah dia ngaku bahwa dia homo? Ini terlepas dari apa yang nanti jadi keputusan greja ya.” Kak Adi mewakili apa yang ingin kutanyakan.

“Oke, kalau pendapat dan pandangan pribadiku sih aku nggak ada masalah sama sekali terhadap semua LGBT ya, nggak hanya jemaat kita aja jadinya. Bagiku ini hanya tentang keberagaman orientasi seksual, nggak ada yang aneh, dan lumrah-lumrah saja. Kenapa lumrah ya karena ini kita lagi bicarain orang yang lagi jatuh cinta, gimana sih orang yang lagi saling cinta??? Semua sama saja kupikir, baik homo atau hetero. Selesai.”

Kak Lukman sangat mantap kulihat dan nada bicaranya pun menggebu-nggebu. Entah bagaimana menjelaskannya tapi mendengar pendapatnya tadi membuat hati serta pikiranku menjadi lega. Sepertinya ada yang mengambil beban di dalamnya dan membuangnya entah kemana. Perasaanku menjadi lebih tenang dan semuanya terasa ringan. Seketika aku mencari HP ku, aku ingin menghubungi kak Rania.

Tapi ternyata aku kalah cepat, kulihat ada BBM masuk. Dan aku menahan diri untuk tidak menjerit atau melompat ketika aku tahu itu dari kak Rania. Sebuah pesan singkat yang membuat hatiku seakan melambung jauh ke awan-awan,

Hai Nad, apa kabarmu? Hari ini kamu terlihat cantik seperti biasanya. Aku merindukanmu.

 

 

Bersambung…

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top