By. Joshua Intan
Kalian pernah dengar kisah tentang seorang pangeran super tampan yang dikutuk menjadi seekor katak yang mengerikan? Sang katak harus berkelana untuk membebaskan diri dari kutukan dengan mencari seorang wanita yang sudi menciumnya dengan ciuman penuh cinta. Kisah pangeran katak ini berakhir dengan sempurna, dia temukan seorang wanita cantik yang sungguh mencintai si katak buruk rupa ini. Dan setelah mendapat ciuman dari cintanya, maka katak pun berubah kembali menjadi pangeran super tampan. Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya.
Kisah pangeran katak ini meninggalkan kesan tersendiri bagiku, tentang cinta yang begitu sederhana namun kuat. Aku sering mendambakan cinta macam ini, mungkin karena aku yang jauh dari kata sempurna sehingga aku selalu berpikir bahwa akulah sang katak yang buruk rupa dan aku perlu berjumpa dengan orang yang akan mencintaiku dengan segala keberadaanku ini.
Aku orang yang sedikit ceroboh, sering kejedot sana-sini ketika sedang buru-buru ngerjain sesuatu, gampang marah tapi nggak bisa melampiaskan amarah selain dengan menangis, makanya aku sering banget menangis. Belum lagi terkadang jika sudah nggak cocok dengan seseorang, aku nggak bisa menyembunyikannya, bukan orang yang bisa ramah dengan semua orang lah intinya. Seringkali teman-teman memanggilku “si antagonis” lantaran sifatku yang satu itu.
Sore ini saat aku sedang menikmati kopi sidikalang favouritku yang dikirim oleh Opung doli dari Medan di teras rumah, tiba-tiba mami menghampiriku dan ikut duduk,
“Libur sampai kapan Nad?” tanyanya sambil mencomot keripik yang kusiapkan sebagai teman minum kopi.
“Masih 2 hari lagi Mi, tenang aja. Masih kangen ya?” godaku.
Sudah 4 hari aku di rumah, aku sengaja mengambil cuti karena beberapa hal dan salah satunya jujur saja karena peristiwa pernyataan cinta kak Lukman waktu itu.
“Oh… baguslah, besok adekmu pulang dari Semarang.”
“Hmm…” aku menyeruput kopi.
“Nad, kamu ni… mmm mami boleh nanya??” terdengar cemas.
“Kenapa?? Pakai ijin segala, biasa juga mami langsung nanya.” Aku cuek.
“Gini, kamu apa belum deket sama seseorang sih Nad?”
Aku tersedak kopi, “Uhuk… uhuk… Mam…”
Mami menepuk-nepuk punggungku sambil menyodorkan tissue untuk mengelap tangan yang kugunakan untuk membungkam mulut supaya kopi yang ada di mulut tak tumpah kemana-mana.
“Kamu, mami cuma nanya kaya gitu aja kok reaksinya lebay. Pasti jawabannya belum.” Terdengar sedikit kecewa.
Setelah mengatur nafas, “Habis mami, tanya kaya gitu. Memang kenapa?? Jangan bilang mau suruh Nad nikah lagi.”
“Habis, kamu tuh mau sampai kapan Nad kaya gini??? Inget usia… Mami kan pengen juga kamu kenalin pacar kamu. Apa kamu belum bisa move on dari Harsya?”
“Diiiih… sok-sokan deh mami pakai move on segala. Lagian mam, nggak ada hubungannya ini sama Harsya, yak elah udah lama banget kali mam….”
“Buktinya, setelah putus dari Harsya, kamu nggak ada dekat sama siapa-siapa. Udah, kalian balikan aja deh, toh Harsya juga masih jomblo sampai sekarang.”
“Mam… apaan sih, sok tau deh. Mami tau dari mana kalau Harsya belum punya pacar?? Trus mami tau dari mana kalau Nad belum deket sama siapa-siapa?”
Mangap, “Hah??? Jadi kamu deket sama siapa Nad? Temen greja? Siapa-siapa?? Kok nggak cerita sama mami sih??” sangat antusias.
Tersenyum usil, “Kan ini Nad lagi deket sama mami… hahaha”
Tapi mami kali ini terlihat kesal, “terus aja kaya gitu, nanti mam jodohin sama Harsya. Dia kapan hari habis dari rumah dan waktu mami tanya apa udah punya pacar belum katanya belum. Udah, mami atur aja kamu sama dia.”
“Ish mami… apaan sih, lagian ngapain dia kerumah?? Aneh-aneh aja.” Aku gantian kesal.
“Yaaa kan silaturahmi sama mami sama papi. Kamu tuh Nad, nyari yang kaya apa? Harsya itu cakep, udah gitu mapan, dia sekarang tambah ganteng tau nggak Nad, trus sopan sama orangtua.” Mami ngotot.
“Ya udah kalau gitu, Harsya sama mami aja.” Aku lalu beranjak meninggalkan mami yang kemudianberteriak-teriak memanggilku kembali. Tapi tak kuhiraukan dan malah mengurung diri di kamar.
Harsya adalah mantan pacarku waktu SMA, dia satu-satunya cowok yang pernah menjadi pacarku, tepatnya sih dia satu-satunya orang yang pernah berpacaran denganku. Nggak ada cinta sih jujur aja, waktu itu aku sedang sibuk menyangkal diriku yang jatuh cinta dengan seorang wanita. Aku merasa tidak normal, dan begitu takut, maka jadilah ketika Harsya teman sekelasku menyatakan cintanya langsung saja aku terima.
Tapi setelah berpacaran dengannya selama hampir 2 tahun perasaanku tak berubah, aku tak pernah mencintainya. Ribuan kali jalan dengannya selalu terasa biasa, hanya selayaknya teman yang sedang hang out bareng. Tidak pernah bertengkar, bahkan aku selalu berharap dia segera bosan dan selingkuh untuk mencari alasan putus. Terkadang aku yang sengaja jalan dengan teman-teman cowokku supaya dia cemburu dan minta putus, tapi nihil, cemburunya sih iya tapi dia nggak pernah minta putus. Kami hampir nggak pernah gandengan tangan, aku selalu menolak. Tapi aku pernah diciumnya sekali, dan itupun hanya satu rasa yang muncul, risih setengah mati.Jelas sekali bahwa sedari awal memang dia bukan orang yang akan membebaskan si katak dari kutukan, ciumannya tak berhasil sama sekali.
Lalu aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Saat putus dengannya begitu sulit, bukan karena aku patah hati melainkan karena Harsya tak mau dan kedua orangtua ku pun terus berusaha memintaku memikirkan lagi keputusan itu. Tapi setelah proses yang cukup panjang dan melelahkan untuk meyakinkan baik Harsya maupun orangtuaku maka kami bisa juga benar-benar mengakhiri hubungan kami.
Sudah 6 tahun berselang dari kisah masa lalu itu, tapi entah kenapa Harsya tak kunjung punya pacar lagi. Karena dia masih saja datang ke rumah dan berkomunikasi dengan orangtua juga kakakku sampai saat ini ditambah aku yang tak kunjung mengenalkan seorang pacar kepada keluarga, mungkin ini yang membuat keluargaku berpikir bahwa aku dan Harsya masih saling mencintai.
“Duuuh…kopinya di teras lagi…” aku baru menyesali kopi yang kutinggalkan di teras tadi.
Lalu aku menyalakan player dan mendengarkan lagu sambil merebahkan badan ke kasur. Saat kulirik jam dinding di atas kepalaku,
“Masih jam 5, lumayan lah tidur sejam lagi.” Aku lalu memejamkan mata. Nikmat sekali rasanya tidur sambil mendengarkan alunan musik lembut sembari diterpa angin sore yang masuk dari jendela kamar yang sengaja kubuka.
Tak perlu waktu lama akupun pulas. Sampai pada akhirnya aku melompat dari tempat tidur, terjun bebas ke lantai saat aku mendengar bunyi telepon dari HP. Terkejut ketika tahu bahwa kak Rania yang telpon,dah lebih terkejut lagi ketika kulihat jam di layar HP menunjukkan pukul 7 malam. Jantungku berdegup kencang lantaran teringat bahwa malam ini kami janjian akan makan malam tepat pukul 7.
“Halo kak…” aku ngos-ngosan.
“Halo Nad, kamu dimana?”
“Aduh sorry kak, aku lagi bangun. Sebentar ya, aku mandi trus cabut deh…” sangat merasa tak enak.
“Nad Nad… tunggu dulu, aku juga ini masih ada kerjaan kok. Kita ketemu jam 8 aja ya.”
Tiba-tiba merasa lega, “Huft… kirain kakak udah di tempat janjian, oke kak kalau gini kan aku bisa lebih santai.”
“Oke oke…sorry ya, tadi aku juga lupa kasih tahu kamu. Jam 8 ya, sampai jumpa…” dan telpon terputus.
Jam 8 malam lebih seperempat aku tiba ditempat janjian. Tempat ini salah satu tempat yang sering aku kunjungi bersama kak Rania, yang kusuka dari tempat ini adalah karena ada taman yang cantik dan sangat terawat, ditambah lagi coklat panas nya pun nikmat. Aku memilih tempat duduk di sisi belakang, tepat di satu set bangku dan meja kayu yang masih berwujud setengah pohon.
Kak Rania baru muncul setelah aku usai memilih menu yang ingin kumakan, nasi goreng pedas, coklat panas dan sosis untuk camilan. Dari kejauhan kak Rania sudah menghujaniku dengan senyuman manisnya,
“Hai… udah lama ya???” dia menjabat tanganku.
“Enggak, barusan kok… tapi aku udah pesan kak,” heran, entah kenapa setiap berjumpa dengannya aku selalu saja merasa salah tingkah.
“Oh nggak papa, santai aja.” Kak Rania duduk di sebelahku. “Mas, minta menu…” lalu dia melambaikan tangan kearah pelayan yang tak sengaja melintas.
Setelah memesan spagethy dan es jeruk maka kak Rania menyalakan rokoknya. Melihat HP nya sebentar lalu meletakkannya di meja,
“Jadi udah ngapain aja selama di rumah?”
“Hehehe, nggak ngapa-ngapin, cuman tidur, makan, nonton tv, ngobrol sama keluarga, udah.”
“Hahaha ya udah, nikmatin aja mumpung masih liburan. Sampai kapan sih?”
“Lusa udah balik pastori lagi kok…”
“Wah, udah siap sibuk lagi donk.”
Lalu kami ngobrol seperti biasa, menceritakan kegiatan kami selama beberapa hari ini. Membicarakan hobby kami masing-masing dan sedikit membuat rencana buat nonton atau sekedar makan lagi. Pokoknya malam ini berjalan seperti biasanya kalau kita bertemu, sangat menyenangkan.
Bersama dengan kak Rania tak pernah membuatku bosan, ngobrol dengannya juga sangat menyenangkan. Seperti malam ini, nggak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, dan ini pertanda kami harus segera pulang.
“Tadi naik taksi kan??” kak Rania memastikan. Aku mengangguk. “Oke,jadi kan bisa antar kamu pulang.” Lanjutnya,
Ini pertama kali nya kak Rania mengantarku pulang, biasanya kami pulang masing-masing. Tapi karena kak Rania memintaku untuk nggak bawa motor sendiri kali ini supaya dia bisa mengantarku pulang maka aku pun menuruti.
Entah ini perasaanku sendiri, entah memang ini yang terjadi, suasana di dalam mobil kali ini terasa berbeda. Kak Rania terlihat sedikit cemas tak seperti biasanya dan tak banyak bicara, akupun jadi bingung harus bagaimana. Kami hanya mendengarkan music sambil sesekali saling memandang tanpa bicara.
Setelah menuntunnya jalan menuju ke rumah melalui instrusi singkat seperti, “belok kanan”, “nah depan itu kiri” dan akhirnya “itu kak rumah warna ijo itu rumahku” maka tibalah kami di depan rumah. Tak heran jika rumah sudah tertutup rapat dan lampu sudah remang-remang karena pasti memang keluargaku sudah tidur jam segini.
Aku bingung untuk mengucapkan perpisahan,
“Makasih ya kak udah diantar pulang, sorry nggak bisa minta kakak mampir soalnya sudah malam.” Tanganku sudah hampir membuka pintu mobil saat kak Rania memegang pundakku.
“Nad, tunggu…”
Aku membalikkan badan dan aku sangat terkejut ketika mendapati wajah kak Rania sudah hanya berjarak sejengkal dengan wajahku. Dia terlihat gugup, akupun tak kalah groginya. Tiba-tiba kak Rania mencondongkan wajahnya lebih mendekat ke wajahku, rasanya jantungku berdebar terlalu kencang sehingga aku bisa mendengarkan detakannya dengan jelas. Tapi tunggu dulu, mungkin aku mendengar degupan lain yang tak kalah kencangnya, mungkin saja ini detakan jantung kak Rania.
Sesaat aku bingung lalu memejamkan mata, dan setelahnya aku hanya merasakan ada sesuatu yang hangat dan lembut menempel di bibirku. Tangan dan kakiku terasa lemas seperti tak bertulang, belum lagi di kepalaku seperti ada yang berdengung-dengung seperti mau meledak. Nafasku tak beraturan saat bibir kak Rania bergerak-gerak yang otomatis membuat bibirku mengikuti gerakannya. Aku sama sekali tak berani membuka mataku sekalipun ingin, di saat ini hanya satu yang kurasakan, “Aku terbebas dari kutukan”, rasanya seperti aku mendapatkan apa yang aku inginkan sekalipun aku tak pernah memikirkannya. Entahlah, ini sangat membingungkan namun juga menggairahkan.
Ada yang tengah menanti dan tak lelah mencari sebuah kisah cinta sejati.
Tak perlu paras menawan,
Tak perlu juga seorang jutawan,
Hanya yang penuh ketulusan yang diidamkan.
Adakah kau tahu dimana kisah ini akan menuju lembaran akhir?
Kutukan akan segera berakhir,
Dalam sajak-sajak tanpa kata melainkan hanya melalui sentuhan bibir
( kisah tanpa sepatah kata)
Bersambung…