Oleh : Joshua Intan
“Sayang, tunggu ya aku angkat telpon dulu…” sambil berlari menjauh tanpa menantikan jawaban dariku.
Aku hanya bengong saja di depan pintu masuk bioskop, karena sampai beberapa waktu belum juga kulihat tanda-tanda bahwa kak Rania akan mengakhiri percakapannya di telpon lalu akupun memutuskan untuk masuk terlebih dahulu sambil membeli tiket.
Dua tiket sudah ada ditangan, dan film akan diputar sekitar 3 menit lagi. Dari kejauhan kak Rania melihatku dan aku memberikan tanda supaya dia bergegas dengan melambaikan tiket yang kupegang. Namun kak Rania hanya membalas lambaian tangan yang kuartikan sebagai “tunggu dulu”. Dengan sedikit tak enak hati aku duduk di kursi tunggu.
5 menit kemudian kak Rania berlari ke arahku,
“Sorry ya, tadi si Natalia, ngobrolin kerjaan.” Lalu duduk di sampingku.
Entah kenapa aku jadi begitu kesal ketika kak Rania mengatakan bahwa telpon tadi dari Natalia. Aku tahu Natalia adalah rekan sekerja kak Rania yang ada di Jakarta, mereka sering ngobrol lewat Line, BBM dan sering telponan. Terkadang memang membicarakan pekerjaan tapi seringkali Natalia hanya curhat pribadi.
“Ayo masuk, kita udah telat beberapa menit.” Jawabku singkat.
Kak Rania suka sekali mengomentari film yang sedang kami lihat sewaktu film masih di putar, entah membicarakan aktornya, acting nya, atau efek-eefek dan juga menebak-nebak jalan cerita nya akan bagaimana. Biasanya aku juga akanmenimpali dan kita akan tertawa berdua, tapi kali aku hanya diam saja. Karena masih merasa dongkol dengan apa yang baru saja terjadi.
“Yang, kok kamu diem aja sih??” kak Rania menggenggam tanganku.
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa melihat ke arahnya. Lalu kak Rania mencium punggung tanganku. Saat kak Rania diam saja dan berhenti berkomentar maka aku merasa tak enak padanya, sudah hampir aku membuka mulut untuk memulai percakapan dengannya tiba-tiba genggaman tangannya dilepaskan dan dia merogoh-rogoh saku celananya.
HP sudah di genggaman tangannya lagi dan kemudian dia sibuk membalas pesan yang masuk. Lagi-lagi aku dongkol jadinya, dalam hati bertanya siapa sih yang sedang menghubunginya sampai-sampai saat nonton pun harus membalas. Sepenting apa pesan itu sehingga tidak bisa ditunda nanti saja. Sempat curiga dalam hati jangan-jangan Natalia yang sedang mengirim pesan, dan aku juga kehilangan konsentrasi melihat film saat ini.
Sampai film usai dan kami duduk ditempat makan kak Rania masih sibuk sekali dengan HPnya, dan ini membuatku sangat tidak nyaman,
“Sibuk banget sih dari tadi…” celetukku.
Meletakkan HPnya, “Duh, iya nih si Natalia… dia ngobrolin kerjaan.” Lalu memandangku yang belum menyantap makanan yang kupesan, “kok belum dimakan?”
“Nanti aja, nunggu kamu selesai, biar makan bareng.” Kujawab dengan ketus.
“Ya udah yuk makan…” tapi kemudian HPnya berdering dan kak Rania seketika melirik bergantian antara layar HP dan aku.
Sudah tak dapat kusembunyikan lagi raut kesal di wajahku, “Siapa?? Natalia??”
Kak Rania memegang tanganku, “Sebentar ya sayang…” lalu mengangkat telpon.
Entah kenapa rasanya aku tak ingin mendengarkan percakapan mereka berdua, aku tak perduli apakah itu masalah pekerjaan atau masalah diluarnya. Aku berdiri menuju ke toilet demi untuk menghindari mendengar percakapan mereka. Saat aku berdiri meninggalkannya, kak Rania sempat memegang tanganku namun tak kuhiraukan pun tak kupandang lagi dia.
Natalia bukan sekedar rekan kerja kak Rania, dulu mereka pernah berpacaran sampai akhirnya putus. Usia pacaran mereka pun cukup lama, hampir 5 tahun. Aku tak tahu persis kenapa mereka mengakhiri hubungan, yang aku tahu semenjak mereka putus 2 tahun yang lalu, mereka masih sering berkomunikasi. Bahkan dari cerita kak Rania beberapa kali mereka masih saling mengirimkan hadiah di hari ulangtahun masing-masing.
Setelah kurasa cukup lama aku tak melakukan apa-apa di toilet, aku lalu kembali ke meja tempat kami makan. Diluar dugaan, kak Rania masih saja bercakap-cakap di telepon, akhirnya aku hanya bisa menyantap lebih dahulu makananku. Namun tak berapa lama kemudian, kak Rania menutup telponnya.
Kembali dia memegang tanganku yang langsung ku kebaskan dan berpura-pura menikmati makanan. Aku tak ingin memandang wajahnya saat ini, rasanya ada yang mau meledak dari dalam hati.
“Sayang, kamu marah ya?”
Mendengar pertanyaan itu sama sekali tak meredakan amarahku, namun aku hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun.
“Itu tadi Natalia, kami lagi ngobrolin kerjaan kok… kan aku udah bilang sama kamu kalau tinggal beberapa minggu lagi kami ada kegiatan di Surabaya, nah ini kami lagi ngobrolin masalah itu.”
Aku meletakkan sendok dan garpu ditangan, “Aku pengen pulang, mendingan kamu buruan habisin makanan kamu.”
“Lho kok pulang, kamu marah ya?!?!”
“Enggak… udah pokoknya aku pengen pulang…”
“Sayang, kan kita belum ngobrol…”
“Nggak usah, kamu ngobrol aja sama temen kamu itu, kan kamu lagi sibuk.” Aku semakin ketus.
“Ini udah enggak lagi kok, ayolah sayang kamu jangan marah dong… kan ini masalah kerjaan.” Kak Rania merajuk.
“Iya, ya udah kan kamu lagi banyak kerjaan, jadi kamu selesein aja kerjaanmu. Lain kali jangan ajak orang keluar kalau kerjaanmu lagi banyak.”
Kali ini tak ada jawaban dari kak Rania, namun dia langsung berdiri, “Ya udah, ayo pulang.”
Aku yang tak bisa membaca apa maksud dari kak Rania akhirnya menengadahkan kepala untuk melihatnya, “Makanannya di habisin dulu.”
“Nggak usah, kita pulang aja.” Terdengar sedikit kecewa.
Tapi akupun juga tak mereda, karena bagiku memang aku layak merasa kesal dengan apa yang terjadi. Wajar saja jika aku kesal dan cemburu, ini adalah waktu kami berdua untuk berkencan, namun dia masih saja sibuk dengan pekerjaannya bahkan bersama mantan pacarnya.
Di dalam mobil saat perjalanan pulang kami tak bicara sepatah katapun. Aku tak tahu persis apa yang dirasakan kak Rania saat ini, yang pasti aku hanya punya perasaan marah dan kecewa atas apa yang baru saja terjadi. Sesampainya di pastori pun aku tak mengatakan apa-apa kecuali terima kasih, sedang kak Rania tak mengatakan apapun dan langsung tancap gas secepat mungkin setelah aku turun dari mobil.
Karena merasa sangat marah dan sangat kecewa, akupun segera mandi air hangat seperti biasa dan bergegas naik ke tempat tidur. Lalu tak sengaja aku melihat jadwal di samping tempat tidur, dan aku mengumpat,
“Ck… sial, besok mimpin doa pagi pula… argh…” dan mau tak mau akupun langsung mengambil Alkitab dan membaca bahan renungan untuk besok pagi.
Sulit sekali berkonsentrasi saat suasana hati sekacau ini, beberapa kali kulirik HP ku namun sama sekali tak ada tanda-tanda kak Rania mencoba menghubungiku. Aku tak mengerti bagaimana bisa dia diam saja tanpa mengucapkan permitaan maaf atas kacaunya jadwal kencan kami hari ini, atau sekedar mengucapkan selamat malam atau apa yang mungkin bisa sedikit meredakan marahku.
Karena tak kunjung ada kabar dari yang diharapkan dan aku sulit menjaga fokus menyiapkan bahan renungan maka kumatikan saja HP ku. Sempat berpikir apakah aku harus memulai menghubungi kak Rania, namun segera kuurungkan niatku itu karena gengsi dan ingin menunjukkan padanya betapa marahnya aku.
Malam ini seperti berjalan sangat lamban, entah memang seperti itu atau karena aku yang gelisah sepanjang malam hingga tak kunjung bisa memejamkan mata. Yang aku tahu sesaat setelah aku berhasil tertidur lalu alarm berbunyi. Dengan sekuat tenaga aku berjuang menuju kamar mandi, melawan kantuk dan kepala yang berat untuk bersiap-siap melaksanakan tanggung jawab di pagi ini.
Tepat pukul 05.30 doa pagi dimulai, jemaat yang hadir pun seperti biasanya, aku hafal seluruh jemaat yang hadir karena memang setiap hari hanya wajah-wajah inilah yang datang. Jumlahnya yang tidak terlalu banyak, hanya berkisar 15-20 orang setiap hari membuat doa pagi ini terasa seperti mezbah keluarga, jadi suasana yang tercipta adalah suasana hangat dan santai. Aku hampir melupakan semua kekesalanku semalam ketika menikmati memimpin di doa pagi saat ini.
2 jam kemudian aku sudah kembali merebahkan badan di atas tempat tidur, sebenarnya ibadah pagi hanya memerlukan waktu satu jam, namun seperti biasanya pula para majelis gereja maupun jemaat yang datang akan mengajakku ngobrol sambil menikmati jamuan pagi yang sudah disiapkan oleh gereja.
Kepala rasanya berat sekali dan mata sudah tak bisa diajak kerjasama lagi, maka akupun tertidur pulas sesaat setelah menjatuhkan badan ke tempat tidur.
Aku baru terbangun lagi pukul 12 siang lantaran naga dalam perut sudah berontak. Setelah berhasil mengumpulkan nyawa aku lalu ke kamar mandi untuk mandi lagi, sembari mandi aku sudah membayangkan akan makan bakso di depan gereja. Cuaca di luar sudah pasti panas saat ini, tapi entah kenapa aku malah ingin makan bakso pedas.
Usai mandi aku menyalakan HP yang sudah mati sejak semalam, dan banyak sekali notifikasi yang masuk. Dari BBM, Line, Whatsap, Fb dan lain-lain. Namun yang membuatku sedikit bersemangat adalah pesan-pesan dari kak Rania yang dikirimkan sepanjang pagi untuk menyapaku, menanyakan kabar dan akhirnya mengajakku makan siang.
Saat hendak membalas ajakannya, tiba-tiba telpon masuk,
“Halo…” sapaku sedikit malas namun sesungguhnya sangat gembira.
“Halo sayang, kok HP mu nggak aktif sih daritadi? Kamu lagi apa? Masih marah ya?” suara kak Rania terdengar cemas.
“Oh… enggak… lupa nyalain, aku juga baru selesai mandi.”
“Kamu baru bangun yang? Serius? Nggak di cari orang kantor memang?”
“Aku tadi udah pimpin doa pagi, trus tidur lagi.”
“Oh… makan yuk… aku jemput ya, kamu mau makan apa?”
“Hmmm kamu nggak ke kantor? Boleh deh makan apa aja.”
“Ini dari kantor, aku jemput sekarang ya, kita makan…mmm… makan Bakso aja yuk…”
“OK.” Dalam hatiku langsung jejingkrakan.
Setelah bakso habis kami santap,
“Yang, boleh bicara masalah kemarin??” kak Rania terlihat serius.
“Iya boleh.” Jawabku.
“Jadi, kamu kemarin marah gara-gara telpon dari Natalia?”
Membahas masalah ini membuatku merasakan sedikit kemarahan yang tersisa, dan aku hanya diam saja tak bereaksi sembari menahan amarah.
“Kamu kan tahu Natalia itu sama aku ada kerjaan, kok kamu masih marah sih yang? Apa yang bikin kamu marah? Tolong dong kamu ngomong biar aku tahu.”
Kuhela nafas dalam, “Kemarin kan jadwal kita kencan, tapi kamu malah sibuk sama kerjaan kamu, ya wajar kalau aku kesal.”
“Cuman itu? Atau ada lagi?”
“Oh iya, aku nggak suka kamu komunikasi terus sama Natalia.”
“Kamu cemburu?”
“Kamu masih cinta sama dia? Lalu kenapa kalian putus? Ya udah kalau kamu masih cinta sama dia ya kalian balikan aja.” Aku naik pitam seketika.
“Yang, kok kamu gitu sih?? Aku sama Natalia udah nggak ada apa-apa, aku sama sekali nggak ada perasaan apa-apa lagi sama dia kecuali sebagai seorang sahabat. Nggak ada salahnya kan kalau kita sekarang menjadi teman?!?!”
“Aku nggak tahu ya apa kalian temenan atau apa, tapi sikap kalian yang masih saling kasih perhatian itu aku nggak suka. Jangan-jangan memang kalian masih saling cinta.”
“Kamu jangan kaya gitu donk, kamu sama aja sudah merendahkanku. Apa kamu pikir aku nggak bisa menjaga komitmen kita?”
“Apa kamu pikir dengan kalian yang masih sering membahas masa lalu itu nggak bikin aku cemburu? Kamu nggak menghargai aku yang, aku kan pacarmu.”
“Bukan begitu, aku tetap sama kamu dan aku tetap cinta sama kamu. Tentang Natalia semua sudah lewat, dan aku nggak akan menghianatimu. Please kamu percaya…”
Aku sudah ingin menangis sampai kak Rania meremas tanganku,
“Aku mencintaimu Nadia… Aku akan menjaga komitmen kita berdua, jadi percayalah. Aku nggak akan menghianatimu, sungguh.”
Kata-kata kak Rania dan tatapan mata yang kulihat saat ini memang mengatakan kejujuran. Ada yang membuat hatiku menjadi nyaman kembali dan lebih tenang saat ini. Sekalipun aku tak tahu apakah aku bisa tidak cemburu pada Natalia lagi, namun aku ingin percaya pada kak Rania. Aku merasakan getaran cintanya yang tulus setiap waktu semenjak kami bersama, dan bagiku itu cukup untuk membuatku percaya padanya.
Sayang, semenjak kau masuk ke ruang utama hatiku
Semenjak itulah aku menjadi irisan nadimu
Aku adalah denyutmu
Akulah bagian yang tak kan terlepas dari deburan jantungmu
Jadi, untuk apa kau termenung dan ragu?
Bisakah nadi dan jantung itu meninggalkanmu
Jika kau tidak mati??
Sedang aku rela terpenjara hingga akhirmu nanti
(Sayang percayalah)
Bersambung…