Oleh : Joshua Intan
Pagi ini betapa terkejutnya aku ketika melihat setangkai mawar lengkap dengan sepucuk surat di depan pintu pastori yang hampir saja terinjak olehku. Lalu aku melayangkan pandang mencaritahu siapa yang menaruhnya disini, namun tak kudapati seorangpun di sekitar pastori. Aku memungut bunga berwarna merah yang kelopaknya merekah indah itu kemudian membaca isi suratnya,
Selamat pagi sayang, selamat memulai hari ini dengan sesuatu yang cantik dan manis seperti senyummu. Aku mencintaimu.
Rainbow
Aku tersipu malu membaca pesan singkat darinya, lalu aku kembali ke dalam untuk menghubungi sang pengirim bunga tersebut. Aku mencoba menelponnya dan kemudian setelah menunggu beberapa saat,
“Pagi sayang….” Suaranya begitu menghangatkanku.
“Pagi, trimakasih bunganya ya sayang. Kamu kapan kesini?”
“Tadi pagi aku datang doa pagi disana, aku sengaja datang supaya bisa ketemu kamu, ternyata kamu nggak ada.”
“Kok kamu taruh bunga di depan pintu yang? Gimana nanti kalau di ambil orang lain?”
“Iya aku tadi mikir gitu sih, tapi mau gimana lagi kan biar surprise. Kamu suka nggak yang?”
“Mmmm suka sih…suka banget…Tumben bisa manis kaya gitu…”
“Yaaah namanya juga usaha. Oh iya yang, aku ini jalan mau ke Surabaya, nanti ku telpon lagi ya kalau sudah sampai Surabaya.”
“Lho, kamu bawa mobil sendiri?”
“Iya… biar nanti disana nggak kesulitan kalau mau ke mana-mana.”
“Oh… hati-hati di jalan ya sayang. Jangan lupa kasih kabar ya…”
“Iya sayang… I love you…”
“I love you too.”
Tiba-tiba hatiku merasa sedikit tak senang, aku kembali memikirkan kak Rania yang akanada di Surabaya selama 4 hari bersama Natalia. Jujur saja memang masih saja kurasakan ada kecemburuan setiap memikirkannya. Tapi aku juga berusaha menepis rasa itu dan melanjutkan kegiatanku di pagi ini. Setidaknya pagi ini diawali dengan sesuatu yang begitu romantis, memang kejutan dari sang kekasih memberikan semangat yang luar biasa.
Pukul 13.00 wib aku dan beberapa teman kurikulum gereja menyelesaikan rapat. Kemudian aku bergegas menuju Solo Square untuk menjumpai sahabatku Windy yang sudah menantiku disana. Hari ini kami akan membeli sebuah kado untuk Rasad yang berulang tahun.
Setibanya di Solo Square, aku langsung menuju ke outlet pakaian dimana Windy tengah sibuk memilih sebuah kemeja,
“Win… sorry ya, rapatnya baru kelar jam satu soalnya.”
“Hehehe nggak apa-apa, santai aja kali. Eh Nad, coba lihat ini, bagus nggak?” Windy menunjukkan kemeja berwarna biru gelap yang tengah di pegangnya.
“Hmmmm bagus sih, tapi coba lihat yang itu Win…” aku menunjuk kearah kemeja berwarna hijau toska yang tergantung di ujung ruangan.
“Iiihhh baguss… kok aku nggak liat ya tadi… coba ambil Nad.”
Dan akhirnya kami membeli kemeja tersebut karena selain model dan warnanya memang bagus ternyata kami mendapatkan diskon yang lumayan banyak karena kemeja tersebut hanya tinggal satu saja.
Setelah mendapatkan kado, kami lalu memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu sebelum pulang. Namun ketika kami berjalan menuju foodcourt tiba-tiba mataku tertawan oleh sepasang sepatu yang entah bagaimana langsung mengingatkanku akan kak Rania.
“Win,tunggu sebentar.” Aku lalu masuk ke toko sepatu tersebut.
Windy mengikut di belakangku, “Sepatu?? Buat siapa?? Kan ini udah kita beli buat Rasad.”
“Bukan… bukan buat Rasad.” Aku sibuk sendiri melihat setiap bagian dari sepatu yang terbuat dari kulit itu.
“Hmmm aku jadi curiga kalau gini…”
Aku melihat Windy sedang menaikkan alis mata nya sembari memandangku curiga,
“Apaan sih, bukan… ini cuman liat-liat aja…” meletakkan sepatu lalu menarik keluar Windy, “ayok makaaaan…. Lapeeeeerrrr”
Windy masih saja curiga tentang sepatu tersebut sampai dengan kami usai makan. Tapi aku terus menerus berkilah dan kemudian mengajaknya pulang dengan alasan masih ada yang harus ku kerjakan, kebetulan juga setengah jam lagi Windy ada kegiatan di kampusnya.
Karena Windy terburu-buru maka dia duluan pergi dari mall, meninggalku yang langsung mengambil kesempatan ini untuk kembali ke toko sepatu tadi. Setelah memilih ukuran sepatu yang sesuai, aku meminta pelayan toko untuk membungkusnya dengan rapi.
Malam ini aku pulang agak larut karena merayakan ulangtahun Rasad bersama Windy dan beberapa teman yang lain. Usai mandi aku langsung masuk ke dalam kamar untuk bersiap tidur, tak sengaja kulihat bunga mawar yang aku taruh di sebuah gelas yang kuisi air dan kuletakkan di meja rias. Tiba-tiba hatiku disengat rindu yang berat sekali. Seharian ini tidak ada kabar dari kak Rania, dia pun tak menepati janjinya untuk memberiku kabar setibanya di Surabaya.
Aku menghibur diriku sendiri, “pasti kak Rania sedang sibuk sekali hari ini.” Lalu kupejamkan mata dengan segera, aku tak ingin pikiran lain masuk dan menggelisahkanku malam ini.
Sampai hari ke 4 kak Rania di Surabaya namun tak satu kabarpun ku dapat darinya. Aku sangat merindukannya hingga membuatku merasa sangat kesepian. Rasanya seperti ada yang tidak lengkap denganku, ada bagian yang kosong selama kak Rania tak ada. Dengan rutinitas pekerjaan pelayanan yang kulakukan setiap hari pun tak bisa mengurangi rasa rinduku pada sosok kekasih hati, karena tiap waktu aku tak bisa mengeluarkannya dari pikiran.
Sesekali aku menghibur diri dengan membayangkannya pulang, kita makan malam berdua sambil ngobrol seperti biasa. Aku juga membayangkan menyerahkan sepatu yang baru kubeli untuknya sebagai bentuk apresiasiku atas kerja kerasnya selama ini. Namun semua khayalan itu hanya membuat rinduku semakin bertambah menyiksa.
Lalu kuberanikan diri untuk menghubunginya melalui telpon, namun sampai 3 kali ku coba tak ada yang diangkatnya. Ini yang membuatku tak bisa lagi berpikiran baik padanya, kecurigaan menguasai hampir seluruh hati dan pikiran. Marah, kecewa, cemburu, rindu dan kesedihan yang sekaligus kurasakan membuatku menangis tersedu di dalam kamar.
Kesedihanku bertambah besar ketika aku tak bisa berbagi cerita kepada siapapun saat ini. Aku tak bisa bercerita kepada Windy, atau kak Adi, atau sahabatku yang lain tentang apa yang kurasakan. Semuanya harus kurasakan dan kujalani sendiri, dan untuk kesekian kalinya aku begitu membenci diriku sendiri yang belum bisa memberitahu setidaknya seorang dari sahabatku tentang hubunganku dengan kak Rania.
Aku menangis hingga tertidur dan terbangun ketika panggilan telpon berdering. Aku lupa menaruh HP dimana dan ini membuatku kesulitan menemukannya. Aku hanya mengikuti arah suara dari ringtone HP, dan tepat ketika aku berhasil menemukannya yang tertindih bantal maka sambungan panggilan terputus.
Tapi kemudian telpon kembali bordering, di layar HP terlihat nama kak Rania.
“Halo…” aku terkejut karena suaraku sengau.
“Haloo sayang, kamu flu?? Maaf ya tadi nggak tahu ada telpon, aku lagi pimpin diskusi tadi.”
“Nggak… aku nggak apa-apa. Oh, ya udah.”
“Kamu lagi apa yang?”
“Lagi nunggu kabarmu.” Jawabku ketus.
“Maaf ya sayang, disini lagi sibuk banget soalnya.”
“Oh…”
“Kamu marah ya?”
“Nggak.”
“Duh yang, bentar ya… ini kami mau lanjut acara lagi.”
Aku melirik jam dinding yang menunjukkan sudah pukul 8 malam, “Masih ada acara lagi? Kamu jadi pulang hari ini kan?”
“Aduh, aku pulang besok akhirnya yang. Habis gimana lagi, ini aja paling selesai jam 10an.”
“Oh ya udah terserah.”
“Nanti ku telpon ya, janji ku telpon.”
Lalu aku memutuskan sambungan telpon tanpa menjawab sepatah katapun.
Benar saja, pukul 10 malam kak Rania kembali menghubungiku. Tapi suasana hatiku tak kunjung membaik,
“Sayang, jangan marah dong… besok pagi aku janji pulang.”
“Terserah kok kamu mau pulang kapan.”
“Tuh kaaan kamu gitu, besok kita pergi berdua ya. Aku rindu sama kamu yang, jangan marah terus dong…”
“Udah lah, nggak usah bilang kaya gitu. Aku udah capek. Kamu nggak bisa tepati janjimu ke aku. Kamu nggak kasih kabar sama sekali dan sekarang bilang telat pulang, terserah…”
“Ya sudah aku minta maaf karena nggak kasih kabar sama kamu, tapi kali ini bener-bener aku nggak bisa pulang yang, besok pagi-pagi deh aku jalan.”
“Iya, ya sudah… suasana hatiku sedang nggak baik,” aku berharap kak Rania menutup telpon.
“Kamu kenapa sih yang? Kamu curiga sama aku?”
“Sejujurnya iya,” jawabku lirih.
“Karena aku disini sama Natalia?”
“Kamu pikir saja sendiri.” Aku semakin ketus.
“Sayang, kami hanya teman. Kita juga sudah bicarakan hal ini sebelumnya kan?! Kenapa kamu masih nggak percaya??”
“Kamu yang bikin aku nggak percaya. Sikapmu itu seakan-akan kamu tak menghargaiku sebagai pacarmu.”
“Sikap yang mana???”
“Coba aku ingat, barangkali aku yang salah. Kamu selalu bisa membalas pesan dari Natalia sekalipun kamu sedang denganku, tapi itu nggak berlaku bagiku. Kamu bahkan nggak bisa sekedar memberiku sebuah pesan selama kamu dengannya yang jelas-jelas kamu tahu akan membuatku cemburu.”
“Yang, bukan begitu…”
Aku memotong pembicaraannya, “Sudahlah, aku sedang nggak ingin mendengarkan penjelasan apapun sekarang, maaf. Lebih baik kita sendiri dulu saja sekarang.”
“Nggak… nggak bisa kaya gitu donk yang, aku nggak mau putus denganmu hanya karena alasan seperti ini.”
“Beri aku waktu…” dan aku tak menantikan lagi apa yang akan dikatakan kak Rania, segera telpon kumatikan.
Kak Rania mencoba menghubungiku lagi namun tak kuhiraukan, lalu dia mengirimkan pesan melalui BBM
Nad, aku cinta sama kamu, semoga suasana hatimu segera membaik. Besok aku pulang dan kuharap kita bisa bertemu. Aku merindukanmu.
Dan aku hanya bisa menangis seperti biasanya. Aku sendiri juga tak mengerti apa yang sedang kurasakan. Mungkin aku memang terlalu merindukannya atau mungkin juga karena aku terlalu takut kehilangannya. Aku merasa sikapnya selama ini terhadap Natalia terlihat seperti dia masih mencintainya, dan itu yang selalu membuatku cemburu.
Aku memang perlu waktu sendiri untuk memastikan perasaanku kali ini. Aku mencintainya, sangat mencintainya bahkan, namun aku juga tak mau selalu terbakar cemburu seperti ini. Terlalu menyakitkan bagiku jika terjebak dalam kecurigaan yang tak pernah bisa kuatasi, maka malam ini kuputuskan untuk berdiam diri dalam doa untuk menenangkan diri.
Gelap akansegera berjumpa dengan fajar
Mengakhiri sebuah perjalanan dingin nan sepi,
Aku termenung dalam semburat sinar
Terkungkung dalam sebuah rasa benci
Bangunlah sayang, malam ini tak lagi gelap
Tengoklah ke jendela, semuanya membara bagai amarah,
Jangan menghampiri tangis dan jangan coba mengusap
Aku tak ada waktu berdialog denganmu dalam gundah
Siapakah dirimu???
Yang mencumbuku dengan api
Siapakah dirimu???
Yang membelaiku dengan belati
(Sang Amarah)
Bersambung…