Agama seringkali hadir dengan wajah masam. Pendakwah membawa pesan agama yang ditransimisikan ke umat manusia, seringkali juga, ditampilkan secara tak ramah. Bagaimana tidak, kebenaran mutlak milik kelompok mayoritas. Mayoritas yang mampu mendominasi tafsir, mayoritas yang berkuasa atas jumlah. Sementara mengucilkan bahwa perbedaan merupakan rahmah.
***

PANGGUNG MINORITAS hadir sebagai pengecualian. Dibentuk oleh para individu anak muda yang bermukim di ibukota Jawa Barat, wadah ini ingin memberi perhatian, yang sederhana namun substansial: bahwa pengetahuan atas sesuatu murapakan hak setiap individu. Terlebih, bagi kelompok minoritas, yang selama ini, mengalami peminggiran dalam semua aspek kehidupan, Panggung Minoritas, punya satu visi menciptkan ruang aman mendialogkan ragam pengetahuan dan berbagi kekuatan.
Itu karenanya, 12 Mei 2019, berkolaborasi dengan YIFOS Indonesia, Panggung Minoritas kembali menggelar diskusi yang juga bertepatan dengan edisi yang ke delapan. Memantik tema “Persetubuhan di Mata Tuhan”, kegiatan tersebut berikhtiar menghadirkan alternatif tafsir agama yang ramah keragaman seksual dan gender. Bersama narasumber yang kompeten di masing-masing bidang keagamaan, kegiatan berjalan dari pukul dua siang sampai delapan malam, yang bertepatan pula dengan momentum ibadah puasa Ramadan.

Di awal sesi, peserta diskusi merefleksikan pengalaman masing-masing, bagaimana melewati satu dinamika kehidupan ke dinamika lain dalam hal ‘berjuang’ atas pilihan identitas gender dan orientasi seksual. Acapkali dianggap melawan norma yang kadung dipercaya sebagai ‘adat ketimuran’, pilihan atas identitas gender dan orientasi seksual tak jarang direspon sebagai hal buruk, yang seringkali pula, dibarengi tindak bulliying, persekusi, stigma dan tentu saja: diskriminasi.
Dalam situasi itu, ajaran agama yang divisualisasikan melalui pendakwahnya, justeru hadir sebagai argumentasi penguat, atau apologi, bahwa keragaman identitas gender dan orientasi seksual ‘bertentangan’ dengan agama.
Betulkah demikian? Selama tiga jam, peserta diskusi menuliskan pertanyaan seputar isu demikian, yang kemudian dijawab secara lebih komperhensif oleh tiga narasumber, pertama, dari pemuka agama islam, kedua, pemuka agama kristian, dan ketiga, dari tokoh Budhisme. Tentu saja, ada ragam penafsiran pada kitab suci mengenai keragaman identitas gender dan orientasi seksual. tugas kita selanjutnya adalah memastikan bahwa ruang aman, nyaman, dan setara dalam mendialogkan seputar isu keimanan dan seksualitas terus senatitasi ada.