Kekerasan berbasis SOGIESC muncul karena adanya benturan sebuah kebudayaan yakni patriarki. Dari sistem patriarki tersebut, terdapat tiga hal yang mendasari yakni diskusi gender dan seksualitas yang masih biner, gender superior (salah satu gender lebih tinggi dari gender lain) dan heteronormatif . Merujuk pada tiga hal di atas, maka orang-orang yang berada di posisi sebagai LGBTIQ terutama berkaitan dengan orientasi seksual dan ekspresi gender, sering kali menjadi kelompok yang rentan mengalami diskriminasi di tengah-tengah masyarakat.
Kelompok LGBTIQ semakin rentan, ketika keberadaannya dikaitkan pada nilai-nilai agama. Hal inilah yang sering menjadi pertentangan di dalam diri orang muda LGBT, dimana di satu sisi mereka memiliki pengharapan akan diterima di dalam ruang keimanan, di sisi lainnya tidak mudah mencari tokoh agama yang progresif dan toleran. Sebaliknya tokoh agama yang yang memiliki pandangan inklusi tentang SOGIESC dianggap memberikan ajaran sesat dan dikucilkan di ruang keimanan.
Padahal semestinya agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, pengampunan dan toleransi. Namun diskriminasi dan stigma buruk selalu mendominasi bahkan sampai ke konten digital, yang kemudian menjadi pemicu kekerasan dan ancaman kepada orang-orang dengan identitas LGBTIQ. Hal ini menimbulkan dampak psikologis yang berpengaruh pada kondisi psikis, hingga orang muda LGBTIQ harus mendapatkan bantuan layanan psikologis yang berperspektif baik tentang isu SOGIESC.