Bersama Colin Cahil, Peneliti Fulbright Fellow, Pusat Sejarah dan Etika Politik Sanata Dharma Mrican, Yogyakarta
Tempat : Kantin Mrican Sanata Dharma, Yogyakarta
Postrukturalis adalah sebuah kategori pemikiran yang berkembang pada tahun 1960an. Kategori itu lahir di Prancis dan digunakan sebagai strategi kritik terhadap keterpisahan antara bahasa dan makna. Dalam pemikiran ini bahasa dan makna tidak lekat satu sama lain. Makna dapat terus direproduksi dan tidak terlepas dari pengalaman sosial sehingga makna tidak hadir begitu saja.
Berbicara tentang postrukturalis tidak bisa lepas dari strukturalisme. Konsep strukturalisme yang cukup terkenal adalah Levi Strauss. Konsepnya adalah tentang oposisi biner, bahwa dunia ini dapat dikategorikan secara biner. Misalnya : perempuan dan laki-laki, siang-malam. Ini yang kemudian dikritik oleh postrukturalis. Salah satu perbincangan tentang postrukturalis juga berkenaan dengan identitas. Selama ini kita memandang bahwa identitas terdiri dari dua hal yang biner, yakni laki-laki dan perempuan. Padahal ketika berbicara tentang dua kategori identitas tersebut, hal ini tidak serta merta inheren (terberi). Karena dalam pemikiran postrukturalis berupaya memisahkan antara bahasa dan makna, maka ketika bicara tentang kategori perempuan dan laki-laki, maka tidak lepas dari makna yang diberikan oleh masyarakat (atau norma) mengenai apa yang disebut sebagai laki-laki maupun perempuan.
Realitasnya di Indonesia, norma-norma yang ada masih cenderung strukturalis, yakni melihat sesuatu berdasarkan posisi binernya. Termasuk dalam hal identitas. Identitas yang diterima sebagai hal yang umum hanya identitas laki-laki dan perempuan (konsekuensinya adalah relasi yang dianggap sah adalah relasi heteroseksual), padahal kedua kategori tersebut tidak cukup untuk mengakomodir identitas lain, misalnya identitas gay, lesbian, biseksual, transeksual, transgender, maupun queer. Identitas tersebut kemudian dianggap sebagai sesuatu yang “merusak” sistem yang telah dibangun oleh pemahaman yang melulu biner. Disini terjadi pergulatan makna. Bahwa dalam tataran pemikiran, wacana tentang identitas gay, lesbian, transeksual, transgender dan queer menjadi wacana yang asing bagi pemahaman yang sudah berpijak pada pola-pola stukturalis. Dalam tararan praktis, keasingan ini diwujudkan dengan respon-respon yang cenderung menolak orang-orang gay, lesbian, transeksual, transgender dan queer dengan alasan tidak sesuai dengan norma. Wujud pergulatan wacana ini menjadi menarik untuk didialogkan satu sama lain, namun menjadi permasalahan jika direspon dengan sikap-sikap antipati, terlebih dengan kekerasan
@Maret 2010