Oleh: Pdt. Markus Hadinata
(GKI Indramayu)
Hari ini, Minggu pertama setelah Pentakosta, kita merayakan Minggu Trinitas. Keyakinan kepada Allah Trinitas (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) sendiri merupakan landasan paling mendasar dan penting dalam Kekristenan, yang mana melaluinya seluruh doktrin lain dapat dipahami secara utuh. Ia juga merupakan “lensa iman”, yang mana melaluinya seluruh dimensi kehidupan dapat dipandang dan dimengerti lebih jernih.
Kepercayaan kepada Allah Trinitas bukanlah karangan manusia, tetapi itulah yang diwahyukan kepada kita di dalam Alkitab (Mrk 1:10-11; Yoh 14:16-26; Mat 28:19; 2 Kor 13:13). Karena Alkitab merupakan tulisan yang diwahyukan oleh Allah (2 Tim 3:16), maka kita mengimaninya demikian. Wahyu Allah tidak bisa didebat, dibantah, dikurangi atau ditambah oleh manusia (Why 22:18-19). Kepercayaan kepada Allah Trinitas ini tercantum juga dalam tiga pengakuan iman yang diterima dan diakui oleh sebagian besar Gereja-gereja di dunia, yakni Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius. Iman akan Allah Trinitas tidak berarti kita percaya akan tiga allah. Kekristenan merupakan agama monoteis (mengakui adanya satu Allah), bukan politeis (mengakui adanya banyak Allah). Kita percaya akan Allah yang esa (Ul 6:4-5).
Tiga pribadi ilahi itu hidup dalam persekutuan dengan saling memberi diri. Allah itu satu kodratnya (Yunani: ousia), namun tiga relasinya (Yunani: hypostasis). Bapa, Anak dan Roh Kudus bersatu dalam relasi yang sempurna. Berbeda, namun tetap satu.
Dalam praktiknya kalau mau kita cermati, sebagian orang Kristen tidak sungguh-sungguh menghayati iman kepada Allah Trinitas. Kerap hanya binatarian (Bapa dan Yesus Kristus saja), tetapi tidak dengan Roh Kudus yang jarang kita sebut dalam doa-doa kita ataupun pengajaran melalui kotbah hari Minggu. Padahal, bahasa Trinitarian sungguh menjadi inti iman Kristen, yaitu bahwa di dalam persekutuan Allah Trinitas (Bapa, Anak dan Roh Kudus), kita dapat berpartisipasi dan mengalami kehidupan sejati.
Menarik, Injil Yohanes mengajukan satu pertanyaan yang menyangkut kita semua. Pada dasarnya kita semua membutuhkan rasa aman1, tetapi untuk hidup secara penuh kita juga perlu mengambil resiko. Keamanan yang terlalu besar dapat melumpuhkan kita, kita tidak lagi merasa perlu untuk belajar hal-hal baru, puas dengan hidup kita tanpa mau berkembang lebih lagi, dan menutup diri terhadap perubahan. Sebaliknya, ketiadaan rasa aman dapat membuat kita takut dan 1 yang menurut pemikiran kita dapat diperoleh melalui gelar, jabatan, pekerjaan, tabungan, deposito, keluarga, relasi, atau keyakinan agama tertentu.
cemas. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat merencakan masa depan, namun sekaligus tetap terbuka terhadap hal-hal yang tidak bisa kita perhitungkan?
Saat Yesus berada di Yerusalem, Nikodemus, seorang pemimpin agama, seorang Farisi, menemui Yesus “pada waktu malam”. Penulis Injil Yohanes menyebut “pada waktu malam”. Pastilah kata ini tidak hanya menerangkan soal waktu, mungkin untuk menunjukkan bahwa Nikodemus berada dalam gelap, takut kalau para pemimpin agama yang lain tahu mengenai kunjungannya kepada Yesus. Beberapa pemimpin agama sudah mulai marah karena kegiatan-kegiatan Yesus dan mujizat-mujizat yang Ia lakukan.
Nikodemus sendiri adalah seorang yang sangat yakin akan dirinya sendiri. Ia merasa tahu akan segala yang diajarkan menurut hukum agamanya. Ia adalah seorang pemimpin yang merasa aman berada dibalik kekuasaan dan kepastian-kepastiannya. Sekilas, ia mirip dengan para imam dan Lewi yang diutus oleh para penguasa di Yerusalem untuk menyelidiki Yohanes Pembaptis. Nikodemus ingin membuat penilaian mengenai Yesus. Ia mulai pembicaraan dengan hormat, tetapi sebagai orang yang berkuasa: “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.” (Yoh 3:2).
Berhadapan dengan kepastian yang dimiliki Nikodemus, Yesus akan membimbing Nikodemus masuk ke dalam cara berada dan hidup yang lain, bahwa seorang harus dilahirkan kembali untuk dapat melihat Kerajaan Allah (ayat 3). Berhadapan dengan kepastian-kepastian yang dimiliki Nikodemus, perasaan tahu akan segala sesuatunya, Yesus menawarkan jalan lain, yakni kerendahan hati bahwa masih banyak hal dalam hidup ini yang tidak diketahuinya, menjadi seperti anak kembali, anak Allah, pribadi baru, dengan mendengarkan Roh Allah dan membiarkan dirinya dipimpin oleh Roh.
Dewasa ini, selalu ada saja orang-orang yang berlindung dibalik kekuasaan dan materi sebagai hal yang dipandang bisa membuatnya aman. Seorang yang lain lagi berlindung dibalik pemahamannya atas agama yang dirasanya dapat memberinya rasa aman, sekalipun untuknya ia tega mengambil hak hidup atau nyawa orang lain demi keyakinan atas agama yang dianutnya.

Bukankah sejarah menunjukkan kepada kita, bahwa pertumpahan darah yang menewaskan jutaan manusia di dunia ini sering terjadi karena penghayatan mengenai mutlaknya dogma yang dipegang teguh? Padahal, tidak ada yang mutlak selain Allah sendiri. Tidak ada agama di dunia ini yang bersifat mutlak (termasuk agama Kristen sekalipun), demikian pula dengan ajaran atau keyakinan terhadap agama tertentu. Hanya Allah saja yang bersifat mutlak. Kalau orang merasa dirinya sendiri, kelompoknya, dogma, doktrin atau ajaran agamanya sebagai yang mutlak, maka dengan mudah ia bisa menyingkirkan orang lain yang tidak sama seperti dirinya.
Oleh sebab itu, umat perlu dituntun untuk menjadi manusia seutuhnya daripada menjadi ahli agama. Sebab, jika seseorang tidak terlebih dulu menjadi manusia seutuhnya, ia bisa terjatuh “menjadi Tuhan” atas sesamanya demi memegang teguh doktrin agamanya. Dengan menjadi manusia yang utuh terlebih dahulu, orang akan membaca dan menafsirkan dogma dalam sudut pandang cinta kasih dan bagi kebaikan hidup seluruh umat manusia serta ciptaan lainnya.
Yesus mengatakan bahwa orang perlu dilahirkan kembali dari air dan Roh untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Kalau kita membiarkan diri kita dipimpin oleh Roh, maka kita akan mengikuti Yesus secara lebih utuh, dan menjadi seperti Dia. Kita mulai melihat orang lain seperti Yesus melihat mereka. Kita mulai mencintai orang lain seperti Yesus mencintai mereka. Kita juga memandang serta mencintai diri kita seperti Yesus memandang dan mencintai kita. Roh Kudus mengundang kita untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah Trinitas, dan juga persekutuan dengan satu sama lain. Kita tidak selalu tahu ke mana Roh Kudus akan memimpin kita. Itulah yang dikatakan Yesus di dalam Injil Yohanes 3:8, “Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” Kita tidak dapat mengontrol Roh Kudus, menciptakan suasana seolah-olah kita dipenuhi Roh Kudus, tidak. Sebaliknya, kita mesti membiarkan diri kita dipimpin oleh Roh-Nya.
Orang yang membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus tidak akan mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan cinta kasih yang Yesus ajarkan, atau melakukan tindakan-tindakan di luar cinta kasih Allah dalam diri Yesus Kristus.
Orang yang membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus tidak akan membiarkan amarah, kebencian, merasa diri lebih penting dari orang lain, ketamakan, atau kesombongan menguasai dirinya. Sebaliknya, ia akan menjadi pribadi baru yang juga dapat mengerjakan hal-hal yang menurut perhitungan manusiawi sangat sulit kita lakukan dengan kekuatan sendiri: mencintai musuh, mengampuni tanpa batas, hidup bersama orang lain yang membutuhkan kehadiran kita, murah hati seperti Bapa di sorga adalah murah hati.
Orang yang membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus tidak perlu membuktikan bahwa dirinya patut diperhitungkan atau penting. Sebaliknya, ia akan terus-menerus melakukan kebaikan yang dapat dirasakan orang lain tanpa pamrih sekalipun untuknya ia mengeluarkan banyak pengorbanan. Mereka sungguh-sungguh menjadi manusia seutuhnya yang membutuhkan keberadaan orang lain dan juga menawarkan kebaikan bagi orang lain.
Kita tidak mengetahui apakah Nikodemus malam itu menjadi pribadi yang baru setelah berjumpa dengan Yesus atau tidak. Namun, kalau kita membaca Injil Yohanes sampai akhir, kita akan menemukan kembali sosok Nikodemus membawa campuran minyak mur dengan minyak gaharu, kira-kira lima puluh kati beratnya untuk diberikan pada mayat Yesus (Yoh 19:39-40) sebagai tanda penghormatan terakhir kepada-Nya. Maka, pastilah perjumpaan Nikodemus pada malam itu bersama Yesus telah menyentuh hatinya dan membawa perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi tampil sebagai orang yang “merasa tahu” dan patut diperhitungkan, tetapi mulai berproses menjadi orang yang lebih terbuka pada pimpinan Roh Kudus. Sekalipun untuk itu, sedikit demi sedikit ia harus rela menanggalkan segala bentuk rasa aman yang semu seperti pengetahuan atas doktrin agamanya, jabatannya sebagai orang Farisi, dan keinginannya untuk diakui serta dianggap penting oleh orang lain.
Di GKI (Gereja Kristen Indonesia), penatua dan pendeta adalah sosok yang diharapkan mampu menjadi pemimpin spiritual bagi umat. Namun, sebelum dapat menjadi seorang pemimpin spiritual yang baik bagi umat, mereka terlebih dahulu perlu lahir kembali dan membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus. Mereka harus bersedia mati terhadap diri sendiri dan nafsu untuk menguasai orang lain, termasuk nafsu untuk memberontak dan membuktikan bahwa diri ini patut diperhitungkan dan dianggap penting. Selanjutnya, mau menjadi pribadi yang semakin menyerupai Kristus yang berbela rasa, mengupayakan cinta kasih, damai dan keadilan dalam hidup bersama dalam komunitas dan sebagai Gereja. Kita tidak lagi menjadi pemimpin yang melukai hati orang sehingga undur dari kehidupan bergereja. Sebaliknya, kita menjadi pemimpin yang mudah didekati, ramah, sederhana, bersahaja, yang selalu sedia menolong orang lain untuk bersama-sama berkembang dalam kasih, kebenaran, dan damai dalam Tuhan.
Dengan demikian, ajaran mengenai Allah Trinitas tidak hanya membuat kita merasa puas secara akal budi, atau lebih celaka lagi, membuat kita merasa memahami Allah sepenuh-penuhnya, merasa memiliki doktrin yang paling sahih dan bersifat mutlak, sehingga mudah menjatuhkan hukuman kepada orang lain yang tidak seiman, bahwa mereka pasti masuk neraka karena tidak mengimani Allah Trinitas. Sama sekali tidak. Justru hal semacam itu malah membuktikan bahwa hidup kita jauh dari persekutuan dengan Allah Trinitas!
Beriman kepada Allah Trinitas membuat kita berjuang keras membangun komunitas cinta kasih yang dilandasi oleh Roh Kudus yang diutus Bapa melalui Yesus Kristus, bukan malah menghancurkannya dengan sikap mau menang sendiri, merasa diri penting, arogan, dan segala bentuk dosa lainnya.
Iman kepada Allah Trinitas memberi pesan kepada kita untuk mengakui adanya perbedaan satu sama lain. Kesatuan Allah Trinitas menjadi dasar, pola, pokok, dan tujuan kesatuan kita satu sama lain. Iman akan Allah Trinitas menginspirasi kita untuk selalu memberikan diri kepada yang lain dalam persekutuan yang dilandasi kasih.
Selamat Minggu Trinitas!