‘Muda, Beda dan Bahagia’, pameo itulah yang coba direpsentasikan oleh hasil Survey Varkey Fondation. Dengan melibatkan 20.000 respon anak muda dari 20 negara, Indonesia menurut survey tersebut mendudukkan posisi anak muda di Indonesia termasuk yang paling bahagia.
Apa pasal? Jawabannya: optimisme.
Anak muda di Indonesia memiliki optimisme kuat bahwa masa depan di Indonesia amat ditentukan, oleh salah satunya, ketika masa depan perdamaian dipegang oleh anak muda. Karena itulah, optimisme itu penting segera dan secara kontinyu digelorakkan melalui pendidikan keragaman.
Melalui diskusi bertajuk Anak Muda dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman kepada anak muda mengenai isu kesehatan dan seksualitas dari ragam sudut pandang. Acara yang diselenggarakan di Gedung IFI Bandung, Jawa Barat, pada 19 Januari 2019. Kegiatan ini digagas oleh Melek Bersama, sebuah forum kolektif yang dinaungi oleh Samahita Bandung, Pad GRS, dan MCR PKBI.
Diskusi yang sarat pendekatan keragaman gender tersebut, pada kesempatan ini menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu Jihan Fairuz, Koordinator Nasional YIFOS Indonesia, Jontra Saragis dari Hivos-Rosea, Rere Agistya dari PKBI dan serta Marsela dari anggota Aliansi Jurnalis Indepent (AJI) selaku moderator
Jihan Fairuz memaparkan sejarah berdirinya YIFOS Indonesia sebagai pengantar diskusi. Dia menyebutkan betapa ruang aman bagi keragaman iman dan seksualitas di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Itu karenanya, visi besar organisasi yang menaungi anak muda dari ragam keimanan dan seksualitas, menekankan strategi pendidikan alternatif di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan seperti Queer Camp.
Secara umum, situasi masyarakat di Indonesia memandang persoalan seksualitas masih sebatas hitam-putih. Seks dan seksualitas dianggap perlu diatur dan ‘ditertibkan’, demi terciptanya ketertiban sosial. Segendang sepenarian, negara kerapkali merepresi urusan seksualitas karena dianggap sebagai sebuah ancaman. Adi Marsela menyinggung Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung yang sering disebut Perda K3 (Ketertiban, Kenyamanan dan Keamanan).
Di dalam perda K3 tersebut, “Pasangan yang dianggap belum menikah kedapatan berduaan di hotel bisa dipidana, lalu perempuan yang sendirian di hotel juga dapat dipenjara, karena dianggap pekeja seks, dan itu praktis masuk kategori menggangu ketertiban umum menurut perda itu,” Pungkas Adi
Menanggapi hal ini, Bagi Jonta sendiri, Negara sudah ikut campur urusan pribadi warga negaranya, melalui mengatur masalah seksualitas dan ketubuhan. Menurutnya motif yang mendasari peraturan sarat bias gender dan pelanggaran privasi warga negara tersebut terjadi karena sedikitnya dua hal, pertama, konstruksi mengenai adat ketimuran, dan kedua, politik praktis dalam meraup suara konstituten.
“Tidak penting peraturan seperti K3 yang mengatur seksualitas itu ada, tapi mengapa?” tegas Jonta. padahal, jika mengacu ke adat ketimuran, keberagaman identitas gender sudah jadi bagian dari tradisi nusantara sejak berabad-abad lampau. Fakta di masyarakat Bugis yang mengenal kategori lima gender, meliputi Bisu, Calalai, Orowane, Makunrai dan Calabai. Dalam setiap tahunnya, diselenggarakan festival Calalai sebagai ruang berekspresi yang beragam.
Selain dua motif yang Jonta sebutkan tadi, sejatinya peraturan negara yang diskriminatif terhadap keberagaman gender berimplikasi sampai ke birokrasi di level bawah. Misalnya, Rere Agistya, kerap menemui peristiwa di mana individu dan komunitas Transgender mengalami ancaman persekusi hingga pelarangan tinggal oleh birokrasi setingkat RT dan RW di wilayah Jabodetabek. “Selain masalah tempat tinggal, akses pekerjaan formal begitu dipersulit oleh birokrasi pemerintah terhadap mereka,” terang Rere.
Kedaulatan dan kebebasan berekspresi bagi individu dan komunitas LGBTIQ di Indonesia adalah sebuah anomali. Perjuangan bagi keseteraan dan kesamaan mendapat ruang aman di masyarakat masih jauh panggang dari api. Oleh sebabnya, sinergi antar komunitas pendukung amatlah dibutuhkan. Rere Agistya selanjutnya bercerita mengenai pengalaman personalnya dalam transisi menjadi seorang transpuan.
Baginya itu bukan perkara muda, melalui sebuah forum yang bernama “Transcholl” yang digagas oleh Sanggar Swara, kegiatan tersebut berhasil menjadi satu prototipe bagi penguatan kapasitas untuk kalangan transgender di Indonesia, seperti pelatihan pengembangan diri sampai masalah advokasi bantuan hukum.
Memunculkan langkah-langkah strategis dalam kerja edukasi masyarakat terkait isu keberagaman gender dan identitas seksual terus dimunculkan sebagai satu inisiatif bersama membangun Indonesia ramah keragaman. Jihan sendiri melihat tantangan terbesar justeru datang dari iklim media di Indonesia yang belum sepenuhnya ramah gender dan seksualitas. “Sentimen negatif terus diarahkan kepada teman-teman LGBTIQ sebagai penyakit, sesuatu yang tidak normal, dan melanggar ajaran agama,” terangnya.
Forum LGBT Indonesia menempatkan media di Indonesia dalam urutan yang kedua sebagai pelaku kekerasan terhadap LGBT, dengan presentase mencapai 22 persen.
Antara Soal Kesehatan dan Tafsir Agama
Peminggiran terhadap individu dan komunitas LGBTIQ di masyarakat seringkali dibarengi pelabelan dan stigma-stigma yang akut, yang justeru berkebalikan dari fakta yang ada. Mulai dari dianggap sebagai penyakit mental, gangguan psikologis, sampai soal memistifikasi perkara orientasi seksual dengan hal-hal yang bersifat irasional. Sungguhpun demikian, meletakkan hak kesehatan sebagai perkara fundamental, yang harusnya bisa diakses semua warga negara.
“Bagaimana kondisi mental orang-orang yang berbeda orientasi seksual?” pertanyaan tersebut disampaikan salah satu peserta diskusi, Christine, dari komunitas Keranjang Literasi, yang juga berprofesi sebagai perawat. Menanggapi pertanyaan tersebut, Jonta Saragih, melihat betapa pentingnya perspektif hak asasi manusia dijadikan sebuah diskursus.
Secara prinsip, hak asasi manusia memberi defenisi yang tegas, bahwa kesehatan mental merupakan hak asasi setiap warga negara, apapun orientasi seksualnya. Dia menyebut bahwa pelayanan kesehatan harus diberikan kepada siapapun yang membutuhkan, mengurangi stigma kepada transgender dan berhenti menyudutkan LGBTIQ sebagai kelainan mental.
Dalam konteks ini, Rere menambahkan bahwa WHO (World Health Organization) sendiri pada 18 Juni 2015 menghapus transgender sebagai penyakit mental. “Namun politik di Indonesia, tidak mengizinkan pelayan kesehatan mengkampanyekan perihal isu ini,” Pungkas Rere.
Selain aspek kesehatan, masalah lainnya yang disematkan dalam konteks isu LGBTIQ. Aini, mahasiswi asal Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, mengatakan bagaimana sesungguhnya Al-Quran menyinggung perkara LGBTIQ. Sebagai organisasi yang kerapkali mempertemukan dialog kritis antara keimanan dan seksualitas, Jihan menyebut bahwa terdapat miskonsepsi antara tafsir dengan realitas yang ada.
Secara spesifik, Al-Quran tidak menyinggung soal orientasi seksual. Dalam berbagai ayat disebut mengenai ragamnya perilaku seksual manusia sejak zaman dulu, mulai dari perilaku seksual Al-Jima’u, sampai masalah Al-Lhiwat. Namun, tokoh-tokoh agama di Indonesia, menyamakan persoalan orientasi seksual dan perilaku seksual. praktisnya, Islam sendiri menyinggung bahwa keragaman seksualitas itu ada.
Dalam perkara lain, Jihan menyebut pribadi rasul yang begitu toleran dengan seorang Mukhannas. Secara tipikal, ia adalah lelaki berpenampilan perempuan yang, disebutkan dalam berbagai literatur hadist, tidak menikahi perempuan. Namanya Hitta, yang sehari-hari bekerja membantu pekerjaan rumah tangga istri nabi Muhammad.
“Katankanlah (Muhamamd) setiap orang berbuat menurut keadannya masing-masing. Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang benar,” itu ada dalam Al-Quran surat Al-Isra ayat 84. Jadi, orientasi seksual hanya diketehui oleh orangnya sendiri, maka orang lain tidak boleh menghakimi,” terang Jihan. Ia juga mendeskripsikan bahwa Fitrah dalam Islam adalah sesuatu yang belum terkontaminasi.
“Apabila seorang lelaki tumbuh menjadi seseorang yang berperilaku seperti perempuan, berarti itulah kondisi fitrahnya. Di akhir diskusi, Jihan memberi permisalan bahwa ada sebuah pohon beringin yang buahnya mangga.
“Masyarakat akan menerima fenomena tersebut dengan senang hati. Tapi bagaimana dengan fenomena lelaki suka dengan sesama lelaki? Masyarakat akan ribut menolak. Berarti, masyarakat menghina ciptaan Tuhan, dong? Intinya, jangan pedulikan pendapat orang lain yang banyak menghakimi. Jadilah dirimu sendiri.
Diskusi yang dimulai pada pukul sembilan pagi tersebut berakhir pada pukul dua belas siang. Melek Bersama jadi alternatif anak-anak muda sadar dan mulai tergerak mengenai isu-isu bersama yang penting direspon dan dikaji secara lebih komperhensif. Pada kesempatan kali ini, Melek Bersama juga bagian dari Rencana Aksi Lanjutan dari kegiatan 5th Queer and Sexuality Camp.
Naskah oleh: Tiara Aulia
Penyunting: Bagaskara