Dear Peacemaker,
Sepertinya, Anam, koordinator LitBang YIFoS ini memang paling aktif menulis dan berbagi pengalaman. Buktinya, hari ini kembali kita bisa menikmati tulisannya yang \’lain\’.
Anam kali ini mengajak kita berbicara tentang kelamin dan kepentingannya. Sekilas, tulisan ini mengingatkan kita pada satu teori dari Judith Butler, Gender as Performance. Sederhananya Butler berpikir bahwa gender berada pada dua level. Pertama level ide yang kemudian kita sebut sebagai sebuah kontruksi, dan kedua pada level performance yaitu bagaimana seseorang \’menyatakan\’ gendernya – laki-laki; perempuan; lesbian; gay; transgender; biseksual, queer, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana relasi gender dan kelamin? Barangkali tulisan ini dapat memberi kita sedikit pencerahan.
Kelamin dan Kepentingan Tak Bercermin
Menjadi laki-laki, perempuan, atau bahkan bukan dua-duanya merupakan sebuah pilihan (dan tentu saja perjuangan) yang tidak berdasarkan pada kelamin apa yang menempel pada tubuh seseorang. Bisa saja orang dengan alat kelamin penis dapat mengklaim dirinya sebagai perempuan, dan begitu juga sebaliknya. Karena kelamin bukan saja tentang jenis apa yang ‘tiba-tiba’ nempel tanpa stempel di tubuh, tetapi lebih kepada bagaimana si pemiliki tubuh tersebut perform atas tubunya secara keseluruhan. Topic ini menjadi salah satu bahasan utama yang kami bahasa bersama dalam diskusi bersama teman-teman mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah, Pati, Jawa Tengah, pada 28 November 2012 lalu. Bekerjasama dengan Aliansi Remaja Independen (ARI) Pati, saya berkesempatan untuk bertatap muka dan berbagai beberapa hal yang terkait dengan seksualitas, agama dan kepemudaan.
Acara diawali dengan pemutaran dua film dari Perempuan Punya Cerita sebagai langkah awal untuk memberikan gambaran tentang rancu dan berantakannya pemahaman sebagaian besar masyarakat terhadap seksualitas dan peran gender. Diskusi yang dihadiri oleh kurang lebih 30an mahasiswa ini mencoba untuk membongkar pemahaman klasik nan sempit masyarakat secara umum tentang polarisasi pembagian peran gender. Polarisasi itu adalah perempuan yang masih terlalu sering diindentikkan dengan kaum lemah dan laki-laki yang masih juga dipercaya sebagai golongan yang tegap nan kuat.
Dengan didampingi oleh Adiningtyas sebagai narasumber kedua, kami saling bahu membahu untuk membuka wacana bahwa peran gender nyaris tidak ada hubungannya sama sekali dengan alat kelamin, dengan kata lain, tidak selalu orang yang memiliki vagina adalah orang yang pasti lebih lemah jika dibandingkan dengan orang-orang yang ‘kebetulan’ memiliki penis. Mengapa kebetulan? Tentu hal ini dikarenakan tidak seorangpun dari kita yang memiliki kesempatan untuk ditanyai Tuhan; “hei, mau kelamin apa kamu?”. Adalah konstruksi sosial, termasuk agama dan sistem pendidikan, yang membuat penis lebih ‘membahana’ dibanding vagina.
Diskusi berjalan berjalan lancer dengan beberapa kali terlontar pertanyaan dan tanggapan dari para peserta diskusi yang terlihat begitu antusias dengan tema yang kami usung bersama. Ya, tema tentang seksualitas masih menjadi salah satu tema yang dipandang tabu untuk dibicarakan, apalagi untuk diperdebatkan, namun demikian tema ini harus tetap dibahas dengan baik sebagai upaya untuk mengurangi (dan bahkan menghapus sama sekali) diskriminasi dan ketidaksetaraan yang berbasis pada seksualitas seperti yang terjadi selama ini.
Beberapa istilah dalam seksualitas masih pula dianggap sebagai hal yang ‘kurang sopan’ untuk dibicarakan, oleh karenanya istilah penis sering diganti dengan ‘burung’, sementara istilah untuk vagina kerapkali ditumpang tindihkan dengan istilah ‘siput’. Hal mana yang justru merupakan pembodohan, sebab alat kelamin jelas begitu berbeda baik secara bentuk maupun fungsi dengan binatang-binatang yang namanya dicomot begitu saja untuk ‘mensopankan’ istilah seksual ini.
Oleh karenanya perlu bagi kita semua untuk bersama-sama mengoreksi pola pikir kita selama ini terhadap isu-isu seputar seksualitas, karena jangan-jangan, ada banyak sekali kepentingan yang turut bermain dalam proses pengkelaminan tubuh. Nah lo! Yuk terus belajar biar kita tidak mudah terkapar!
Salam penuh cinta dari Yogya, Anam.