Trigger Warning: Homophobia, Suicide Ideation, Emotional Abuse

Oleh Aulia Maulani (Content Creator Staff YIFoS Indonesia
Ditulis pada 6 Desember 2022
“Ya pertama aku merasa terpojokkan. Apalagi itu di dalam forum kan. Gak hanya laki-laki dan perempuan aja, tapi emang banyak orang di sana gitu loh.”
“Jadi ini rasanya kepahitan kehidupan. Rasanya sesak, rasanya gak enak, rasanya kaya aku nggak bisa percaya lagi sama guru tersebut.”
Begitulah kiranya kekecewaan yang dirasakan oleh Farel (bukan nama sebenarnya) dan Rini (bukan nama sebenarnya) ketika saya bertanya mengenai perasaan ketika mengalami diskriminasi atas ekspresi gender mereka yang dilakukan oleh oknum tenaga pendidik di tempat mereka belajar.
Farel, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) yang saat ini tengah menempuh semester 5 itu bercerita ketika mendapat tindakan diskriminatif itu, kerapkali terselip perasaan dalam dirinya untuk berani melawan. Tetapi seketika dirinya menyadari bahwa ada ketimpangan relasi kuasa antara dirinya dengan sang dosen yang membuat dirinya akhirnya menguburkan keinginannya untuk mengintervensi tindakan yang dilakukan tenaga pendidik itu.
“Gimana ya? Kayak aku merasa saat itu tidak ada yang mendukungku. Jadi alangkah baiknya jika aku memilih jalan yang aman yaitu udah stop pembicaraan, di situ aku diam.” tutur Farel (17/10/22).
Sama halnya seperti yang juga dirasakan oleh Rini. Persekusi yang dilakukan oleh Guru Seni Budaya yang memaksanya mengenakan hijab juga mengopresi otoritas tubuhnya. Tanpa paksaan, kepada saya (29/10/22) Rini berusaha menggali kembali ingatan-ingatan kelam di masa sekolahnya itu. Bagaimana hijab yang dipakainya ketika di sekolah seperti bertentangan dengan apa yang dirasakan dalam dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena adanya relasi yang tidak setara antara peserta didik dan tenaga pendidik, sehingga membuatnya tak mampu berbuat hal lain selain menuruti apa yang diperintahkan gurunya tersebut.
“Setelah nggak pake hijab rasanya lebih luas ya, lebih lega ya. Rasanya kayak lebih bisa menjadi diri sendiri. Tiba-tiba disuruh balik lagi ke perasaan pake hijab dimana aku merasa terkekang.” lanjut mahasiswa salah satu kampus di Jakarta itu.
Yang Akan Terjadi Ketika Diskriminasi Terus Terjadi
Diskriminasi yang terjadi pada kelompok ragam gender dan seksualitas adalah permasalahan yang sistemik dan berlapis. Tidak hanya terjadi dalam lingkup pendidikan saja, banyaknya pernyataan pejabat publik yang tidak sensitif gender hingga terbitnya kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah semakin meminggirkan pengalaman terkait ketubuhan dan seksualitas mereka. Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual contohnya. Perda diskriminatif ini tidak lagi sebatas meminggirkan kelompok ragam gender dan seksualitas tapi juga melanggar hak kelompok ragam gender dan seksualitas sebagai seorang manusia. Laporan yang dirilis oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada Maret 2022 menjelaskan bahwa Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu yang berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman.
Dampak yang akan terjadi akibat adanya perda diskriminatif ini antara lain, legitimasi kekerasan psikis karena ragam gender dan seksualitas yang dikategorikan sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan yang membuat tertutupnya akses kesehatan. Padahal, laporan Global pada 2019 telah menyebutkan bahwa aktivitas yang dikenal sebagai “terapi konversi” (SOGIE Change Effort) membahayakan dan berdampak buruk bagi individu yang mengalaminya. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, dan dikhawatirkan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
Pada perda tersebut juga tertuang dalam pasal 15 yang menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang mampu meningkatkan kebencian dan penolakan. Hal seperti ini yang kemudian akan membuat semakin banyaknya tindakan intoleransi dan diskriminasi yang terjadi pada minoritas gender dan seksualitas. Menurut Riska ada 3 hal yang akan terjadi kepada kelompok Lesbian, Biseksual, Gay, dan Transgender (LBGT) muda apabila kerap mendapatkan tekanan berupa diskriminasi yang berujung persekusi. Hal pertama yang akan terjadi adalah outing yang menyasar pada individu LGBT muda.
Outing adalah tindakan membeberkan identitas individu ragam gender dan seksualitas ke khalayak umum secara sepihak tanpa adanya persetujuan yang berakibat memberatkan proses melela (coming out) mereka. Hal ini bisa menjadi backlash untuk mereka, karena salah satu risiko yang dihadapi ketika terjadi outing pada kelompok minoritas gender dan seksualitas adalah respon dan reaksi anggota keluarga mereka.
“Keluarga akan membawa dia ke conversion therapy. SOGIE change effort namanya sekarang untuk dia direhabilitasi secara sosial ya yang mana itu adalah penyiksaan atau jadi dinikahkan yang mereka tidak sadari itu adalah perkosaan.” imbuh Riska (30/10/22).
Tidak sampai situ, tindakan outing ini akan memberikan kerentanan berlapis bagi individu ragam gender dan seksualitas. Apabila individu ragam gender dan seksualitas itu tak mampu menerima konsekuensi terhadap tindakan seperti penyembuhan dan pernikahan secara paksa, mereka akan memutuskan untuk pergi dari rumah dan menggelandang di jalan. “Menghidupi diri kalau tidak punya pendidikan, menghidupi diri sebagai apa? pekerja seks, ya.” tambah Riska.
Bagai sebuah efek domino, mulai dari outing yang dilakukan dapat berakibat terganggunya kesehatan mental bagi korban ragam gender dan seksualitas. Bahkan pada situasi yang lebih serius, tindakan ini dapat menyebabkan kematian bagi mereka. “Ketiga, mental health-nya terganggu dan mati bunuh diri. Ini yang akan terjadi pada anak muda kita gitu loh.” ungkap Riska.
Sementara itu menurut dosen pendamping pada kelompok studi gender di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Vania Sharleen (31/10/12), dampak yang akan terjadi kepada peserta didik apabila mereka terus mendapat perlakukan diskriminatif dari para tenaga pendidik adalah dapat menghancurkan karakter peserta didik dan membuatnya menjadi tidak nyaman untuk belajar.
Menurutnya yang terjadi pada kelompok ragam gender dan seksualitas ini pun termasuk ke dalam kekerasan karena apabila terus menerus direpresi maka sama halnya seperti bom waktu, hal ini dapat meledak kapan saja. “Nah itu yang menurut aku harus hati-hati: bahwa bagaimana kekerasan sistemik ini yang mungkin kelihatannya ya pelan, tapi karena dianggap semua orang itu benar dan boleh dilakukan (melakukan diskriminasi terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas) akhirnya malah jadi bom waktu. Jadi fenomena gunung es gitu.” terang Vania.
Upaya Untuk Institusi Pendidikan yang Inklusif Gender dan Seksualitas
Mengutip artikel vice.com mengenai respon yang terjadi setelah kasus yang terjadi kepada mahasiswa UNHAS, Rezky Pratiwi, Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas Lembaga Bantuan Hukum Makassar mengatakan bahwa perundungan pada ranah privasi seseorang tak bisa dibenarkan, apalagi hal itu terjadi di kampus dan dilakukan oleh dosen. Pratiwi juga menegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2021, pasal 5 menyebut salah satu unsur kekerasan seksual adalah menyatakan ujaran yang diskriminatif terhadap tubuh, dan/atau identitas gender.
Riska mengungkapkan bahwa toleransi untuk kelompok ragam gender dan seksualitas dapat diupayakan dan dimulai dengan menerapkan kurikulum edukasi seksualitas yang komprehensif, namun kenyataannya hal ini pun masih menuai banyak pro kontra bagi para pemangku kebijakan. “Mulai menyadari aja bahwa di Indonesia, identitas gender yang beragam itu banyak. Seksualitas, orientasi seksual itu beragam. Pacaran itu bukan hal yang tabu, puberty itu memang hal yang mutlak. Akui aja dulu kalau itu memang ada dan itu nyata, itu faktual.” ungkap Riska.
Walaupun masih harus melalui jalan yang cukup panjang, Riska berharap dengan adanya perlindungan hukum yang mampu menjadi payung untuk kelompok ragam gender dan seksualitas ketika mendapat tindak diskriminasi dan intoleransi. Namun, upaya ini masih terus diperjuangkan. Fakta yang ia temukan di lapangan, saat ini masih banyak pejabat publik yang menghindari dan membatasi dialog yang berhubungan dengan gender dan seksualitas.
Seperti halnya ketika kelompok ragam gender dan seksualitas menginginkan adanya kebijakan anti diskriminasi komprehensif yang tidak hanya menyasar pada perempuan, anak, disabilitas, dan juga lansia, tapi juga mampu melindungi kelompok rentan pada pengertian yang lebih inklusif seperti minoritas gender dan seksualitas. Namun nyatanya hal ini malah mendapat respon yang kurang baik. Pemerintah berpikir bahwa permintaan ini adalah upaya yang dilakukan kelompok ragam gender dan seksualitas untuk bisa melegalkan pernikahan sesama jenis. “Yang kita dorong adalah legislasi undang-undang anti diskriminasi yang komprehensif bukan minta (legalisasi) perkawinan (sesama jenis), bukan gitu. (Kami butuh) undang-undang anti diskriminasi yang komprehensif karena kami didiskriminasi tapi masyarakat Indonesia enggak tahu apa itu diskriminasi gitu loh. “ jengkel Riska
Di sela kejengkelan itu, terbitlah Permendikbud-Ristek nomor 30 yang datang seperti layaknya angin segar karena cukup baik dan progresif dalam upaya mengawal penghentian tindak diskriminasi yang terjadi pada kelompok ragam gender dan seksualitas di Indonesia. Menurut Vania, kebijakan itu dapat menjadi payung hukum atas setiap tindakan yang akan dilakukan oleh orang-orang di institusi pendidikan. “Istilahnya kayak apapun yang terjadi, mau dia orientasi seksualnya apa, ekspresinya apa, jabatannya apa, nggak boleh melakukan kekerasan.“ tegas Vania.
Harapan Bersama
“Aku lebih milih di-ignore oleh seorang guru daripada dikata-katain, daripada digosip-gosipin, daripada nilaiku direndah-rendahin, dikarenakan ada sedikit perbedaan (ekspresi) yang gak bisa aku kendalikan.” Begitulah kiranya perasaan yang diungkapkan Rini kepada saya. Namun baik Rini ataupun Farel, keduanya sama-sama berharap bahwa setidaknya institusi pendidikan dapat melakukan sebuah peningkatan kapasitas ataupun pelatihan mengenai SOGIE-SC, khususnya kepada para tenaga pendidik yang masih sangat normatif. “Di Lingkungan universitas tidak pasti semua mahasiswa itu cis-hetero. Jadi wajib mereka mengetahui apakah itu perbedaannya, apakah itu keberagamannya.” harap Rini.
“Indonesia udah merdeka, tapi kita (ragam gender dan seksualitas) masih merasa belum merdeka, harus menutup-nutupi jati diri kita gitu kan.” decak Farel. Sementara sebagai aktivis yang mengadvokasi utamanya pada isu terkait gender dan seksualitas, Riska berharap dalam setiap kampus memiliki lembaga support group tersendiri yang dibuat atas dasar kepedulian oleh para mahasiswa. Hal ini sebagai salah satu upaya antisipasi dan mitigasi karena seringkali organisasi di luar kampus kesulitan untuk mengintervensi apabila terjadi kasus diskriminasi yang menyasar kelompok ragam gender dan seksualitas.
“Apa yang kamu yakini sudah sepatutnya untuk didebatkan gitu loh. Jangan takut untuk membuat ruang diskusi, untuk bicara tentang akademik yang berkaitan dengan seksualitas” pesan Riska. Menurutnya, jika dilakukan hal ini akan menyatukan kekuatan kelompok ragam gender dan seksualitas karena dengan adanya ruang diskusi mereka jadi tidak merasa sendiri. Ruang diskusi ini juga akan semakin meningkatkan rasa percaya diri kelompok ragam gender dan seksualitas yang apabila mereka sudah memiliki rencana untuk melela, support group tersebut dapat menjadi ruang aman untuk saling berbagi dan berdiskusi.
Vania menyampaikan bahwa seringkali kita merasa overwhelmed untuk segala permasalahan yang ada di muka bumi ini. Padahal untuk menghentikan diskriminasi yang terus mengakar dan berulang ini dapat dimulai dengan melakukan hal kecil seperti menunjukan dukungan dan penerimaan bagi kelompok ragam gender dan seksualitas dengan mengakui dan memvalidasi keberadaan mereka. “Karena apapun agamamu, apapun orientasi (seksual) mu, apapun latar belakangmu, etnis mu, kamu punya hak yang sama di sini (institusi pendidikan) untuk belajar. Tunjukan kepada teman-teman mahasiswa bahwa kamu dan aku (tenaga pendidik) setara.” tutup Vania.
Referensi:
ICJR. 2022. “Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia” https://icjr.or.id/peraturan-daerah-kota-bogor-no-10-tahun-2021-tentang-pencegahan-dan-penanggulangan-perilaku-penyimpangan-seksual-pelanggaran-hak-asasi-manusia/
Outrights International. 2019. Harmful Treatment: The Global Reach of So-Called Conversion Therapy.
VICE. 2022. “Pengakuan Maba Unhas Sebagai Non-Biner Ingatkan Kita Bahwa Identitas Gender Beragam” https://www.vice.com/id/article/jgpg5p/pengakuan-mahasiswa-baru-unhas-mengaku-non-biner-yang-viral-dipermalukan-dan-diusir-dosen-fakultas-hukum