Di Balik Pakaian Perempuan: Pakaianku, Hakku, Pilihanku

..Ketika Perempuan Terus Dipertontonkan..

Sudah akrab bagi otak dan daya imaji sebagian besar dari kita untuk hanya merujuk pada bentuk dan fungsi ‘beberapa bagian saja’ dari tubuh anak manusia manakala mendengar kata ‘perempuan’. Saat ditampilkan sebagai obyek, perempuan telah terbiasa untuk hanya dipandang sebagai tonjolan-tonjolan daging mentah yang tumbuh berdempetan di sana-sini ‘mengusik’ kenyamanan laki-laki si penguasa birahi, tak lebih. Sehingga manakala perempuan ‘ngeyel’ untuk bangkit dan bersuara, riuh redam stigma dan gelak tawa penuh hina menghantam begitu kerasnya.

Manakala lelah menjadi ‘babu’, perempuan nyaris tak mungkin maju menjadi ‘serdadu’. Dapur, sumur, kasur tak memungkinkan perempuan meneguk anggur kehidupan yang rupanya begitu mahal meski tak jarang ia berbentuk kumal. Peringatan hari kartini menjadi momentum penting bukan saja bagi perempuan, yang telah lama ditindih dalam sedih, tetapi juga bagi laki-laki yang kerap merasa tinggi manakala banyak perempuan yang ‘berhasil’ mereka bodohi. Meminjam pemikiran M. Foucault tentang docile body, sekumpulan mahasiswa dari IAIN Walisongo Semarang yang menamakan diri ANISWA, bergandengan dengan YSage dan YIFoS mencoba mengkritisi kontrol masyarakat terhadap tubuh perempuan melalu berbagai nilai dan norma yang ditambalkan begitu saja melalui pakaian perempuan. Menghadirkan tiga narasumber yang masing-masing menyoroti pakaian perempuan dari perspektif agama, budaya dan media, dan hukum, diskusi ini berhasil menyedot sekitar seratus mahasiswa untuk ikut belajar bersama dalam diskusi memperingati hari kartini dengan tema ‘Di Balik Pakaian Perempuan: Pakaianku, Hakku, Pilihanku’ yang dilaksanakan pada 19 April 2012 lalu.

Masing-masing pembicara mencoba mendobrak kekakuan pemahaman masyarakat luas dalam memandang dan menempatkan perempuan. Drs. Hasan Asy’ari Ulama’i, M. Ag. memulainya dengan memaparkan bahwa agama (yang dalam hal ini adalah Islam) mengajarkan manusia untuk menghormati perempuan secara setara, atau bahkan melebihi laki-laki, hal ini terbukti dari adanya ajaran-ajaran yang memposisikan perempuan dalam kemulyaan, seperti ajaran bahwa surga berada di telapak kaki ibu, dll. Sementara dari sisi media dan budaya, Nuriyatul Lailiyah, S. Sos. merangsek masuk ke belakang dalam melihat betapa budaya kita juga sangat menghormati perempuan, meski kini yang kita temui adalah blow up berlebihan nan kurang mendasar dari media dalam usahanya mengekspos tubuh perempuan dan menjadikannya tak lebih dari sekedar ‘hiasan’. Direktur LBH APIK Semarang yang saat itu juga menjadi pembicara dalam diskusi, Soka Handinah Katjasungkana, S.Sos menyegarkan para peserta diskusi dengan paparan ayu -nya tentang posisi perempuan dalam kacamata hukum.

Meski alur diskusi cenderung monoton dan heteronormatif, namun Suasana komunikatif berhasil dibangun berkat kesiapan panitia penyelenggara dalam mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Acara diskusi yang dimulai pukul 9 pagi ini berakhir sesuai dengan rencana, yakni pukul 12 siang, saat dimana matahari sangat terik, membuat banyak warung makan memekik menjajakan makanan khas mereka masing-masing. Satu inspirasi dari Kartini yang layak untuk dibagi adalah, bahwa perempuan dapat dan harus bisa berbuat lebih, tak peduli meski cibiran serasa terus menindih…

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top