Seni dan kemanusiaan selalu punya daya magnet tersendiri. Setidaknya itu tersampaikan melalui deretan karya mural, yang secara permanen, menghiasi tembok di Joglo Keadilan. Visualisasi konten yang memiliki ruh kemanusiaan itu berderet di bagian samping kiri bangunan, meliputi mural Presiden Abdurrahman Wahid, Save Papua, Konflik Pembangunan, Merayakan Perbedaan sampai isu perempuan. Kreatornya datang dari para seniman yang terhubung dalam komunitas Taring Babi.
Secara fisik, tempat yang berdiri pada areal tanah sekitar satu hektar itu, memiliki gaya bangunan khas rumah adat Jawa yang jamak dikenal rumah Joglo. Nuansa tradisional Jawa yang begitu lekat; jika kebetulan Anda pernah bertandang ke tempat ini, memang punya kesan subtil: aroma kayu-kayu jati tua, lukisan mistik, barang-barang kuno, serta hal-hal yang mungkin sengaja diboyong dari tradisi lampau. Bangunan klasik dan seni mural menghasilkan perpaduan paripurna, yang jadi simbol bagaimana penghuni ‘isi kepala’ para penghuni Joglo Keadilan.
Dari sini, seni menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari. Itu karenanya, Joglo Keadilan jadi tempat keseharian bagi para advokat yang bekerja di Yayasan Satu Keadilan. Berdiri bersama cita-cita merawat keadilan hukum, YSK sendiri memiliki tiga unit lembaga bantuan hukum yang saling terintegrasi: LBH Bogor Keadilan, LBH Jakarta Keadilan serta LBH Sukabumi. Syamsul Alam Agus, Dewan Eksekutif Yayasan Satu Keadilan, bercerita adanya Joglo Keadilan diikhtiarkan sebagai basis fundrising, yang dikelola secara mandiri, guna menopang kebutuhan bantuan hukum struktural di masyarakat.
Bagi Alam, sapaan akrab pria berpostur tinggi asal kota Palu itu, Joglo Keadilan memang sengaja dirancang bagi komunitas masyarakat sipil yang membutuhkan ruang dan tempat guna pengembangan kreativitas. Meliputi acara-acara pertemuan, seminar, pelatihan, atau sampai ikut menumpang berkantor. Letaknya yang tak jauh dari pusat Kota Bogor, Jawa Barat, menempatkan posisinya yang cukup strategis. Tapi yang tak kalah penting dari semua itu, sebagaimana Alam sering ungkapkan, Joglo memberi dukungan maksimal bagi penggunaan ruang untuk organisasi dan komunitas yang punya visi yang sama dalam merawat keadilan dan perdamaian di Indonesia.
Sebagaimana mudah kita dengar, lihat dan saksikan, maraknya sentimen kebencian identitas di ruang publik, bangsa Indonesia hari ini mengalami fase di mana ruang aman bagi keberagaman kembali dipertanyakan. Permusuhan antar dan intra kelompok agama dan keimanan, kebencian yang menghantui kelompok minoritas, serta impunitas negara dalam merawat perdamaian. Praktisnya, kerja-kerja merawat perdamaian dan keberagaman semakin besar dihadang tantangan.
Melalui sebuah visi “Building Peace Within Diversity Faith and Sexual Identity”, YIFOS Indonesia kembali menegaskan perannya di tengah masyarakat sipil di Indonesia dalam bekerja merawat perdamaian. Peran itu, salah satunya, diterjemahkan pada helaran kegiatan yang diberi nama, YQFS Camp (Young Queer Faith and Sexuality Camp). Di tahun ini, 2018, kegiatan rutin tahunan itu menginjak usia yang kelima. Bertempat di Joglo Keadilan, pada 20-28 Oktober 2018, diikuti tiga puluh lima orang peserta yang datang dari pelbagai latar belakang.
“Kami sadar, merebut ruang publik bukan pekerjaan mudah. Oleh karenanya, di tempat ini, kami ingin menciptkan ruang publik sendiri, yang jadi alternatif, semua orang dari latar belakang apapun dapat bertemu dan saling belajar. Joglo punya cita-cita seperti itu,” Sambut Alam kepada seluruh peserta dan panitia yang berkumpul di ruang PKPA. Pada hari pertama, di awal sesi pembukaan Alam mewakili sambutan penghuni Joglo Keadilan.
Keimanan dan seksualitas punya posisi yang begitu krusial di tengah masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang terbentuk dengan filsafat Pancasilanya itu, isu keimanan dan seksualitas kerapkali ditempatkan pada wilayah yang tak bertuan: ia dianggap hal tabu, di luar pakem, menyinggung moralitas, bertabrakan dengan tata-krama, yang padahal di sisi lain, ia begitu dekat dan jadi bagian dari kehidupan manusia.
“Ketersinggungan atas dan sebab faktor keimanan adalah contoh satu hal. Eksistensi kelompok minoritas yang dianggap sebagai ancaman. Dibarenginya tindak diskriminasi sampai persekusi adalah fakta yang muncul dari sejarah keimanan di Indonesia. Aktornya yang terlibat sangat beragam, mulai dari negara sampai kelompok sipil mayoritas agama. Di lain pihak, isu seksualitas mengalami nasib yang nyaris serupa,” Ungkap Jihan Fairuz, Koordinator YIFOS Indonesia, dalam sambutannya. Sembari ia memperkenalkan visi besar diadakannya 5th YQFS Camp.
Terhitung sejak 20 Oktober 2018, anak muda dari ragam identitas keimanan dan seksualitas berpartisipasi dalam penyelenggaraan 5th Young Queer Faith and Sexuality Camp. Terdapat perwakilan yang datang dari Kota Aceh sampai ujung Timur Indonesia, Merauke, Provinsi Papua. Joglo Keadilan jadi tuan rumah untuk kali keduanya, pada tahun ini, merupakan tahun kelima, dengan menganggit tema \”Reclaiming Our Future\”. (AWS, YIFOS Indonesia)