oleh: Aan Anshori
Estimasi Baca: 7 Menit
SAAT tulisan ini dimulai, saya baru saja diminta hadir oleh TVOne dalam acara Indonesia Lawyer Club (17/2). Saya tidak sendirian. Ada banyak juga yang diundang sebagai narasumber, baik yang pro maupun kontra seputar isu LGBT. Berbagai argumen dipapar untuk menjustifikasi. Tidak jarang yang tumpang tindih logikanya, seperti wakil dari KPAI, Erliyana. Dia mengaku punya svreenshoot gambar2 vulgar yang diposting oleb akun yang dikendalika oleh kalangan di media sosial. Dia meyakini itu adalah upaya propaganda dengan maksud mempengaruhi orang agar berpindah haluan; dari hetero menjadi homo. Pengalaman ini –setidaknya- membuatnya berapi-api ingin memberangus keberadaan kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender/transeksual).
Namun, pada saat yang sama, dia mengakui bahwa tidak semua orang homo bertindak sebagaimanaaku tersebut. Pertanyaan logis yang bisa diajukan; jika ada orang hetero mnyebarkan muatan pornografi ke publik, mana yang seharusnya kita pidana; upanya menyebar konten porno, atau karena ia menjadi hetero? Jawaban atas pertanyaan itu juga bisa kita gunakan dalam kasus seorang homoseksual yang melakukan hal sama, misalnya Kasus Saiful Jamil. Argumentasi seragam dari hampir semua pihak yang kontra-LGBT; bahwa negara ini sepenuhnya bersendikan nilai-nilai agama di mana LGBT dianggap merupakan praktek terlarang yang tidak hanya dikutuk, namun pelakunya harus dihukum berat.
Agama laksana penjelmaan Kresna yang tengah bertiwikrama. Posisinya kerap digunakan penguasa untuk mengintimidasi lawan-lawan politiknya. Lihatlah bagaimana praktek persekusi keyakinan sejak kekristenan awal hingga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia, yang selalu meletakkan agama sebagai mekanisme represif bagi liyan.
Sebenarnya apa ajaran pokok dalam Islam? Bagaimana Islam hadir di Indonesia, serta sejauh mana agama ini merespon masalah ketubuhan dan seksualitas?
TRISULA ISLAM
Islam hadir, diyakini, sebagai agama samawi (abrahamic religion) terakhir dari dua sebelumnya; Yahudi dan Nasrani (Kristen). Islam mendaku sebagai penyempurna dari agama sebelumnya. Jika ditelisik secara komparatif, ajarannya sendiri tidaklah bisa dikatakan genuine –terbebas dari pengaruh agama sebelumnya. Justru, tidak sedikit anasir-anasir Yahudi dan Nasrani hadir menjadi elemen penyusun dari keislaman itu sendiri. Ini barangkali penting untuk mendasari perbincangan mengenai seksualitas. Ajaran sunat (circumcision), puasa, dan kisah mulia para nabi sangat mirip dangan ajaran pra-islam.
Secara prinsip, terdapat tiga ajaran pokok yang perlu dipahami oleh pemeluk agama ini, yakni Islam, Iman dan Ihsan. Ketiganya mempunyai makna yang otonom dengan berbagai indikator. Meskipun terpisah, ketiganya mempunyai relasi graduatif untuk menunjukkan seberapa jauh seseorang bisa mencapai level dalam beragama. Ketiganya yang merupakan satu kesatuan bisa dianalogikan sebagaimana halnya penjenjangan kelas sekolah, misalnya SMA.
Secara harafiah, Islam, selain dipahami sebagai sebuah agama yang tersusun secara lengkap, memiliki arti kepasrahan/ketertundukan diri kepada Tuhan. Inilah fase awal seseorang, katakanlah saat mendaftar diri ke sekolah SMA bernama \’Islam\’. Pada level ini, setiap pendaftar akan diterima sepanjang memenuhi persyaratan minimalis yang telah ditentukan. Serta, berkomitmen untuk menjalankan segenap instrumen, ritus dan sistem nilai yang ada di dalamnya.
Penalaran ini barangkali bisa disandarkan pada kisah orang-orang Badui yang mengaku telah beriman namun oleh Alloh diminta untuk menyempurnakan kembali dengan cara tunduk (aslam?) sebagaimana tersurat dalam QS. (Al-Ĥujurāt):14. “Orang-orang Arab Badui itu berkata: \”Kami telah beriman\”. Katakanlah: \”Kamu belum beriman, tapi katakanlah \’kami telah tunduk\’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang\”.
Nurcholish Majid, cendekiawan Muslim asal Jombang, memberikan penekanan penting terkait etape ini dengan mengutip Ibnu Taimiyyah. Menurut Cak Nur, sapaan akrabnya, \”al-Islam\” mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti difirmankan Allah, \”wa rajul-an salam-an li rajul-in\” (Dan seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki- QS. al-Zumar 39:29). Jadi, orang yang tulus itu tidak musyrik, dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan: Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya, \”Berserah dirilah engkau!\’, lalu ia menjawab, \”Aku berserah diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam.\”
Dan dengan ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya\’qub. \”Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. al-Baqarah 2:130-132).
Setelah seseorang masuk pada level islam, maka ia dituntut untuk menapaki jenjang lanjutan, yakni iman. Kita semua tahu bahwa secara umum keimanan seseorang cukup ditandai oleh deklarasi pengakuan atas rukun iman yg enam (menurut kelompok Sunni). Namun demikian, pada tahapan ini, seseorang dituntut agar memanifestasikan keimanannya secara lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan bahaya di jalanan:
Nabi Muhammad pernah berkata; \”Demi Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!\” Lalu orang bertanya, \”Siapa, wahai Rasul Allah?\” Beliau menjawab, \”Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya\” Lalu orang bertanya lagi, \”Tingkah laku buruknya apa?\” Beliau Jawab, \”Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan.\”
Di hadits lain, Nabi pernah bersabda, \”Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama kamu!\”. Pada level ini, sekali lagi, seseorang belum bisa dikatakan sebagai orang mu’min jika dalam dirinya tidak ada keinginan mengejawantahkan nilai keimanan dalam prilakunya sehari-sehari. Bukan sembarang prilaku namun tindakan positif yang berkaitan dengan kepentingan orang lain (publik). Setiap orang yang beriman (mukmin) menjauhi perbuatan dzalim (aniaya). Beberapa indikator perbuatan dzalim menurut al-Qura’an antara lain; menyembah selain Allah (QS. 2:165), menuruti hawa nafsu dan merugikan orang lain (QS. 5:47), sifat keangkuhan dan perbuatan kekafirannya (QS.18:35), serta orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan (QS. 44:46).
Puncak tertinggi dalam keberislaman seseorang adalah ketika mencapai posisi ihsan, biasanya disebut muhsin. Nabi menjelaskan, \”Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.\” Maka ihsan adalah ajaran tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup,melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan atau latihan untuk mencapai dalam arti sesungguhnya.
Ihsan secara harfiah bermakna “berbuat baik”. Sebagai bentuk jenjang tertinggi penghayatan keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah yang paling akhlaknya. Jika di rangkai dengan sikap pasrah (as-islam) di atas, maka menjadi penting untuk merujuk pada QS. al-Nisa’: 4:125, “Siapakah yang lebih baik dalam hal agama daripada orang yang memasrahkan (aslama) dirinya kepada Allah dan dia adalah orang yang berbuat kebaikan (muhsin), lagi pula ia mengikuti agama Ibrahim secara tulus mencari kebenaran (hanif-an)”.
Pribumisasi Islam ala Gus Dur
Saya sendiri mengamini doktrin ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh -salah satunya- KH. Abdurrahman Wahid. Wali kesepuluh dalam pemahaman banyak Nahdliyyin ini menyatakan bahwa ajaran Islam seperti fiqh (hukum Islam), etika (akhlaq), teologi (tauhid), asketisme (tasawwuf) sesungguhnya dipergunakan untuk menopang kepedulian terhadap kemanusiaan (al-insaniyyah). Kemanusiaan tersebut menurut Gus Dur meliputi berbagai upaya dan keterlibatan aktif umat Islam untuk memperjuangkan beberapa hal, seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga dari kezaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak kelompok minoritas, maupun pembatasaan kewenangan pemilik kekuasaan agar tidak sewenang-wenang.
Seperti halnya agama/kepercayaan lain di muka bumi ini, Gus Dur menekankan bahwa universalisme Islam ditandai oleh 5 jaminan dasar yang diberikan agama samawi, yaitu (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.
Bagaimana cara mendakwahkan 5 hal ini? Gus Dur secara argumentatif meletakkan tradisi lokal -tempat seseorang berdakwah- sebagai salah satu pertimbangan penting. Artinya, dalam mengimplemntasi tujuan-tujuan syariah tersebut seseorang diwajibkan untuk mempertimbangkan aspek kearifan lokal. Islam tidak sama dengan arab, meskipun agama ini diturunkan di sana untuk pertama kalinya. Penghormatan atas tradisi lokal dengan asumsi mahapenting; bahwa keadilan dan penerapan islam tidak boleh dilaksanakan dengan cara menghilangkan paksa kearifan lokal, sebagaimana yang pernah dilakukan kelompok Wahabi di wilayah Sumatera Barat. Seseorang bisa menjadi muslim yang baik dengan tetap memegang teguh tradisi yang menjadi warisan leluhurnya, sepanjang ia bersetia terhadap prinsip dan tujuan Islam. Demikian juga, tidak semua yang beraroma Arab atau Timur Tengah selalu dalam posisi benar dan merepresentasi Islam sejati.
Kearifan lokal yang bisa berdialog secara percaya diri terhadap universalisme Islam inilah yang disebut Gus Dur sebagai islam yang kosmopolit, yakni kesadaran seseorang di level lokal dalam mempersepsi Islam sebagai bagian dari ajaran besar dunia yang selaras dengan prinsip-prinsip agung banyak ajaran. Pribumisasi Islam model Gus Dur ini sejatinya mengafirmasi realitas bahwa Islam secara umum tidaklah menegasikan aspek-aspek kultural suatu komunitas.
Dalam hal tertentu, bisa dikatakan Islam merupakan agama hibrid. Dia menyerap hal-hal baik dan mengintegrasikannya sebagai medium dialogis mendorong masyarakat bisa lebih memahami islam secara utuh. Keberadaan menara yang bukan asli milik Islam, melainkan \’dipinjam\’ dari agama Zoroaster, merupakan buktinya. Begitu juga dengan tradisi haji ke Mekkah dan tawaf mengelilingi ka\’bah, yang bisa dikatakan telah ada sebelum Islam muncul. Jika contoh dalam hal ini diperluas, dalam hal pidana potong tangan bagi pencuri, terdapat dua aspek penting; penegakan keadilan dan bagaimana keadilan tsb ditegakkan. Di indonesia, seorang pencuri cukup mendapat ganjaran penjara dan pengembalian hasil curian (dalam kasus korupsi), tidak bisa dikatakan hal ini tidak islami. Justru, Indonesia tengah menerapkan apa yang menurutnya adil bagi pelaku tindak pidana. Memotong tangan dianggap tidak sesuai karena berimplikasi serius menyangkut nasib keluarga terpidana jika nantinya yang bersangkutan tidak lagi bisa bekerja optimal karena tangannya dipotong.
Melacak Islam di Nusantara
Bagaimana Islam sampai di Indonesia belumlah menjadi kesepakatan para ahli. Mereka berbeda pandangan lebih disebabkan oleh keragaman titik pijak dan dukungan bukti-bukti historik yang ada. Sumber Barat yang lebih menyandarkan pada catatan Marcopolo menyebut bahwa aktifisme agama Muhammad telah terdeteksi di wilayah Ferlac Aceh sekitar tahun 1292/1297, sebagaimana yg didalilkan oleh B.J.O Schrieke, ahli sosiologi Indonesia kelahiran Belanda. Catatan sarjana ini selanjutnya tampak mendapat konfirmasi oleh Jean Pierre Moquette, pria kelahiran Belanda yang menetap lama di Indonesia sebagai peneliti etnografis. Dia menghabiskan waktu beberapa tahun menyelidiki kuburan elit Aceh tempo dulu, salah satunya terhadap makam Malik al-Saleh. Dari nisan tersebut, menurut Morquette, tertulis tahun wafatnya, 1297.
G.E. Gerini, sejarahwan asal Italia mengajukan hipotesisnya; Islam sudah berdenyut di Samudra Pase pada 1270-1275. Sebelum agama ini masuk, tatanan kehidupan Aceh bercorak Hinduisme mengingat wilayah ini dipercaya menjadi jujukan ekspedisi dari kerajaan Lamori-Hindu dari Gujarat India. Sumber dari Barat juga mempercayai Islam masuk Nusantara melalui Aceh juga dibawa oleh apa yang mereka sebut sebagai Saracen Merchan. Mereka berdagang dan berinteraksi dengan penduduk lokal sehingga terjadi akulturasi budaya -baik secara damai maupun dengan paksaan (penjajahan). Dari Perlak dan Pasai inilah Islam selanjutnya tersebar ke pelosok aceh dan wilayah sekitar.
Berbeda dengan sumber Barat, sumber Timur punya perspektif sendiri menyangkut hal ini. Menurut Profesor Abu Bakar Atjeh, dengan merujuk pada karya Nageeb Saleeby, Studies in Moro History, penyebaran Islam awal di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang Arab. Hal ini, misalnya, dapat diketahui dari beberapa diksi yang dipakai oleh elite kerajaan Aceh awal. Gelar sultan merupakan diksi khas Arab. Sumber-sumber Timur kerap merujuk pada peristiwa pergolakan kelompok Ali melawan Bani Umayyah. Eksodus golongan Alawiyyin (Ali) ke berbagai kawasan, termasuk Asia tenggara merupakan bagian dari penyelamatan diri sekaligus penyebaran ajaran Islam versi mereka. Abu Bakar aceh mensinyalir pembawa islam awal ke Nusantara adalah dari kalangan Alawiyyin yang juga membawa garis keturunan dari Nabi Muhammad. Terkait tahun masuknya Islam di Aceh, Abubakar menunjukkan temuan yang lebih awal ketimbang sumber Barat, sekitar tahun 1200 M. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya petilasan dalam bentuk nisan milik al-Malik al-Kamil di Desa Blang Mel. Di sana tertulis tanggal wafatnya 7 Jumadil Awal 607 H (1210 M). Di sekitar makam tersebut juga terdapat nisan-nisan lain yang dipercaya milik misan al-Malik, Ya\’qub, seorang panglima yang dipercaya sebagai sosok yg mengislamkan Gayo. Nisannya tertulis 15 Muharram 630 H (1232 M).
Sedangkan paparan HM. Zainuddin dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara menyatakan Islam masuk ke Aceh jauh lebih awal, yaitu sekitar tahun 717 M. Dia mendalilkan perjumpaan Islam pertama bersamaan dengan adanya ekspedisi armada dari Persia yang hendak menuju Tiongkok. Dari Hadramaut puluhan kapal ini, menurut Zainuddin, singgah terlebih dahulu di beberapa tempat, misalnya Kedah, Siam, Kamboja, Annan, Jawa, Brunei, lalu ke Andalas Utara (Aceh). Sayangnya -kritik Abubakar- Zainuddin tidak mengajukan bukti-bukti yang cukup meyakinkan atas klaim tersebut. Menjadi penting untuk dikemukakan di sini terkait adanya prasasti di wilayah Leran Tuban jawa timur. Di sana, terdapat makam perempuan yang dijenal dengan nama Fayimah binti Maimun. Pada nisan perempuan ini tertulis tahun saat ia meninggal, 474 H. Beberapa ahli masih belum satu suara menyangkut asal muasal nisan ini. Jika memang benar tahun yg tertulis itu benar adanya, berarti islam terlebih dahulu masuk ke Jawa ketimbang Aceh.
Perbedaan pandangan mengenai masuknya Islam awal ini juga berimplikasi terhadap aliran-Islam apa yang pertama kali masuk Nusantara; apakah Sunni, Syiah, atau madzhab lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh tradisi Syiah cukup mengental dalam denyut banyak kebudayaan di Nusantara. Salah satu contohnya adalah menguatnya gerakan tasawwuf, tradisi ziarah kubur, tabut, dan perayaan As-Syura. Sangat mungkin penyebaran islam awal berjalan secara natural sehingga memungkinkan terjadinya penyerapan ajaran islam dalam kebudayaan setempat. Namun demikian, pada perkembangan lanjutan saat Islam berkolaborasi dengan kekuasaan, penyebaran Islam menjadi sulit dipisahkan dari naluri pendudukan dan hasrat pemaksaan secara massif.
Islam dan Integritas Ketubuhan
Islam memberikan penegasan cukup serius menyangkut penghormatan atas hal-hal yang berkaitan dengan tubuh (ketubuhan). Terdapat beberapa ayat al-Quran serta hadits nabi yang memperkuat hal itu, misalnya QS. 51:20-21.
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.”
Atau QS. 17:70
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Begitu tingginya nilai tubuh seseorang, bahkan saat tubuh tersebut tidak lagi bernyawa pun, Islam memberikan catatan serius menyangkut larangan memperlakukannya secara sembarang. Sebagaimana hadits yang dinarasikan oleh Abdullah bin \’Amr bin Al-\’A dalam Shahih Bukhari
‘….tubuhmu punya hak atasmu.” (HR. Bukhari, Bab Nikah, Volume 7, Book 62, Number 127)
Perubahan terhadap bentuk awal tubuh -sepanjang tidak untuk kebutuhan yang sangat mendesak- merupakan praktek tercela yang mengakibatkan seseorang mendapat dosa besar.
Peneguhan ini secara tidak langsung memberikan kewajiban kepada pemilik tubuh untuk bersungguh-sungguh menjaga apa yang telah dititipkan tuhan kepadanya. Sebab, suatu saat nanti Alloh akan meminta pertanggungjawabkan terhadap penggunaan tubuh tersebut.
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia gunakan, (2) tentang ilmunya, sejauh mana dia amalkan ilmunya tersebut, (3) tentang hartanya, dari mana harta tersebut didapatkan dan untuk apa harta tersebut dibelanjakan, dan (4) tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan.” (HR. Turmudzi- Kitab Sifat Qiamat-Penggugah Hati, Bab Hisab dan Qisas)
Integritas ketubuhan seseorang bermakna dua hal. Pertama, kewajiban seseorang untuk memastikan tubuhnya terhindar dari sesuatu yang bisa membuatnya rusak/malfungsi. Kedua, pemilik tubuh mempunyai kontrol penuh atas apa yang terjadi pada tubuhnya. Pada prinsipnya, politik ketubuhan seseorang sepenuhnya difungsikan untuk mengabdi kepada tuhan, tidak lain mdan tidak bukan. Ia adalah kendaraan bagi manusia untuk menapaki dan menggapai tahapan keberislaman (islam, iman dan ihsan).