IMG_5971

Identitas, Otoritas dan Relasi Kuasa

Dialog ketubuhan membuka diskursus seksualitas dan keimanan secara lebih ekstensif, yang memberi alternatif bagi Pengenalan Diri secara mendalam. Pembahasan berlanjut dengan sesi mengenai materi Identitas, Otoritas dan Relasi Kuasa. Materi ini, difasilitasi oleh Anna Marsiana, seorang aktivis Feminis Asia, yang banyak bekerja untuk isu perempuan, LGBTIQ, dan hak asasi manusia di Indonesia.

Di awal sesi, Bunda Anna, sapaan akrab, perempuan asal Yogyakarta itu, mengajak peserta dalam merumuskan skema konseptual tentang tiga tema besar: yakni  Pertama, defenisi mengenai apa itu identitas? Kedua, identitas yang melekat pada diri manusia mengapa dianggap penting didialogkan? Ketiga, eksplorasi pendapat mengenai politik identitas.

Pertanyaan di atas jadi bahan diskusi bagi peserta, yang dibagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok berdiskusi, merumuskannya secara bersama-sama. Hasilnya, terdapat lima jawaban dari lima sudut pandang yang meski berbeda namun saling terkait.

Kelompok pertama, melihat identitas sebagai sebuah medium pengenalan diri. Ia melekat dalam masing-masing individu sebagai pembeda sekaligus penggambaran diri. Karenanya, bicara identitas jadi penting, karena ia merupakan sebentuk pengakuan yang identifikasikan dan diasosiasikan ke orang lain. Sedangkan untuk politik identitas, kelompok ini melihat bekerjanya kamuflase dalam mencapai kekuasaan.

Kelompok dua, menulis dalam presentasinya, bahwa identitas sebagai sebuah penanda yang meliputi gender, seksual, sosial-politik dan keimanan. Ini ditujukan guna merefleksikan diri sebagai sebuah keberterimaan terhadap diri sendiri. Maka, bagi kelompok ini, politik identitas berguna bagi tercapainya diskursus perubahan sosial, atau negosiasi sosial.

Kelompok tiga, punya pandangan terkait identitas dalam kaitannya dengan label, ciri, atribut, diversifikasi, yang melekat pada suatu individu. Manfaat penting bagi dialog identitas ini, karenanya, kita kita dapat mengetahui, mengenal, memahami secara lebih mendalam. Isu Ahok dan Jokowi jadi contoh, bagaimana spektrum politik identitas bekerja dalam ruang publik.

Kelompok empat, mengamati persoalan identitas sebagai penanda  unik jati diri, untuk siapa saja dan apa saja. Ia sebagai ciri khas agar dapat membedakan dan sebagai pengakuan untuk nilai diri dan keyakinan menjalani hidup, sense of belonging terhadap grup tertentu.

Kelompok lima, melihat identitas ialah ekspresi dari tubuh. Identitas individu dapat menganalisis diri sendiri dan orang lain. Pendapatnya mengenai politik identitas, kelompom lima memilih tidak setuju, dikarenakan hanya terpaku pada struktur biner dan tidak menerima segala konteks di luar biner. Misalnya, Isu LGBT diluar biner sehingga sangat mudah digoreng.

Bagi Anna, masing-masing kelompok tadi, menyumbang kata kunci bahwa identitas tidaklah tunggal dan begitu kompleks.  Ia menyebutkan,”Pada aspek internal ialah ‘siapa sih aku’ dan eksternalnya ialah penilaian orang lain yag menyatakan kamu siapa,”

Lanjutnya, “Mengapa penting bicara identitas, setiap kelompok menyumbang yakni untuk mengenal. Ketika sudah mengenal maka bisa menerima tetapi juga diterima supaya ada pengakuan siapa saya dan mengapa saya ada disini. Dan penting juga memiliki sense of belonging dengan kelompok yang satu visi. Jadi, ini ialah temuan dari share teman-teman.”

Perihal posisi gerakan sosial yang sedang digeluti oleh peserta, Anna Marsiana melihat pendapt mereka yang beranggapan bahwa politik identitas juga digunakan dalam banyak gerakan feminisme, kesetaraan LGBTIQ, serta masyarakat adat. Argumentasinya, gerakan-gerakan ini, dalam konteks sosial-politik di Indonesia, berada pada situasi yang masih terpinggirkan dan mengelami opresi komunitas.

“Kalau dari gereja misalnya ada larangan untuk ke gereja ketika dia LGBT atau kalau bukan LGBT pun ada diskriminasi lain yang walaupun tidak terang-terangan menyebut identitas misalnya penghayat,” Sambung Anna.

Diskusi dilanjutkan melalui berbagi pandangan antara Anna Marsiana dengan para peserta. Tema yang diangkat masih seputar masalah yang dianggap cukup krusial dalam kaitannya politik identitas sebagai strategi gerakan sosial. Di tengah-tengah perbicangan, Anna bercerita seputar pengalamannya bagaimana identitas digambarkan dalam sebuah piramida.

 

Pada suatu momen, Anna duduk bersama para pemangku kepentingan di Yogyakarta. Tujuannya membahas masalah yang melanda kawasan ‘Gudeg’ itu. Sultan Yogya, sebagai Gubernur, di sela-sela pembahasan, berbicara mengenai suatu topik A yang, tidak banyak mengambil referensi di lapangan. Praktisnya, Sultan bicara tidak dengan data. Anna Marsiana, mendengar dengan saksama, bahwa pemaparan sultan sesungguhnya tidak mengakar dan tidak menyelesaikan persoalan. Di tangan Anna, ia memegang banyak data. Setelah momen tersebut, Anna lalu balik ke rumah. Setibanya di sana, ia kaget karena sudah lebih dulu ada ketua RT yang menunggu di depan rumah.

Momen itu bagi Anna, “Saya tiba-tiba membusungkan dada dan dihadapan ketua RT yang tidak lulus SMP. Saya menundukan diri karena ada yang salah (belum bayar iuran sampah),”

“Kalau digambar dalam piramida itu menumpuk pada diri kita, yang sebetulnya kalau digambar rata-rata menengah. Karena kepentingan yang saya bawa, piramida bisa turun di hadapan seseorang yang notabene sederhana karena memiliki dosa sosial. Dalam kenyataannya, diri seseorang sangat kompleks dan sarat akan kepentingan dan relasi kuasa yang sangat dinamis. Karenanya, bicara gerakan maka akan sangat kompleks yang tidak hanya satu dinamika,” Pungkasnya

(Yifos Indonesia)

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top