IDENTITAS DAN RUANG

Peacemaker,

Perdebatan mengenai identitas tampaknya memang tak akan pernah selasai. Kompleksitas isu dan wacana ke-identitas-an yang terus berkembang dan beririsan dengan pelbagai \’cerita\’ lainnya terus bergulir menjadi tema yang \’menjual\’ dalam berbagai diskusi, seminar, dan bahkan dalam majalah dan tabloid populer. Tapi bagaimanapun juga, identitas adalah milik kita, di mana kita berhak menyatakan diri meski tak pernah bebas dari kritik dan refleksi.

Mari simak buah pikir Anam dalam artikel \”Bergulat dengan Identitas di Ruang Tanpa Batas\” dan mari berefleksi!!

Identitas merupakan fase yang berfungsi untuk memberikan perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Meski untuk beberapa hal, identitas juga dapat difungsikan kepada benda mati atau suatu fenomena tertentu. namun demikian, identitas ‘hanyalah’ sebuah fase dalam arti bahwa ia bukanlah sesuatu yang ajeg stagnan tanpa ada perubahan, karena identitas justru dapat berubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Bikhu Parekh misalnya, berargumen bahwa identitas memiliki tiga dimensi yang meski berbeda, namun saling berhubungan. Yakni; identitas personal, identitas sosial, dan identitas kemanusiaan. Pada dimensi personal, Parekh menyatakan bahwa manusia sebagai seorang individu adalah sepenuhnya unik, memiliki perbedaan dengan manusia lainnya. Sementara dalam dimensi sosial, manusia digambarkan sebagai bagian dari lingkaran sosial, menjadi anggota dari kelompok budaya, agama, dan kelompok-kelompok lainnya dimana manusia mencitrakan diri mereka sendiri, namun sekaligus juga dicitrakan oleh orang lain. Dimensi terakhir adalah dimensi kemanusiaan dimana manusia mengidentifikasi diri mereka sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya. (Parekh, 2008; 9)

Pun demikian, ketiga dimensi tersebut dapat dijamah dalam waktu yang besamaan, karena seorang individu adalah anggota dari berbagai jenis kelompok. Amarty Sen memberi contoh bahwa pada saat yang bersamaan seorang individu bisa memiliki identitas sebagai seorang warga kota, penari, penggemar olahraga, penyuka musik, dll. Yang mana hal tersebut tidak dapat dipisah-pisah. Meski harus diakui juga bahwa tidak semua identitas tersebut dapat ‘bermain’ dalam porsi yang sama di setiap saat. Identitas sebagai seorang penggemar olahraga, misalnya, akan lebih menonjol dibandingan identitasnya sebagai warga kota, penari, dll, pada saat seorang indvidu menyaksikan sebuah pertandingan olahraga. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai competing identity. Yakni keadaan dimana satu atau sebagian kecil dari banyaknya identitas yang dimiliki oleh seorang individu memainkan porsi yang lebih banyak dibanding dengan identitas yang lain. (Sen, 2007: 4)

Meski demikian, memiliki banyak identitas tidak selalu bermakna bahwa seseorang dapat dengan leluasa dan bebas berekspresi sesuai dengan yang dikehendaki. Memiiliki identitas yang berbeda dengan kebanyakan anggota suatu komunitas atau kelompok tertentu kerap kali justru tidak dianggap sebagai sesuatu yang ‘unik dan asik’ tetapi justru ‘nyleneh dan aneh’.

Salah satu masalah utama dalam ‘identitas’ adalah adanya standarisasi atas identitas itu sendiri. Semisal, ketika ‘menjadi’ islam bermakna ‘harus sama’ dengan (Majelis Ulama Indonesia) MUI, maka pada saat inilah keragaman dan keluasan identitas sedang direduksi, dengan diperas habis tanpa sisa. Konsekwensi logis dari hal ini adalah meredupnya keberagaman itu sendiri, maka tidak heran jika kemudian banyak kita saksikan ‘fenomena’ pengkafiran atas islam-islam yang lain, yang terjadi bukan karena mereka (kelompok yang dikafirkan) tidak sejalan dengan ajaran ‘mainstream’ Islam, tetapi simply karena mereka tidak sama dengan MUI, yang bukan saja berperan sebagai Majelis Ulama, tetapi juga sebagai ‘pemegang standar’ keabsahan Islam.

Pun demikian halnya dengan keragaman identitas seksual, jika mengacu pada narasi di atas, maka Homoseksualitas, misalnya, dianggap tidak normal bukan karena ia salah, tetapi karena homoseksulaitas dianggap ‘belum’ bisa memenuhi standar ‘kebenaran’ atas identitas seksual.

Hal ini kemudian bermakna bahwa identitas itu cair, sehingga ia bisa berubah-ubah seturut dengan perubahan pola pikir masyarakat sekitar. Bisa jadi, yang dianggap ‘benar’ saat ini adalah ‘salah’ di masa sebelumnya, dan begitu juga sebaliknya.

Oleh karenanya menjadi terlalu naïf kiranya jika masih banyak dari kita yang dengan mudah terjebak pada fanatisme sempit yang berujung pada pembenaran buta atas kelompok sendiri dan menyalahkan kelompok yang lain. ‘Salah’ dan ‘benar’ tidak bergantung pada seberapa ‘salah’ suatu kesalahan, atau seberapa ‘benar’ sebuah kebenaran itu. Semuanya bergantung kepada seberapa ‘kuat’ dan ‘meyakinkannya’ sesuatu untuk dianggap sebagai yang benar dan yang salah.

Alngkah baiknya jika kita, dengan segenap kerendahan hati dan kedewasaan pola fikir, menerima keragaman identitas sebagai sebuah anugerah yang patut untuk dirayakan, bukan untuk disingkirkan. Sudah patut pula bagi kita semua untuk berdiri tegak menentang segala bentuk diskriminasi, karena hal itu adalah bukti nyata bahwa keberagaman kita sedang dikebiri.

Salam keberagaman, salam penuh cinta tanpa menuntut balasan.

 

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top