Perempuan Berparas Tampan: Kidung Sendu (Bagian 2)

\"cats\"

by. Joshua Intan

Bagi seorang pengerja gereja sepertiku setiap hal yang aku lakukan pastiakan jadi sorotan, khususnya oleh jemaat ditempatku melayani. Seperti halnya kehidupan pendeta yang selalu dituntut sempurna, para pengerjapun diberlakukan hal yang sama. Maka dari itu,saat ini aku merasakan kebimbangan yang besar.

Berkali-kali aku baca BBM dari kak Rania yang menawariku makan siang bersama, tapi aku tak berani membalasnya. Sampai pada akhirnya telpon berbunyi, dan dengan perasaan tak karuan kuangkat panggilan itu.

“Nad… kamu kenapa?”

“Oh, enggak kak… enggak kenapa, kakak dimana?”

“Bener?? Aku di jalan dekat greja, kamu mau aku jemput buat makan siang?”

Berpikir sejenak, “Boleh kak.”

“Oke aku jemput ya, 5 menit lagi sampai.” Telpon terputus.

Benar saja, 5 menit kemudian aku lihat mobil kak Rania sudah ada di depan greja, aku bergegas keluar menghampirinya sebelum dia turun,

“Hai kak…”

“Hai, mau makan dimana?”

“Terserah kakak aja,” aku memasang seat belt, “kak, boleh nggak kita makan di tempat yang agak sepi?” pintaku.

Kak Rania hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala penuh pengertian seperti biasanya. Mobil berjalan menyatu dengan keramaian jalan, sing ini panas sekali sampai-sampai AC mobil hampir tidak terasa. Kami duduk dalam diam beberapa saat sambil mendengarkan alunan music payung teduh dari player.

Aku melirik sosok gadis tampan di sebelahku, dia terlihat keren seperti biasanya. Kaos merah, celana pendek berwarna coklat, sepatu merah, lengkap dengan kacamata hitamnya. Sempurna, dia adalah bagian terindah yang tak pernah bosan kulihat.

“Kenapa?? Aku ganteng ya??” godanya.

Aku yang terkejut karena kepergok pun lalu jadi salah timgkah. Dia tersenyum simpul,

“Kenapa Nad?? Ada masalah sama orang greja?” lanjutnya.

“Oh itu, enggak kok kak, cuman sedang memikirkan sesuatu aja.” Aku tidak pandai mengatakan apa yang sebenarnya menjadi ketakutanku padanya.

“Memikirkan apa kalau boleh tahu?”

Menghela nafas, “Yaaa… banyak kak. Kerjaan, laporan, semuanya” ini jawaban klise yang sangat mudah dilihat ketidakjujurannya.

“Eh sorry ganti topic dulu ya. Aku ada referensi music baru buatmu Nad. Setelah sedikit mengenalmu sepertinya kamu akan suka music ini.” Kak Rania merogoh saku celana dengan tangan kirinya,sedang tangan satunya masih di kemudi.

Setelah berhasil mengeluarkan HP dari saku celananya, dia memintaku untuk menyambungkan HP nya dengan kabel yang terkulai lemas di sekitar player. Masih sambil mengemudi, kak Rania mencari-cari sesuatu di list player HP nya. Sesekali matanya tertunduk ke layar HP dan selebihnya dia focus ke jalanan. Tak perlu waktu yang lama lalu,

“Nih, coba denger deh. Ini cocok kamu dengerin sore-sore sebagai temanmu minum teh atau kopi.”

Aku tertegun dengan ucapannya, dia mengingat kebiasaan-kebiasaanku. Dan lebih terkejut lagi ketika aku mendengarkan habis satu lagu yang dia putar, memang bagus sekali. Benar tebakan kak Rania, aku menyukainya.

“Wow… siapa kak ini? Bagus…”

Tersenyum dengan penuh kepuasan, “The Tealeaves, yang tadi kamu dengerin itu judulnya The Little Ones. Bagus kan? Aku tahu kamu pasti suka, nanti aku kasih ya.”

Aku mengangguk sambil melemparkan senyum kepadanya, sisa perjalanan ini kami lakukan dengan mendengarkan lagu-lagu dari The Tealeaves. Rasanya sedikit menenangkan hati dan pikiranku yang sedang sumpek.

“Makan disini ya,” mobil berhenti tepat disebuah tempat makan bernuansa Bali yang terletak di tempat yang lumayan tersembunyi. Untuk mencapai tempat ini harus masuk ke dalam gang beberapa kali, ini kali kedua aku kesini setelah beberapa waktu lalu kak Rania juga yang mengajakku makan disini. Ini salah satu tempat favourit kak Rania dan kawan-kawannya, kadang juga mereka rapat disini karena tempatnya yang sepi dan teduh karena ditengah tempat makan ada kolam ikan yang dikelilingi taman cantik.

Kami turun dari mobil dan masuk ke dalam tempat makan, setelah memilih tempat duduk yang dekat dengan kolam ikan dan pot besar berisi anyelir maka pelayan datang untuk mengorder pesanan kami.

“Aku nasi bakar ayam aja mas, sama es jeruk.” Kak Rania tidak perlu waktu lama untuk menentukan pesanannya, karena memang ini tempat yang biasa dia datangi untuk makan siang bersama teman-temannya.

Saat pelayan melihat kearahku, “Aku sama mas.” Lalu pelayan berwajah tirus dan bertubuh jangkung itu meninggalkan kami.

Kak Rania menyalakan rokok, “Jadi Nad balik lagi ke pembicaraan yang tadi, apa yang sebenarnya sedang menggelisahkanmu?”

Dia memang tidak begitu suka basa-basi, terkadang aku tidak siap menjawab pertanyaannya seperti sekarang. Dan aku hanya melekatkan pandanganku kebungkus rokok yang tergeletak di meja.

Tiba-tiba tangannya yang putih bersih dan berjemari lentik itu menggenggam tanganku, aku terkejut tapi juga merasa seperti ada ketenangan yang mengaliri seluruh tubuhku.

“Nad, kenapa kamu nggak jujur aja sih? Aku tahu ada yang nggak biasa, aku ngrasa ada yang sedang kamu kuatirkan, tapi aku nggak tahu persis apa itu. Jadi tolong kamu bantu aku buat memahami kegelisahanmu.”

Genggamannya dilepaskan tepat saat pelayan berada di samping meja kami untuk meletakkan dua gelas es jeruk.

“Kak, maaf ya… maaf kalau aku takut. Aku nggak tahu harus bagaimana.” Akupun terisak dan tertunduk semakin dalam.

Kak Rania menggeser duduknya lalu merangkul pundakku, “Iya nggak apa-apa, wajar saja ketika kadang kita merasa takut. Tapi apa yang kamu takutin?”

Aku berusaha berbicara ditengah isakan tangis yang sekuat mungkin aku tahan,

“Maaf ya kak aku udah berani datang ke kakak waktu itu, maaf aku memberanikan diri buat menyapamu dan mengatakan isi hatiku, tapi sekarang aku bingung kak harus bagaimana.”

Kak Rania mengusap wajahku yang basah dengan tissue sambil terus mengelus pundakku. Setelah cukup lama kupertimbangkan yang membuatku susah tidur beberapa malam ini maka kuberanikan diri mengatakannya sekarang,

“Aku tahu aku jatuh cinta sama kakak dan itu yang sejujurnya kurasain, tapi aku takut kak. Aku takut kalau greja sampai tahu, bukan cuman karena aku mengkhawatirkan pekerjaanku, tapi aku juga takut jika nanti aku nggak bisa lagi diterima disana. Aku harus gimana kak?? Kita harus gimana??”

“Lho, memangnya ada yang mencurigai kedekatan kita? Ada yang tanya sama kamu tentang hubungan kita?”

Aku hanya terdiam, memang sampai saat ini sepertinya belum ada yang mempertanyakan kedekatanku dengan kak Rania. Tapi jujur saja aku takut jika ternyata sudah ada pembicaraan dibelakangku. Sejak kedekatan kami 2 bulan lalu, kak Rania jadi sering datang beribadah di gereja. Belum lagi kami sering nonton atau makan bersama dan beberapa kali berjumpa dengan jemaat gereja ketika sedang jalan.

“Belum ada sih kak, cuman aku nggak tahu juga. Beberapa hari lalu waktu aku dan kak Lukman makan diluar, dia sempat tanya-tanya tentang kakak. Ya, cuman tanya hal-hal umum tentang kakak sih, dan nggak yang sampai tanya macem-macem, cuman aku ngrasa kalau ada yang tanya tentang kakak rasanya aku takut. Aku takut mereka tahu…”

Pesanan kami datang, kak Rania kembali ke posisi duduknya yang semula kemudian mematikan puntung rokoknya yang lunglai di asbak. Sambil terus memandangiku dia melemparkan senyum manisnya, agaknya dia ingin menenangkanku.

“Nad, semuanya jangan dipaksakan. Jika memang kamu ngrasa nggak nyaman dengan kedekatan kita ya sudah, atau bagaimana? Kita berhenti saja?Mumpung belum terlanjur jauh. Kamu jangan salah mengartikan ya, aku juga sayang sama kamu tapi aku nggak mau kalau hubungan ini menyakitimu.”

Dalam isakanku, hanya satu kata yang mampu kuucapkan berulang-ulang, “Maaf… maaf…”

Kak Rania mengelus punggung tanganku, lalu mengajakku makan. Akupun menghapus air mata yang membanjiri wajah, meneguk es jeruk sembari mengatur perasaanku. Kak Rania sudah mulai menyantap makanannya, tak berapa lama akupun menyantap makanan dihadapanku. Kami makan seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Setelah selesai makan dan menghabiskan sebatang rokok, kak Rania mengajakku meninggalkan tempat ini. Aku ikut saja tanpa banyak bicara maupun bertanya. Kami tidak terlibat pembicaraan cukup lama, hanya saling diam dan terasa penuh keresahan.

Tiba-tiba mobil berhenti di depan Alfamart, kak Rania turun dan memintaku tetap di dalam mobil. Aku melihat kak Rania mondar-mandir di dalam Alfamart, entah apa yang dibelinya, kemudian menuju kasir untuk membayar dan kembali ke mobil.

“Ice cream…” disodorkannya ice cream magnum dihadapanku.

“Trimaksih,” segera kunikmati ice cream itu.

Mobil kembali melaju,

“Nadia, kamu jangan sedih lagi ya, jangan kuatir lagi.” Dari suaranya yang sedikit bergetar, aku merasakan kak Rania menahan sesuatu di dalam hatinya.

“Kaak…” aku memandangnya.

Dia hanya tersenyum, lalu tiba-tiba kulihat air bening mengalir dari balik kacamata hitam menuruni pipinya yang kemerahan karena sengatan panas,

“Nggak apa-apa Nad, nggak apa-apa. Jadi bagaimana, kita sudahi saja Nad toh kita juga belum jadian.”

“Aku akan memikirkannya lagi kak, sejujurnya aku nggak mau berhenti karena aku bener-bener cinta sama kakak. Tapi di sisi lain aku ngerasa belum siap. Aku terlalu takut kak, maaf.”

“Jangan minta maaf lagi, ini bukan salah siapa-siapa Nad. Oke, sepertinya kamu perlu waktu sendiri dulu begitu juga aku.”

“Tapi kak,”

“Kita cari tahu dulu apa yang bener-bener kita mau lakukan, kita pikirkan matang-matang lagi tentang kelanjutan hubungan kita. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa Nad sekarang. Kedepannya bagaimana juga aku nggak tahu, aku cuma nggak mau kamu terpaksa . Tapi kalau memang kedepannya kita mau sama-sama, kita juga harus mikirin cara supaya posisi kamu nggak sulit. Kita sendiri-sendiri dulu ya.”

Aku rasa ada segurat kepiluan menusuk hatiku, dadaku sesak dan rasanya ingin meledak. Sebelah hatiku tak bisa mendustai rasa cinta yang mulai tumbuh, namun sebelah hati lagi aku bergulat dengan situasi yang memaksaku rubuh. Melepasnya begitu menyakitkan namun untuk menggenggamnyapun aku tak punya keberanian.

 

Aku semakin tua

Menjadi rapuh       

Tak sanggup menopang hidupku sendiri

Hingga akhirnya akan layu

Kering dan tertiup angin

(Batin)

           

 

Bersambung…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top