Catatan dari Mesir: Sejarah dan Tantangan Advokasi Internasional Hak Seksual

Peacemaker yang budiman,

Beberapa waktu lalu, Sekretaris Nasional YIFoS, Yulia Dwi Andriyanti yang biasa disapa Edith, berkesempatan melakukan kunjungan ke Mesir dalam rangka mengikuti 5th CSBR Sexuality Institute 2012 yang diselenggarakan oleh Coalition on Sexual and Body Rights for Muslim Societies.

Untuk itu Edith ingin berbagi pengalamannya dalam tulisan berikut ini.

 

Sejarah dan Tantangan Advokasi Internasional Hak Seksual

Di salah satu sesi yang saya ikuti dari proses pembelajaran di CSBR (Coalition on Sexual and Body Rights) for Muslim Societies adalah mengenai advokasi internasional mengenai hak seksual dimulai dan berkembang. Hal ini menarik untuk dibahas karena akan membawa kita untuk menelusuri tentang anggapan yang muncul bahwa perjuangan hak seksual identik dengan nilai dan budaya ‘Barat‘ dan serta merta bertentangan dengan budaya ‘Timur‘ yang lekat dengan nilai religius dan moral.

Terbukanya ruang untuk membahas isu terkait dengan keamanan manusia bukan lagi menengenai keamanan negara dimulai pada era 1990an dimana PBB mulai mengadakan berbagai konferensi internasional. Melalui konferensi internasional membuat berbagai kelompok masyarakat sipil berpartisipasi dalam membentuk taaanan tertentu di level internasional.

Advokasi hak seksual dimulai pada Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Vienna pada 1993. Ini merupakan instrumen internasional pertama mengenai hak asasi manuaia yang mereferensikan secara eksplisit terkait seksualitas. Deklarasi Vienna seeya Programme of Action diadopsi secara konsensus di konferensi tersebut. Dalam deklarasi ini meminta negara-negara untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender dan segala bentuk pelecehan seksual dan eksploitasi (paragraf 18) termasuk perdagangan perempuan perkosaan sebagai senjata perang dan kehamilan yang dipaksakan (paragraf 38).

Setahun kemudian ide tentang hak seksual pertama kali muncul awbagai agenda internasional selama persiapan International Conference on Population and Development (ICPD) PBB yang diadakan di Kairo. Namun istilah hak seksual ini tidak mencapai konsensus akhir dalam dokumen konferensi yakni ICPD Programme of Action (PoA). Konsensus yang diterima adalah istilah ’hak-hak reproduksi’ sementara istilah ‘hak-hak seksual’ dianggap memprovokasi dan menghasilkan banyak kontroversi.

Meskipun begitu ICPD PoA memuat poin-poin penting mengenai gender dan seksualitas. Salah satunya adalah mengakui keterkaitan antara gender dan seksualitas dengan dinyatakan sebagai berikut: ‘Human sexuality and gender relation are closely interrelated and together affect the ability of men and women to achieve and maintain sexual health and manage their reproductives lives’.

Perkembangan signifikan lain dalam ICPD PoA adalah untuk pertama kalinya disebutkan bahwa tidak hanya keamanan͵ kesehatan dan kesetaraan merupakan hal relevan terkait seksualitas melainkan juga menegaskan bahwa seks juga bersifat memuaskan. Hal ini dinyatakan dalam paragraf 7.2 sebagai berikut ‘Reproductive health is a state of complete physical mental and social well being and not merely the absence of disease or infirmity… Reproductive health therefore implies that people are able to have a satisfying and safe sex life and that they have the capability to reproduce and freedom to decide if͵ when and how often to do so… it also includes sexual health  the purpose of which is the enchancement of life and personal relation…

Pada tahun 1995 hak-hak seksual kembali menjadi topik peedebatan utama pada Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing. Aliansi dari delegasi Muslim dan Katolik konservatif dengan tegas menolak istilah tersebut. Seksualitas khusuanya orientasi seksual kontrol perempuan terhadap tubuh serta aborsi menjadi isu kontroversi dalam konferensi tersebut. Berkebalikan dari sorotan pers dan delegasi oposisi advokasi terkait hak seksual ini datang dari para feminis nagara-negara Selatan. Sebagai hasilnya paragraf 96 berikut ini disimpulkan dalam Beijing Platform of Action: ‘The human rights of women include their right to have control over and decide freely and responsibly on matters related to their sexuality including sexual and reproductive health free of coercion discrimination and violence. Equal relationships between women and men on matters of sexual relations and reproduction including full respect for the integrity of the person require mutual respect consent and shared responsibility for sexual behavior and its consequences.

Kemunculan gerakan perempuan nasional serta proses lobi terhadap delegasi formal berpern penting dalam mengubah perilaku dari negara tertentu. Ini ditunjukkan dalam Konferensi Beijing+5 pada tahun 2000 dimana Turki sebagai negara yang didominasi Muslim menjadi pendukung hak-hak seksual untuk pertama kali dan memegang peran penting terhadap inklusi terkait dengan perkosaan dalam pernikahan kejahatan atas nama kehormatan (honour crime) dan pernikahan paksa menjadi hasil dari dokumen ini.

Sejalan dengan perkembangan politik khususnya terkait dengan ketegangan antara dunia Muslim dan Barat paska serangan teror 9/11 dan invasi besar-besaran ke Irak berdampak pada perseteruan terhadap perjuangan hak seksual dan kesetaraan gender. Salah satunya adalah munculnya pandangan bahwa hal seksual bukan meeupakan bagian dari budaya negara-negara Muslim serta negara-negara Selatan. Hal ini ditunjukkan mulai dari legitimasi sunat perempuan sebagai bagian dari tradisi Islam hingga anggapan bahwa homoseksualitas merupakan praktik yang diimpor dari ‘Barat’.

Sejak tahun 2001 tantangan tidak hanya berasal dari kelompok agama konservatif melainkan juga melalui administrasi pemerintahan Amerika Serikat – yang kerapkali dianggap sebagai perwakilan ‘Barat’ – yang berlawanan dengan hak perempuan serta hak reproduksi ikut menentukan perjanjian yang dibuat di berbagai konferensi internasional. Hal ini terlihat dalam bagaimana administrasi Bush mengatur pemberian dana terkait HIV/AIDS. Untuk menerima dana tersebut organisasi harus memenuhi persyaratan yakni menerapkan strategi ABC (Abstain Be faithful use Condoms) dengan 33% dana dipakai untuk mempromosikan abstinen sebelum pernikahan mengutuk prostitusi serta ’Global Gag Rule’ (organisasi yang menyediakan layanan aborsi atau informasi tentang layanan aborsi tidak akan menerima dana).

Sejarah advokasi internasional terhadap hak seksual menunjukkan bahwa tantangan serta oposisi tidak mengenal konteks ‘Barat’ dan ‘Islam’ maupun negara Selatan dan Utara melainkan terkait dengan bagaimana negara dan agama menunjukkan kontrolnya terhadap tubuh dalam rangka legitimasi kekuasaan͵ baik sebagai entitas yang ‘beradab’ maupun ‘bermoral’.

 

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top