Oleh: Suranto S.Ag., M.A
Peradaban manusia saat ini dapat dikatakan semakin maju dalam ranah ilmu pengetahuan dan gagasan tentang kehidupan manusia itu sendiri. Berbagai penemuan tentang tabir atau ilmu yang terkandung dalam alam semesta ini semakin kompleks dan tak ternilai harganya. Kondisi ini sejajar dengan permasalahan yang dihadapi manusia yang semakin kompleks pula. Kompleksitas permasalahan manusia yang hadir tidak hanya pada ranah ekonomi, politik, agama, maupun sosial budaya saja, melainkan pada ranah keberadaan identitas manusia itu sendiri.
Penggolongan manusia tidak lantas hanya pada ranah status social, gender, agama, ras, suku, dan bangsa, tetapi sudah masuk pada ranah yang personal yaitu tentang orientasi seksual. Berdasarkan konteks dan kompleksitas manusia itu sendiri, saat ini muncul berbagai penggolongan manusia berdasarkan orientasi seksual. Kondisi ini yang tidak dapat dipungkiri pada era modern telah berkembang isu maupun fenomena mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, maupun transgender (LGBT).
Meskipun kondisi tersebut sebenarnya telah berkembang dan ada keberadaannya sejak dahulu kala, tetapi tingkat kekerasan dan justifikasi tidak normal mulai gencar disoroti di era ini. Sebagai contoh kondisi tersebut mulai diwacanakan dan digeluti di Indonesia bahwa keberadaan LGBT tidak dapat dipungkiri lagi. Sering terjadi penilaian yang tidak proporsional terhadap keberadaan LGBT dan bahkan dipandang sebelah mata. Termasuk berbagai kasus dan fenomena yang terjadi di Indonesia di akhir-akhir ini yang pembahasannya sampai pada pihak pemerintah dan masyarakat terkait dengan regulasinya.
Keberadaan LGBT sering kali mendapat sorotan sebagai kondisi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan normatif masyarakat Indonesia. Kungkungan normal dan tidak normal tersebut yang menjadi daya dorong untuk menghakimi para LGBT dengan berbagai kekerasan. Kungkungan tersebut tidak lepas dari paradigma agama yang menjadi dasar penilaian keberadaan LGBT. Kita dapat merasakan perbedaan situasi di negara barat seperti di Amerika dan Eropa mengenai LGBT yang telah memberikan ruang dan kesempatan terhadap LGBT. Berbeda dengan situasi di Indonesia yang masih gamang memberikan kesempatan pada kalangan LGBT baik di ranah sosial, agama, maupun masyarakat.
Kondisi saat ini, agama dan budaya sosial yang telah memberikan justifikasi yang cukup kuat mengenai keberadaan LGBT. Agama dan masyarakat cenderung memberikan dasar penolakan yang kadang tanpa landasan yang kuat dan mungkin kontroversi. Agama kadang bersifat ambigu, di sisi lain memberikan perlindungan atas kesetaraan ciptaan Tuhan, tetapi di lain sisi dapat menjadi landasan untuk justifikasi keberadaan LGBT sebagai kondisi yang tidak normal. Muncul pertanyaan di sini, apa yang sebenarnya diajarkan agama? Bukankah agama menjadi instrument penyejuk kehidupan manusia?
Kondisi ini menjadi tantangan para agamawan untuk memberikan catatan terhadap penyelesaian masalah ini, termasuk Buddhisme yang telah berkembang dalam masyarakat yang multidimensi ini. Bagaimana respon Buddhisme dalam melihat kasus LGBT? Apa yang dapat ditawarkan Buddhisme dalam menyikapi kondisi ini? Maka dari itu, pada tulisan ini saya akan menjelaskan mengenai respon Buddhisme dalam menghadapi kasus LGBT.
Pada dasarnya kalangan LGBT sama-sama sebagai manusia yang menjadi bagian dari alam semesta ini yang menginginkan kebahagiaan dalam kehidupannya. Sebelum saya merespon mengenai LGBT secara spesifik, saya akan memberikan ulasan mengenai manusia dalam paradigma Buddhisme. Secara etimologi Buddhisme, kata manusia berasal dari bahasa Pali (bahasa kita suci Agama Buddha yang digunakan penyusunan kitab suci Tipitaka).
Manusia berasal dari dua kata yaitu Mano dan ssa. Mano sesuai dengan kamus bahasa Pali berarti pikiran, dan ssa ini merupankan tanda yang menunjukkan kasus “milik” atau kepemilikan. Jadi secara mendasar manusia berarti makhluk yang memiliki pikiran atau kemampuan berpikir. Dalam konteks ini, Buddhisme memahami pikiran adalah yang penting dalam melihat fenomena.
Pentingnya pikiran dalam paradigm Buddhisme disebutkan bahwa pikiran adalah pelopor dari segala hal. Ketika pikiran bebas dari kebencian, maka ucapan dan perbuatan yang dilakukan akan bebas dari kebencian. Ketika pikiran bebas dari ketamakan dan keserakahan, begitu juga hal yang dilakukan melalui ucapan dan perbuatan akan terbebas dari ketamakan dan keserakahan. Oleh karena itu, Buddha menandaskan bahwa untuk dapat melatih dan mengedalikan pikiran agar terbebas dari rasa benci, serakah, dan ketamakan.
Penting bagi kita untuk melihat manusia sebagai manusia atau yang sering disampaikan memanusiakan manusia. Dasar yang kuat dalam usaha memanusiakan manusia tidak terlepas dari unsure yang membentuk manusia adalah sama. Unsur tersebut terdiri dari unsur kesadaran (vinnana), unsur perasaan (vedana), unsur bentuk-bentuk pikiran (sankhara), unsur pencerapan (sanna), dan unsur jasmani (rupa).
Kelompok kehidupan ini yang sering disebut pancakhanda atau lima unsur kehidupan. Termasuk seksualitas tersebut bagian dari reaksi batin dan jasmani. Seksual orientasi hanya bagian dari perasaan yang muncul dalam manusia karena adanya reaksi dari jasmani terhadap kontak indriya yang diliputi nafsu keinginan. Seks merupakan ekspresi dari nafsu keinginan (Wily Wijaya, 2007. Buddhisme dan Seksualitas [i]. Buddhisme tidak membedakan manusia berdasarkan kondisi ini, tetapi baik dan buruknya manusia akan dinilai dari perbuatannya.
Maka dari itu, unsur orientasi seksual yang kemudian muncul klasifikasi LGBT bukan menjadi masalah yang krusial dalam ranah sosial spiritual Buddhisme. Begitu juga, memanusiakan manusia dilihat dari unsur dasar dan hak kewajiban manusia yang mendambakan kehidupannya untuk bahagia. Tidak ada satu manusia di dunia ini menginginkan kehidupannya menderita. Atas dasar ini, Buddha mengajarkan ajaran universal mengenai metta (cinta kasih tanpa batas). Berdasarkan ajaran inilah, kita tidak selayaknya menjustifikasi manusia hanya berdasarkan orientasi seksual yang kemudian dikenal dengan kalangan LGBT. Sebelum jauh membahas LGBT dan Buddhisme, kita perlu melihat manusia dan seksualitas dalam paradigma Buddhisme.
Catatan Kaki:
[i] Wily Yandi Wijaya, 2007. Buddhisme dan Seksualitas. Yogyakarta: Vidyasena Insight.