LGBT dan Kriminalisasi di Indonesia

LISTENING YOU kedua diikuti oleh 27 peserta. Pertemuan kedua ini membahas kriminalisasi LGBT di Indonesia. Narasumber berasal dari Insitute for Criminal Justice Reform dan Transvoice; komunitas transpuan Bogor yang salah satu fokusnya mendokumentasi kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok transpuan. Narasumber menjelaskan bahwa banyak kasus kekerasan dan persekusi yang dialami oleh komunitas transpuan, yang dilakukan oleh aparatur negara dan organisasi masyarakat.

Oleh karena itu, guna mengubah situasi ini, narasumber lainnya mengucapkan bahwa kerja advokasi untuk mendekriminalisasi teman-teman LGBT di Indonesia harus dilakukan secara kolektif dan terus menerus. Harus lebih banyak orang yang bicara atas nama keadilan dan kemanusiaan. Jika memang tidak bekerja sebagai aktivis di NGO, semua orang dapat kerja advokasi dari lingkup terkecil. Misalnya, jika seseorang punya pacar yang homopobik, semua orang bisa mengadvokasi pasangannya; ceritakan padanya bahwa Anda berteman baik dengan seorang transpuan, orang-orang LGBT, dan tidak ada yang berubah dari diri Anda. Selain itu, diskusi juga membahas tentang cara kita mengembangkan narasi-narasi penghargaan akan keberagaman di berbagai kesempatan.

 Teman bincang memberikan kesempatan peserta untuk menyampaikan refleksinya. Peserta pertama mengulang penjelasan narasumber bahwa aktivitas di ranah privat yang tidak bisa dipidanakan. Peserta berefleksi tentang kejadian penggrebekan yang dilakukan oleh aparat kepada sekumpulan orang yang melakukan pesta di ranah privat. Sayangnya banyak komunitas LGBTIQ menyalahkan korban.

Hal ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa masih kurangnya kesadaran pengetahuan hukum dari komunitas LGBTIQ sendiri, sehingga tidak memahami hak-hak yang dimiliki oleh dirinya sebagai warga negara. Peserta kedua mengungkapkan bahwa dirinya merasa sangat nyaman dan merasa aman mendengarkan penjelasan hukum dari pembicara. Tapi sayangnya, faktanya di lapangan masih banyak terjadi kekerasan dan intimidasi di masyarakat, yang diterima oleh komunitas LGBTIQ. Peserta setuju dengan pembicara bahwa kita tidak di level toleransi, akan tetapi di level apresiasi terhadap keragaman seksualitas tersebut.

Peserta ketiga menyampaikan keprihatinannya atas apa yang kerap terjadi dialami oleh komunitas LGBTIQ. Peserta keempat prihatin dengan apa yang dipertontonkan oleh Net TV dalam program 86 yang kerap menyajikan cirta buruk dan persekusi LGBTIQ di masyarakat. Peserta kelima menceritakan tentang pengalamannya memberikan pelatihan tentang gender, masyarakat (kader posyandu) rata-rata ketika ditanya; apa yang kamu ketahui tentang gender? Mereka banyak menjawab: LGBT.

Di kalangan dinas dan pemerintahan juga kerap mengatakan bahwa peserta mau melatih soal LGBT, ketika peserta hendak membawa sesi tentang gender. Oleh karena itu peserta merasa harus menyiapkan diri untuk memperdalam isu seputar LGBTIQ, karena ia sangat sadar bahwa isu transgender juga bagian dari isu gender. “Ya, transgender bagian dari isu gender, sehingga kita tidak boleh melakukan kekerasan dan diskriminasi” Ini yang diucapkan oleh peserta ketika ada rekan kerjanya bertanya tentang gender. Peserta juga bercerita ketika ia memberikan pelatihan tentang gender, satu peserta bahkan ada yang walk out. Peserta lain pernah berkata kepadanya, jika bicara di Jawa Barat, tidak strategis menggunakan terminologi gender atau feminisme, namun lebih baik menggunakan ramah anak, ramah keluarga, dan ramah difabel. Oleh karena itu, penggunaan isu sangat penting untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat.

Teman bincang menutup dengan harapan agar seluruh peserta yang hadir dapat menjadi duta-duta perdamaian di lingkungan sekitar mereka, dan menghargai nilai-nilai yang mengapresiasi keberagaman seksualitas (MHN, Yifos Indonesia)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top