Kegiatan ini diadakan di Auditorium IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Walisongo Semarang dengan dihadiri oleh hampir 100 peserta dari mahasiswa IAIN dimana YIFoS bekerjasama dengan Komisariat PMII (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia) Walisongo, LAKW (Lembaga Advokasi Kemahasiswaan Walisongo) dan KSMW (Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo) IAIN Semarang. Dalam acara bedah buku ini menghadirkan Shuniyya Ruhama Habiballah, seorang waria yang komitmen dalam menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya, termasuk dalam mempertahankan jilbabnya.
Setelah bedah buku, diskusi kecil digelar dengan menghadirkan dosen dari IAIN Semarang, Tedy Kholiludin, M.Si, yang menjelaskan tentang homoseksualitas dari perspektif Islam. Tedy adalah salah satu penulis dalam Jurnal Justisia tahun 2003 tentang “Indahnya kawin sesame jenis” yang sempat menggegerkan kampus IAIN pada waktu itu sehingga ia sempat dianggap sebagai bagian dari JIL (Jaringan Islam Liberal). Menurut Tedy, diskursus homoseksual masuk ke dalam studi Islam yaitu melalui perspektif kultural, bahkan sebelum Islam masuk yakni pada tradisi bugis pra-Islam yakni tradisi bissu dan reog ponorogo. Tedy pun mengatakan, mengutip yang dijelaskan Boelstroff bahwa menjadi gay dan muslim di Indonesia adalah incommensurability, yakni tidak dapat disebandingkan walaupun dalam penelitian Tom, ia menemukan ruang bersama untuk menjadi gay dan muslim di Indonesia, yakni dalam tradisi gay slametan – tradisi slametan yang dirayakan oleh para gay.
Namun dari Tinjauan Islam, yang memang mewarisi tradisi yahudi, ketika masuk ke fiqh menjadi agak sulit karena hanya ada istilah khuntsa (waria) dan liwath (anal seks). Sedangkan homoseksual yang ada saat ini, bukan dipahami sebagai perilaku seksual melainkan juga adalah orientasi seksual, bahkan identitas seksual. Disamping itu, dalam Islam terdapat hukum berpasang-pasangan yang menjadi landasan pernikahan sehingga praktik homoseksual pun dinilai sebagai perbuatan yang keji karena dianggap keluar dari kodrat kemanusiaan. Namun Tedy juga mengatakan bahwa beberapa ilmuwan Islam di Indonesia seperti Ibu Musdah Mulia melihat homoseksualitas dari perspektif kemanusiaan dimana ia mengatakan bahwa ukuran dekat dengan Tuhan adalah bukan pada seseorang tersebut homoseksual ataupun heteroseksual, melainkan karena ketakwaannya.
Selain itu, Rony Chandra Kristanto, M.Th dari Pondok Damai, sebuah komunitas lintas iman di Semarang juga berbicara mengenai perpektif Kristen mengenai homoseksualitas. Ia memulai dengan menyampaikan bahwa dalam iman Kristen, rohani manusia lebih tinggi dari pada tubuh jasmani, walaupun ketika berbicara tentang seksualitas tidak pernah diungkap secara jelas. Namun begitu, seksualitas juga digunakan sebagai simbol antara hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ketika membaca teks injil secara literal, maka semuanya akan menentang LGBT. Ayat-ayat yang kerap kali dipakai adalah misalnya dalam Imamat 30:13 serta kisah sodom dan gomorrah dalam Kejadian 11 : 1-9. Namun dalam kisah sodom dan gomorrah, permasalahannya adalah bukan karena homoseksualitas, namun karena tidak memperlakukan orang asing dengan baik. Dalam ayat yang lain, misalnya Hakim-hakim 19 :1-21, hukuman diberikan kepada kaum tersebut bukan karena homoseksualitasnya. Ketika berhadapan dengan teks-teks tersebut, maka homoseksualitas masih menjadi hal yang dinilai ”dosa”. Namun ada pendekatan lain yang dapat dipakai untuk melihat konteks homoseksualitas dari agama, yakni lewat pendekatan teologis, yakni dengan melihat wacana kekiniaan (perkembangan ilmu pengetahuan) dan konteks budaya dan sosiologisnya (aspek kultural, misalnya kisah serat centhini yang merupakan kitab kuno Jawa yang mengksplor banyak mengenai seksualitas). Disamping itu pendekatan lain yang dapat digunakan adalah melalui pastoral konseling, yakni bagaimana mengasihi dan mendampingi sesama manusia.
@Semarang 8 Juni 2010