Oleh: Pdt. Markus Hadinata & Pdt. Martgaretha Santyaninta
18 Juni 2018 adalah hari bersejarah bagi transgender, juga bagi tegaknya keadilan atas akses kesehatan untuk semua. Pasalnya, pada momentum itu, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, menghapus klasifikasi transgender sebagai penyakit mental. Secara praktis, keputusan tersebut harusnya menghilangkan stigma yang berlarut-larut kepada individu dan komunitas trangender di manapun berada, termasuk di Indonesia. Lantas, bagaimana nilai agama melihat realitas transgender saat ini?Estimasi Baca: 10 Menit
Transgender di kalangan masyarakat kita kadung dianggap dengan sebutan Waria, Wanita-pria. Istilah yang sejatinya bukan tanpa masalah: ia memberi sinyal stigmatik bahwa Waria adalah pengamen jalanan, yang bisa ditemui di dekat lampu BangJo (Lampu merah) atau di pinggir-pinggir jalan dengan riasan tebal di wajah mereka dan pakaian wanita yang terkadang lucu jika mereka kenakan. Ketika lampu BangJo berwarna merah, dengan ceria dan gaya centil, mereka menyanyikan lagu dari satu kendaraan ke kendaran lain untuk mendapatkan uang.
Seperti kita ketahui bersama, transgender seringkali diejek, diremehkan dan ditolak oleh masyarakat, bahkan mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari masyarakat ataupun pemerintah karena identitas dan ekspresi gendernya. Baik masyarakat maupun pemerintah belum bisa menerima mereka sebagai manusia seutuhnya. Karena tidak adanya penerimaan baik dari masyarakat ataupun pemerintah, para transgender mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan ataupun untuk bisa bergabung dalam masyarakat.
Meskipun ada beberapa transgeder yang sukses dalam hidup mereka, seperti contohnya: Dorce, Tata Dado, Afi naïf, Merlyn Sopjan, dll. Tetapi berapa banyak transgender yang mempunyai kesempatan seperti yang mereka alami? Kebanyakan transgeder mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah, hal ini disebabkan karena mereka berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Karena kesulitan mendapatkan pekerjaan, akhirnya profesi sebagai waria pengamen menjadi pilihan yang terpaksa dijalani karena situasi dan kondisi yang mendesak dan memaksa para waria sehingga mereka bisa menyambung hidup.
Kehidupan dan Pergumulan yang dihadapi oleh Trangender
Seseorang yang dengan berani menunjukkan jati dirinya sebagai seorang transgeder dalam masyarakat bukan karena orang ini mempunyai kelainan, penyakit, ataupun kutukan tapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang memutuskan untuk menjadi transgender. Ada tiga faktor penyebabnya menurut pandangan penulis, yaitu: Pertama, faktor Biologis. Seseorang yang lahir tapi karena ketidakseimbangan jenis hormon-hormon yang berhubungan dengan orientasi seksual. Hal ini didasarkan pada kenyataan akan sukarnya perasaan dan perilaku waria yang dirubah baik melalu terapi, dengan ancaman, ataupun tekanan. Menurut Baron Richard Van Krafft Ebing, seorang neurologi Jerman berpendapat bahwa orang dapat menjadi Homofilia. Homofilia berasal dari kata homo yang berarti sama, dan filia yang berarti cinta. Homofilia adalah seseorang yang mencintai sesama jenis. (transgeder) karena dilahirkan demikian, namun juga karena pengaruh dari luar.
Kedua, Faktor Psikologis. Menurut Frank. S. Caprio, ahli seksologi, beranggapan Homofilia (Transgender) bukan diwarisi dan juga bukan merupakan suatu penyakit, karena hal ini terjadi disebabkan oleh faktor psikis bukan fisik. Misalnya: dalam sebuah keluarga, salah satu orang tua (ayah atau ibu) lebih dominan, atau adanya keretakan hubungan antara ayah dan ibu, yang membuat anak trauma sehingga menjadi heterofobia, takut berhubungan dengan lawan jenis. (Pdt. H. Soekahar, BTh, 1987)
Ketiga, Adanya Pengaruh Pendidikan atau Lingkungan. Kurt Van Ryder berpendapat bahwa semula keinginan manusia tidak menentukan dan tidak ditujukan secara spesifik pada laki-laki atau perempuan. Keinginan ini harus dibimbing ke arah yang tepat (D.J.West, dalam buku Homosexuality). Misalnya: karena ingin mempunyai anak perempuan tapi yang lahir ternyata laki-laki. Karena keinginan punya anak perempuan, maka anak laki-laki ini dibentuk atau dididik keluarga sebagai seorang perempuan. Demikian juga sebaliknya.
Setelah melakukan wawancara dengan komunitas yang berada di dekat kampus UKDW Yogyakarta, kami memiliki pandangan, yang secara subyektif, kami lihat ada dua klasifikasi. Pertama, adalah transgender yang memutuskan menjadi transgender karena adanya salah satu, dua atau ketiga faktor penyebab yang telah dijelaskan di atas. Tipe kedua adalah seseorang yang memilih menjadi transgender sebagai sebuah profesi karena mencari pekerjaan untuk menyambung hidup pada masa sekarang ini adalah sulit. Maksudnya adalah menjadi transgender sementara saja ketika bekerja menjadi pengamen, setelah selesai bekerja kembali lagi menjadi laki-laki.
Berdasarkan hasil wawancara, kami menemukan bahwa keberanian menunjukkan dirinya menjadi transgender diambil karena ketiga faktor yang telah kami kemukakan diatas. Misalnya: mbak R, lahir dengan kelamin laki-laki tapi sejak kecil sudah merasa diri sebagai perempuan (faktor biologis). Ada juga yang menjadi transgender karena pengaruh lingkungan yang membentuknya, Mba I yang lahir dengan kelamin laki-laki tapi sejak kecil keluarga membentuknya menjadi seorang perempuan (diikutkan seni tari, didandani perempuan).
Keputusan menjadi transgender adalah sebuah keberanian karena berani menunjukkan jati diri yang sebenarnya tanpa harus berpura-pura. Tapi pada kenyataannya keberanian komunitas transgender ini tidak disambut dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah, sehingga mereka menjalani profesi sebagai waria pengamen di sekitar kampus untuk menyambung hidup. Sebenarnya para transgender ini ingin bekerja normal, dalam arti bekerja di perkantoran atau di pertokoan, tapi untuk bisa bekerja di kantor, perusahaan, pertokoan, ataupun menjadi seorang pegawai negeri sipil untuk saat ini hanyalah sebuah mimpi atau hal yang mustahil untuk terjadi. Hal ini disebabkan karena kebanyakan orang sibuk menilai tampilan luar, sibuk berdebat “Mau ditulis apa kelaminnya?”, orang masih sibuk berspekulasi tentang banyak hal dan tidak pernah mencari kebenarannya. Jika kemudian akhirnya transgender banyak yang menjadi pekerja seks, hal ini disebabkan karena waria harus bertahan hidup, sedangkan kesempatan bagi mereka untuk berkarya selalu tertutup.
Ketika ditanya kepada para transgender mengenai harapan untuk masa depan, mereka berharap tidak selamanya menjalani profesi sebagai waria yang mengamen di jalanan. Mereka juga mempunyai keinginan supaya jati diri mereka sebagai waria dihargai dan mendapatkan perlakuan yang sama, dalam arti tidak dianggap sebagai kelompok pinggiran atau kelompok yang dianggap remeh oleh masyarakat. Harapan akan adanya kesempatan yang diberikan kepada para waria untuk menunjukkan dan mengembangkan kemampuan atau potensi mereka.
Dengan munculnya kesempatan dan penghargaan, para transgender ini mengharapkan dapat memperoleh jenis pekerjaan yang lebih layak dan tidak lagi harus mengamen di jalanan. Ada juga waria yang mempunyai harapan atau cita-cita yang mulia dimasa depan, yaitu tidak ada lagi anak-anak yang harus mencari nafkah di jalanan karena kehidupan di jalanan sangat keras. Cita-citanya adalah mendirikan semacam panti asuhan untuk mengurus anak-anak jalanan agar mereka dapat tetap bersekolah dan akhirnya dapat memperoleh pekerjaan serta kehidupan yang layak.
Ada kelompok transgender yang memilih profesi sebagai waria sementara disebabkan karena dikeluarkan dari pekerjaannya dahulu. Jadi, profesi yang dijalani sebagai waria pengamen saat ini merupakan pilihan yang terpaksa harus dijalani karena sulitnya memperoleh pekerjaan yang baru. Dibandingkan hanya dengan menjadi pengamen jalanan biasa, dirinya memilih menjadi waria karena asumsi bahwa dengan menjadi waria dirinya dapat memperoleh lebih banyak penghasilan dibandingkan dengan pengamen jalanan biasa. Lalu ada juga yang terpaksa menjalani profesi sebagai seorang waria pengamen, karena tidak ingin membebani orang lain, terutama keluarganya.
Hal ini disebabkan karena tidak memiliki ijasah dan tanda pengenal. Ijasah dan tanda pengenalnya dicuri ketika dirinya sedang melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api. Dengan kondisi seperti itu, amatlah sulit untuk dapat melamar pekerjaan ke suatu instansi atau perusahaan tertentu. Ada juga mengaku bahwa dirinya baru menjalani profesi sebagai waria dalam waktu satu bulan. Sebelumnya ia mencari nafkah dengan berdagang mie ayam, namun karena dirinya terus merugi ketika berdagang mie ayam, maka ia terpaksa memilih profesi sebagai waria.
Konsep tentang Tuhan bagi para transgender berbeda-beda satu dengan yang lain, seperti misalnya ada yang mengutarakan bahwa dirinya menerima keadaannya saat ini, dan tidak menyalahkan Tuhan atas keberadaan dirinya yang terlahir demikian. Ada waria yang mengatakan bahwa Tuhan itu adil. Adil disini dalam arti bahwa Tuhan masih berkenan memberikan rejeki kepadanya dari profesi yang dijalaninya saat ini. Beberapa waria mengungkapkan bahwa apapun profesi yang dijalani asal tidak merugikan orang lain, maka Tuhan pasti akan memberikan rahmatnya.
Ada transgender yang mengungkapkan bahwa Tuhan itu baik, dirinya percaya bahwa Tuhan senantiasa menyertainya. Pendapat waria lainnya adalah hidup ini bukanlah pilihan, tapi kebesaran Tuhan karena ketika kita mau lahir tidak diberi kesempatan untuk memilih apa jenis kelamin kita. Maksud kebesaran Tuhan di sini adalah Tuhan yang menentukan apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya, kita ini hanyalah sebagai wayang yang dalam menjalani hidup tergantung dari sang dalang mau melakonkan kita sebagai apa. Salah seorang transgender dalam bukunya mengungkapkan,“Dengan alat kelamin laki-laki saya hidup sebagai perempuan, hal ini adalah sebuah pemberian yang spesial karena tidak semua orang memiliki hidup yang sama dan luar biasa seperti yang dimiliki seorang waria (Merlyn Sopjan, 2005)
Terdapat kesamaan diantara para transgender tipe pertama dan kedua, yaitu bahwa profesi sebagai waria pengamen merupakan profesi yang sebenarnya tidak ingin mereka jalani. Profesi sebagai waria pengamen dipilih karena keadaan dan kondisi yang memaksa diri mereka untuk menjadi waria pengamen. Sulitnya memperoleh pekerjaan, pandangan masyarakat terhadap kaum miskin, dan ketiadaan akses untuk mendapat pekerjaan yang baik membuat mereka terpaksa menjalani profesi sebagai waria yang mengamen di jalanan.
Pandangan Masyarakat Terhadap Transgender
Sampai saat ini masyarakat belum dapat menerima keberadaan para transgender. Berdasarkan pengamatan kami, masyarakat masih memandang transgender dengan sebelah mata, dalam arti meremehkan dan tidak mau menerima keberadaan serta mengakui potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Misalnya ketika kami melewati perempatan lampu lalu lintas, banyak waria pengamen yang diremehkan karena persoalan kelaminnya, digoda, dilecehkan melalui perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mereka jumpai, meskipun tidak semuanya berbuat hal yang sama. Perlakuan masyarakat yang merendahkan kaum waria tidak terlepas dari kenyataan bahwa ada waria yang sengaja melacurkan dirinya demi mendapatkan uang, meskipun tidak semua waria melacurkan dirinya. Pandangan masyarakat ini mengakibatkan kaum waria mengalami kesulitan untuk mengembangkan segenap potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam bidang pekerjaan pun transgender dibatasi hanya pada bidang-bidang tertentu. Sebagian dari mereka hanya mengisi pekerjaan yang telah digeluti para waria sebelumnya, seperti pengamen jalanan, koreografer, perancang busana, dan bekerja di salon kecantikan. Keadaan ini berlangsung bertahun-tahun.
Menurut analisis dari segi agama, masyarakat belum dapat menerima kaum waria karena agama hanya mengakui eksistensi laki-laki dan perempuan, sementara banci, termasuk waria dianggap sebagai orang-orang yang berdosa dan tidak mendapat tempat dalam surga.
Hal ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan yang terdapat dalam kitab suci maupun tradisi spiritualitas masyarakat. Misalnya, waria dikatakan sebagai penyimpangan terhadap kodrat dari Allah, yaitu kodrat manusia sebagai laki-laki penuh dan perempuan penuh, dan bukan setengah laki-laki dan setengah perempuan seperti layaknya seorang waria
Ada juga pendapat beberapa tokoh gereja yang tidak menyetujui keberadaan transgender, misalnya: Agustinus, berdasarkan hasil refleksi tindakan homoseksual pada Kejadian 19, bahwa semua bentuk tindakan melawan alam sebagaimana yang terjadi di Sodom dan Gomora, di manapun dan kapanpun akan selalu mendapatkan kutukan. Pemahaman religius yang melekat begitu kuat dalam masyarakat ini mempersulit harapan kaum waria untuk dapat diterima dalam masyarakat. Martin Luther, berpendapat bahwa homoseksual merupakan tindakan immoral dan perzinahan yang akan mendapat penghakiman dari Allah (Ibrani 13:4 dan I Kor 6:9). (Richard F. Lovelace, Homosexuality and The Church, 1978)
Refleksi Teologis: Jati Diri Seorang Waria dan Perubahan yang Diharapkan
Ketika berbicara mengenai jati diri seorang transgender, transgender adalah manusia yang juga ingin diperlakukan normal. Normal berarti dihargai, diakui keberadaannya, dan tidak diremehkan masyarakat. Transgender adalah manusia dengan segala dimensi kehidupannya, baik itu fisik, psikis, sosial, budaya, maupun spiritual. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa waria, kami menemukan kesamaan tentang harapan dan perubahan yang diharapkan oleh para transgender. Mereka berharap bahwa kelak pandangan masyarakat terhadap waria akan berubah, artinya masyarakat dapat lebih terbuka, serta mengakui keberadaan serta karya-karya mereka. Setelah masyarakat mau terbuka dan mengakui keberadaan serta karya-karya mereka, mereka berharap kehidupan mereka dapat menjadi lebih baik secara ekonomi, sosial, dan spiritual.
Manusia diciptakan seturut dengan gambar Allah. Ini berarti manusia memiliki rupa dan sifat-sifat seperti Allah, seperti baik, kasih, adil, dan penuh kemurahan. Namun sejak manusia jatuh ke dalam dosa, gambar Allah tadi menjadi rusak. Manusia kehilangan relasi yang mesra dengan Allah dan sesamanya. Manusia cenderung melempar kesalahan dan tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar perintah Allah. Hal ini terjadi turun-temurun sampai saat ini. Lalu, bagaimana kita sebagai orang yang meyakini telah beroleh selamat karena telah ditebus oleh Allah melalui karya keselamatan Yesus Kristus mengambil sikap terhadap orang-orang yang seringkali diremehkan dan dipinggirkan dalam masyarakat, termasuk transgender? Akankah kita juga menudingkan jari telunjuk kita dan menjatuhkan sanksi kepada transgender bahwa mereka adalah orang-orang berdosa yang tidak mendapat tempat dalam surga?
Yesus Kristus dalam Injil Lukas 13:4-5 mengatakan, “Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” Melalui ungkapan ini, Yesus hendak mengatakan kepada para pembawa kabar (orang-orang Galilea) agar mereka tidak menganggap diri mereka lebih baik daripada orang yang menurut mereka dihukum oleh Allah karena mati dengan cara yang mengenaskan. Sebaliknya, Yesus menghendaki mereka bertobat agar tidak mengalami nasib sama dengan orang-orang yang mati secara mengenaskan tersebut.
Dari sini kita dapat berefleksi agar kita jangan menjadi orang yang suka menutup-nutupi kesalahan diri sendiri dan menganggap diri sendiri lebih baik daripada orang lain yang kita pandang lebih berdosa daripada kita. Sudah saatnya kita „bertobat‟, dalam arti mengubah cara pandang yang salah karena menolak orang-orang yang dianggap remeh dan terpinggirkan, termasuk transgender. Jika kita mengharapkan masyarakat dapat menerima dan mengakui keberadaan kaum waria, maka hal itu harus dimulai dari diri kita terlebih dahulu. Minimal kita dapat menunjukkan sikap sopan dan menghargai kaum waria saat kita berjumpa mereka di jalan.
Bagaimana Berteologi dalam Konteks Transgender?
Dari hasil wawancara dengan transgender, kami memperoleh pemahaman teologi dari beberapa waria yang berhasil kami wawancarai. Teologi yang muncul di kalangan transgender adalah Tuhan tidak berkelamin. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa Tuhan tidak mempersoalkan kelamin seseorang, tetapi bagaimana seseorang hidup dengan cinta kasih terhadap sesamanya. Pemahaman teologi bahwa Tuhan tidak berkelamin juga bermakna bahwa para transgender tidak ingin mendapat perlakuan diskriminasi karena hanya dilihat dari segi kelamin mereka yang dianggap „menyimpang‟. Melalui teologi yang kami peroleh dari para waria ini, kami hendak memaparkan bagaimana hendaknya kita berteologi dalam konteks waria tersebut di atas. Pemahaman tentang Tuhan harus kita maknai sebagai Tuhan yang juga mengasihi waria sebagai ciptaan-Nya. Tuhan mengasihi transgender dengan segala eksistensi diri mereka beserta potensi-potensi yang mereka miliki sebagaimana Dia mengasihi laki-laki dan perempuan sebagai manusia ciptaan-Nya.
Realitas transgender sebagai sosok yang seringkali diremehkan dan dipinggirkan oleh masyarakat membuat mereka tidak dapat mengembangkan potensi-potensi dalam diri mereka secara maksimal. Pemberian kesempatan dalam lapangan pekerjaan pun sangat terbatas bagi kaum waria. Namun ditengah segala hambatan ini, kaum waria memiliki harapan agar suatu saat nanti masyarakat mau lebih terbuka dan menerima keberadaan serta karya-karya mereka. Penerimaan masyarakat terhadap kaum waria dapat membantu mereka untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, sosial, dan spiritual.