Oleh: Utamy Dewi
Melalui seperangkat teoritis dalam Origin of Family, karya Friedrich Engels, Sheery Wolf membawa kita menengok kembali lebih komperhensif akar penindasan terhadap kelompok minioritas seksual.
Menurutnya, masyarakat Eropa awal dalam sistem berburu hidup dalam ikatan komunal atau klen. Di dalam komunitas tersebut, setiap anggota ikut berburu bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Hasil perburuan akan dibagi secara merata.
Pada masa itu pula, seksualitas menjadi hal yang sangat cair dilakukan oleh siapa saja tanpa adanya batasan, baik aktivitas seksual, tujuan, maupun orientasi seksualnya. Untuk mengetahui keturunan dari hasil hubungan seksual akan mengarah kepada ibu, atau garis matrilineal.
Peradaban masyarakat kemudian mengalami perubahan. Sistem berburu berganti menjadi sistem bercocok tanam. Para perempuan menemukan cara menumbuhkan tanaman dengan biji-bijian yang mereka tanam. Pada saat itulah komunitas-komunitas nomaden mulai hidup menetap sebagai masyarakat agraris.
Dalam mengembangkan sistem pertanian mereka, terjadilah pembagian kerja. Terdapat kelompok ahli yang bertugas untuk mencaritahu kapan waktu yang baik untuk menanam dan kapan waktu untuk memanen hasil tanaman mereka dan kelompok lain yang menanam. Pembagian kerja tersebut menciptakan sistem kelas dalam masyarakat.
Mereka yang awalnya berburu bersama dan membagi hasilnya secara merata berubah dengan beban kerja yang berbeda dan sistem bagi hasil yang berbeda pula. Pembagian kerja pada masyarakat agraris pun dilakukan dengan mengacu pada jenis kelaminnya. Perempuan yang awalnya ikut berburu bersama-sama bersama laki-laki kemudian didomestifikasi. Mereka diberikan tugas untuk merawat kebun dan sawah-sawah yang diolah.
Perubahan sistem kehidupan dari berburu ke agraris pun berdampak pada seksualitas dan garis keturunan dalam masyarakat. Hasil pertanian dan perkebunan tidak habis dalam sekali konsumsi, berbeda dengan sistem berburu yang tidak dapat bertahan lama untuk dikonsumsi.
Selain itu, sistem agraris memberikan hasil yang lebih banyak daripada berburu. Dari hasil pertanian dan perkebunan yang memberikan sisa yang sangat banyak itulah dalam masyarakat agraris kemudian membutuhkan “orang” yang dapat mewarisinya.
Cara yang kemudian dilakukan ialah dengan melakukan sistem perkawinan monogami bagi perempuan. Perempuan dibatasi untuk memiliki satu pasangan laki-laki, namun tidak sebaliknya. Keturunan hasil perkawinan monogami tersebut otomatis akan mengarah pada garis keturunan ayah atau patrilineal.
Perempuan kemudian tidak hanya dibebani tugas untuk merawat pertanian, namun juga mengurus anak-anaknya. Kelompok-kelompok kecil hasil perkawinan monogami tersebut kemudian disebut dengan keluarga. Sistem monogamidan pembentukan keluarga mendorong seseornag untuk melakukan aktivitas seksual prokreasi atau dengan tujuan untuk menciptakan keturunan. Orang yang kemudian melakukan aktivitas seksual yang tidak dapat mendukung tujuan prokreasi, seperti sodomi, oral seks dan lainnya akan dihukum mati.
Di tahap ini, dapat disimpulkan bahwa keluarga digunakan oleh masyarakat agraris untuk mewarisi hasil panen. Dalam masyarakat agraris, sistem kelas semkin kentara. Keluarga yang memiliki banyak anak dan melakukan perkawinan monogami semakin memiliki tanah yang luas. Keluarga-keluarga yang memiliki tanah yang luas itulah yang kemudian memiliki kuasa yang lebih besar. Pada saat itulah sistem feodal berjalan.
Masyarakat yang kemudian memiliki tanah sempit atau bahkan mereka yang tidak memiliki tanah bekerja pada tuan-tuan tanah. Beberapa dari mereka melakukan usaha produksi rumahan, seperti membuat anggur, memintal kain, dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut lebih banyak dilimpahkan kepada perempuan, karena dianggap sebagai pekerjaan domestik.
Akhir abad 18 hingga awal abad 19, Inggris mengalami revolusi industri. Sistem kekuasaan feodal mulai dihancurkan dengan sistem kekuasaan para pemilik modal atau kapitalis. Hal tersebut juga menggilis usaha produksi rumahan dan menggantikannya dengan mesin-mesin pabrik di tengah kota yang dapat menghasilkan produk dengan lebih cepat dan murah.
Pada masa kapitalisme, masyarakat mulai digiring menjadi buruh-buruh pabrik. Jika dalam masyarakat feodal, keluarga dengan tujuan prokreasinya digunakan untuk menghasilkan keturunan yang dapat diberi warisan, pada masa kapitalis hal tersebut berubah. Konstruksi “keluarga inti” dan tujuan prokreasinya digunakan untuk menciptakan buruh-buruh yang dapat memutar laju mesin-mesin di dalam pabrik.
Sementara sistem kapitalis mengukuhkan “keluarga inti” sebagai norma yang berlaku dalam masyarakat, ruang-ruang sosial baru pun tercipta bagi masyarakat untuk bebas mengekspresikan dirinya, termasuk orientasi seksual mereka. Saat mereka bekerja di kota, otomatis mereka meninggalkan keluarga dan terbebas dari tuntutan prokreasi.
Selain itu, dari bekerja tersebut, merekapun memiliki kapital yang membuat mereka tidak harus bergantung lagi pada keluarganya. Beberapa laki-laki pun melakukan strategi agar tetap pada jalur yang aman. Mereka tetap memiliki istri serta anak di desa, namun beberapa waktu akan pergi ke Molly House untuk bercinta dengan sesama laki-laki.
Melihat ekspresi seksual masyarakat yang melenceng dari konstruksi yang diciptakannya, pemerintah Inggris kemudian melakukan tindakan tegas. Hal tesebut didukung oleh kekuatan gereja dan perbaikan moralitas masa Victoria. Pemisahan atara bestiality dan homoseksual mulai dilakukan dan dikenakan hukuman mati. Tahun 1861, hukuman mati diubah dengan 10 tahun penjara. Hukuman tersebut terus berubah hingga sangsi 2 tahun bekerja untuk pemerintah (kerja sosial).
Adanya pengidentifikasian oleh pemerintah tentang homoseksual tersebutlah yang kemudian memunculkan homoseksual sebagai salah satu bentuk identitas seksual. Para ahli mulai memberikan perhatian pada mereka tentang identitas homoseksual. Caarl Maria Benkert, seorang psikolog meneliti tentang ilegalitas homoseksual di Jerman tahun 1869. Menurutnya, homoseksual adalah bawaan lahir dan tidak melalui proses pembelajaran, sehingga seharusnya mereka tidak dihukum mati oleh negara.
Dalam kacamata modernitas, homoseksual dianggap sebagai dosa yang melawan takdir alam, yang kemudian berkembang sebagai penyakit mental. Havelock Ellis berpendapat bahwa homoseksual adalah cacat bawaan sehingga tidak boleh dihukum dan harus dirawat. Pada abad 19, seksolog menyatakan homoseksual sebagai penyakit gila. Ada juga yang berpendapat bahwa homoseksual adalah jiwa yang terjebak pada tubuh yang salah. Karl Hendrich Ulrich menyatakan bahwa homoseksual adalah jenis seks ke tiga.
Terminologi heteroseksual sendiri baru muncul tahun 1890an dalam tulisan dr. Richard. Ia mengatakan bahwa heteroseksual bukanlah orientasi yang normal, tapi sebagai hasrat seksual yang tersebar luas (dilakukan oleh banyak orang) dan tidak selalu bertujuan untuk prokreasi, namun di dalamnya tidak termasuk hubungan sesama jenis.
Di tahun 1905, Sigmund Freud menggunakan istilah homoseksual untuk menjelaskan orang dengan tipe perasaan, tidak sebatas hasrat seksual. Ia berpendapat bahwa homoseksual harus dirawat, karena hasrat seksualnya belum matang sehingga harus dikembangkan lagi. Tahun 1909, homoseksual kemudian dimasukkan dalam kamus Meriam Webster sebagai hasrat seksual yang tidak wajar karena dilakukan oleh sesama jenis.
Terminologi heteroseksual sendiri belum dimasukkan pada kamus hinggal tahun 1923. Para sejarawan materialis percaya bahwa tingkah laku dan kepribadian manusia dibentuk oleh apa yang ada di sekitarnya. Hal tersebut juga berlaku bagi seksualitas, sebagai hal yang cair dan tidak tetap, dengan ekspresi yang beragam dan ditentukan oleh sejarah. Homoseksual bukan sekedar sodomi, namun hasil dari proses perpaduan elemen sosial yang baru dan lama.
Dengan pemikiran esensialisnya, mereka menekankan, bahwa saat lahir, hasrat seksual manusia masih cair, kekuatan sosial dan ekonomilah yang mendefinisikan identitas LGBT yang kita pahami sekarang, padahal fenomena tersebut sudah ada sejak lama. Jika kekuatan kapitalis tidak mengontrol hasrat seksual, maka “gay” tidak akan menjadi kategori sosial baru.
Dapat dikatakan bahwa kaum gay kemudian menerima konstruksi tersebut dan mengidentifikasi dirinya sebagai gay akibat dari identifikasi yang diberikan oleh masyarakat. Hal tersebut membuat Sherry Wolf menarik kesimpulan, bahwa dalam masyarakat yang tidak teropresi dan tidak dikonstruksi melalui identitas seksualnya, mereka akan lebih dapat mengekspresikan kebebasan seksual secara utuh. Ia menolak konstruksi identitas seksual tersebut sebagai salah satu bentuk perlawanan kelas.
Hasil refleksi bacaan: Sherry Wolf, Sexuality and Socialism: History, Politics and Theory of LGBT Liberation (Chicago: Hypermarket Books, 2009).
*Utamy Dewi atau Siti Utami Dewi Ningrum, seorang peneliti sejarah, gender dan seksualitas lulusan S2 Sejarah UGM. Saat ini aktif di komunitas Pemetik Buah Khuldi dan One Billion Rising Jogja.