IMG_9592

Agama ramah keragaman seksual, Bisakah?

Agama memiliki seperangkat ajaran dan nilai yang bercita-cita mengangkat martabat kemanusiaan. Pada saat yang sama, agama juga kerap jadi sumber pelanggaran kemanusiaan. Munculnya tindak persekusi, kebencian dan diskriminasi karena faktor orientasi seksual dan identitas gender seringkali seseorang kerapkali dibarengi dengan perintah agama itu sendiri.

Apakah kitab suci yang jadi sumber pedoman agama-agama manusia menyediakan tempat bagi keragaman seksual? Arimbi memantik pertanyaan diskusi. Mak Ari sebutan bagi Arimbi, seorang seniman asal Kota Surabaya itu, dipilih menjadi moderator dalam sesi dialog keimanan dan seksualitas dari sudut agama. Pada 24 Oktober 2018, sesi yang menghadirkan para pakar pada isu agama dan seksualitas dari ragam latar belakang.

Menjaban pertanyaan Arimbi, Bagi Darwita, mestinya ia ditempatkan secara proporsional. Ia lalu mengawalinya dengan kembali melihat bagaimana manusia mendeskripsikan apa itu ‘kitab suci’. Sebagai Teologi Perempuan, Darwita melihat perkembangan yang berjalan dalam tradisi Kristen. Al-Kitab yang jadi pedoman bagi umat Kristen di seluruh dunia,

Pertama, kitab suci bukan semata wahyu Tuhan yang turun secara instan dari surga. Manusia menulis kita suci berdasarkan kepercayaan pada zamannya atau ia punya latar belakang. Kedua, dalam perkembangan Al-Kitab sendiri, dapat dipahami sebagai ‘refleksi keimanan’ manusia. Ia bukan kitab ilmiah, yang secara praktis, dapat menjelaskan semua hal. Penjelasan Darwita membuka hal-hal mendasar dalam relasi agama dan para pemeluknya.

Itu karenanya, bagi Darwita, Al-Kitab tidak bicara secara terang-terangan mengenai seksualitas. Ia memberi catatan kritis dalam hal ini. misalnya, terdapatnya jarak dan jeda waktu yang begitu panjang saat Al-Kitab pertama kali dituliskan dengan pembaca saat ini. sehingga umat Kristiani hari-hari ini tidak bisa memahaminya hanya sekali baca. “Dibutuhkan seperangkat alat atau pendekatan guna memahami kandungan Al-Kitab,” Terang Darwita. “Dalam perkembangan keilmuan, lanjutnya, apa yang dinamakan Heurmenetika berhasil membantu para pembaca, pengkaji dan agamawan Kristen dalam memahami kandungan dari Al-Kitab itu sendiri.”

Adanya jarak antara sejarah kitab suci dan pembaca saat ini dipandang sebagai satu kesulitan tersendiri dalam memahami kandungan di dalamnya. Menanggapi hal ini, Jo Priastana, menyebut kurun waktu jadi sebab terjadinya bias penafsiran terhadap kitab suci. Semisal, ‘perempuan’ yang disucikan dalam tradisi agama-agama manusia. “Seiring terjadinya bias penafisaran, karena lahir dalam konteks iklim patriarki, kemudian hasilnya pun sangat bias gender,” Paparnya.

Selain adanya faktor jarak dan waktu, eksistensi kitab suci ditulis dan disebarkan melalui kepentingan yang sarat dengan ideologi. Pendekatan hermeunetika dibutuhkan karena pembacaan saat ini memerlukan ruang bagi pemahaman yang kontekstual, sesuai dengan zaman dan kebutuhan sekarang. Hermeunetika jadi alat bantu bagaimana ‘kandungan kitab yang suci itu’ diarahkan bagi kemanusiaan.

Jo Priastana, Pakar dan Tokoh Agama Budha, dalam konteks ini melihat secara inheren bagaimana kontekstualisasi dalam ajaran Budha. Kitab suci Budha mengenal tiga varian kandungan dalam pembacaan kitab suci. “Kitab suci Tripitaka, punya tiga spirit: pertama, Vinaka Pitaka berbicara tentang menghindari kejahatan, hukum, moralitas, etika, kebebasan dan tanggung jawab pribadi,” Terangnya.

Yang kedua dan ketiga adalah tentang Sutta Pittaka dan Abhidharma Pittakaa. Jika Sutta Pittaka memuat tentang ketentuan untuk selalu berbuat baik dan kebaikan, maka Abhidharma Pittakaa punya kandungan sebuah sistem filsafat Budha tentang proses menjernihkan hati dan pikiran manusia.

Mengenai seksualitas, kitab Suci Buddha sendiri, menyinggung soal terminologi Pandaka. Dalam pembacaan Jo Priastana, istilah tersebut dapat diartikan sebagai ‘laki-laki dalam tubuh perempuan’. Seksualitas pada gilirannya, memang kerap dianggap sesuatu yang cair. Ia tak pernah stagnan dan selalu mengalami perubahan. Sejalan dengan itu, agama Budha punya pandangan bahwa segala sesuatu di dunia tidak kekal.

“Secara mendalam, Buddha nggak masalah dengan orientasi seksual. Saat menyangkut perilaku seksual itu masuk ranah dan pembahasannya berbeda. Itu soal hawa nafsu yang jadi konsen Budha,” Terangnya.

Anjuran mengelola hawa nafsu punya kedudukan istimewa dalam pengamalan ajaran Buddha. Saat manusia berhasil mengelolanya, kebaikan adalah buahnya. Sebaliknya, kerusakan di bumi dapat terjadi manakala manusia gagal mengatasi persoalan hawa nafsu. “Tindakan tercela, merusakan alam, melakukan pelanggaran kemanusiaa, itu semua adalah buah dari ego yang dimiliki manusia, yang gagal mengelola hawa nafsunya,”

Sementara itu, pandangan berkebalikan disampaikan Mayora. Narasumber asal Maumere, Papua itu, berkisah bagaimana pengalamannya bergulat dengan soal keimanan dan seksualitas yang dialaminya, khususnya yang terjadi dalam kesehariannya sebagai umat Khatolik. Mayora melihat masalah itu ada ketika Agamawan gereja memahami kitab kejadian yang bicara soal penciptaan.

“Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara laki-laki dan perempuan, begitu seterusnya,” Tutur Mayora. Dalam pembacaan yang tekstualis, implikasi yang muncul adalah bias gender. Tidak tersedianya ruang dialog bagi keragaman seksual, dianggap berdosa sampai tindak diskriminasi adalah perlakuan yang kerap ia terima saat berada di lingkungan gereja Katholik.  Saat ia memilih jalan hidup sebagai seorang Tranpuan, batu aral dan onak penuh duri kerapkali merintangi. (yifos indonesia)

 

Share this post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top