Pendeta Sekutu Isi_Cover

Pendeta Sekutu (ALLY), Transpuan dan Penerapan Hukum Kasih

Dalam wacana non-heteroseksual, diskursus aliansi (alliance) terhadap identitas non-heteronormatif (LGBTIQ+) masih sangat kurang. Upaya pembelaan dan perjuangan kemanusiaan kelompok sekutu (ally) kerap diwarnai opresi secara mental, ekonomi, spiritual, bahkan digital. Mereka acap dicap memiliki identitas seksual yang sama dengan orang yang mereka perjuangkan. Mereka pun kerap dituduh sebagai pasangan orang-orang yang menggenggam identitas minoritas seksual yang mereka bela tersebut. Ragam stigmatisasi dan perlakuan tak menyenangkan sebagai sekutu tersebut bisa menimpa siapa saja, tak terkecuali para pendeta, mereka yang jiwanya terpanggil untuk melayani Tuhan melalui kerja-kerja pelayanan untuk menggembalakan “kawanan domba”-Nya di bumi ini.

Puji Tuhan, meski didera beragam tantangan, perjuangan kemanusiaan para pendeta – yang di dalam tesis ini saya sebut sebagai “pendeta sekutu”, atas pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi kelompok minoritas seksual – tidaklah goyah. Bagi para pendeta sekutu, sekecil apa pun, upaya kemanusiaan perlu diperjuangkan. Mereka pun lantas harus rela dikucilkan, dilecehkan, dinilai munafik atau tak memiliki pendirian. Bahkan, pada era tren media sosial seperti sekarang ini, para pendeta pun harus sigap jika diperhadapkan kembali dengan status, feed atau caption lawas yang tertera di dalam tubuh digital mereka ketika gereja (atau bahkan negara) memerlukan “kurban bakaran yang baru”. Bagi saya, para pendeta sekutu bukanlah sosok atau orang-orang yang bodoh, yang begitu mudah diperdaya “pencobaan”. Mereka bukanlah orang yang tak memiliki upaya, pengetahuan, dan sederet strategi untuk mengatasi itu semua. Justru uniknya, saya melihat bahwa mereka bermain dengan sederet identitas yang mereka miliki untuk menekan opresi yang menimpa diri mereka. Bagi mereka, “tak hanya tulus seperti merpati, tapi perlu pula cerdik seperti ular”.

Share this post

Scroll to Top